Pemuda itu menanggalkan kudanya,
lalu mengingatkannya di sebuah pohon. Peluh yang membasahi tubuhnya, sesekali
diusap oleh sorban yang melilit di lehernya. Sambil menepuk punggung kudanya,
pemuda itu bergumam seolah ngajak bicara pada sang kuda, "Mudah-mudahan
tak lama lagi kita sampai di kampung hulu sana" Sambil menunjuk ke atas,
ke tempat yang jadi tujuan pemuda tersebut.
Selagi asyik beristirahat, sang
pemuda melihat dari kejauhan, ada seekor kuda yang diatasnya seorang pemuda
sebaya dengan dirinya. Terlihat di sisi kiri-kanannya, kantung kulit yang
berisi penuh dengan hasil bumi.
"Assalamualaikum
saudaraku" Pemuda yang dari arah
hilir menyapa pemuda yang datang dari arah hulu. "Waalaykumussalaam
warohmatullah..." Jawab pemuda yang satu lagi, sambil merangkul penuh
kehangatan, seolah sudah lama saling mengenal.
"Kalau boleh tahu, mau
kemana anda ke kota bawah sana ?"
"Saya mau ke kota hilir, mau memberikan zakat"
Timbal pemuda yang datang dari arah hulu tersebut.
"Anda mau ke bawah untuk
berzakat ? Mengapa harus hilir ? Orang saya aja mau ke atas karena dibawah sana
sudah tak saya temui para mustahik" Sanggah pemuda yang dari hilir.
"Jadi Anda ke kota hulu, untuk berzakat juga ?"
Pemuda satunya lagi menganggukkan kepalanya.
Itulah sekelumit kisah yang
terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana kala itu, sangat susah
mencari orang yang menerima zakat.
Tentu kita berpikir kalau zaman
khalifah Umar bin Abdul Aziz, masyarakatnya sudah pada berlimpah harta sehingga
susah menemukan mustahik.
Saya mendapat jawaban tiga hari lalu ketika ikut Talkshow di
acara kopdar Genpro, sebuah komunitas pengusaha Muslim. Presiden Genpro, Iwan Kurniawan Lc
menjelaskan bahwa yang pertama dibangun oleh Khalifah adalah mentalnya dulu
dengan menggembleng ketaqwaannya. Masyarakatnya diharuskan untuk terus menuntut
ilmu agar tumbuh menjadi mukmin sejati. Sang Khalifah terkenal dengan
kearifannya, bijaksana, adil dan rendah hati. Hal ini pula yang terus
dikobarkan kepada rakyatnya.
Mind set yang dibangun tentang zakatpun,
tertanam dalam diri umat sebagai sesuatu yang tak layak untuk dimakan. Karena
Zakat merupakan sesuatu yang harus dikeluarkan, sehingga sifatnya kotor. Hal
ini pula yang akhirnya banyak masyarakat yang enggan menerima zakat. Dan salah
satunya tergambar pada kisah diatas tadi.
Umar bin Abdul Aziz merupakan
khalifah yang memerintah paling singkat yakni dari 99 H sampai 101 H. Namun
kiprahnya dalam menghidupkan tatanan islami dicatat dengan tinta emas dalam sejarah.
Bahkan para akhli mengatakan bahwa masa itulah masa kejayaan islam
sesungguhnya.
Ketaqwaan ini pula yang
diwariskan Umar kepada anak-anaknya. Karena soal materi, Umar hanya
meninggalkan 19 Dinar. Itupun 4 Dinar dipakai buat membeli kain kafan dan sebagian lagi habis dipakai untuk biaya pemulasaraan atas dirinya.
Dan yang tersisa hanya 9 dinar yang harus diberikan kepada 11 anak sebagai ahli
warisnya.
Kejadian
ini berbanding terbalik dengan meninggalnya khalifah berikutnya, yakni Hisyam
bin Abdul Malik. Sama-sama meninggalkan 11 anak, tapi masing-masing anaknya
mendapatkan masing-masing satu juta dinar.
Waktupun terus berlalu, hingga pada suatu hari seorang ulama bernama
Muqotil bin Sulaiman mendapati salah seorang putera Umar bin Abdul Aziz menyedekahkan
1000 ekor kuda perang pilihan. Sementara di hari yang sama, Muqotil
mendapatinya salah seorang putera khalifah Hisyam bin Abdul Malik menjadi
pengemis di salah satu pasar.
Hal ini
membuktikan bahwa warisan berupa harta atau kekayaan tak memiliki arti bila
dibandingkan dengan warisan berupa mental dan ketaqwaan tangguh yang diwariskan
seseorang.
Diakhir penyampaiannya Iwan Kurniawan mengajak para pengusaha muslim, agar seanantiasa menjaga ketaqwaannya, karena bisnis kita hari ini, merupakan ladang amal untuk kehidupan kelak di akhirat.
Kita juga harus seperti itu, ketaqwaannya dahulu lalu yang lainnya menyusul kemudian.
BalasHapus