Bersama bapak Kewo sang mertua |
BAPAK MERTUA, sejak lima hari
lalu sudah meninggalkan kami untuk selamanya. Ingin sekali memeberikan kabar
duka ini sesegera mungkin. Tapi sayang sekali,
sesaat bapak menghembuskan nafas terakhirnya, handphone saya pun ikut-ikutan
tak bernyawa. “MATOT alias Mati Total”...... otomatis saya ga bisa wa,telegram,
bbm atau main medsos lainnya. Kebetulan Lepi juga ga dibawa, karena pikir saya,
aktivitas menulis bisa menggunakan note yang ada di Handphone. Tapi ya sudah,
sambil menghibur diri, barangkali ini cara Allah agar saya lebih konsentrasi
dengan suasana kebersamaan dalam keluarga sehingga tak terinterupsi oleh yang
namanya gadget.
Hari selasa (29 november 2016),
di group whatsapp hilir mudik berbagi topik pembicaraan. Dan yang paling santer
kala itu, rencana aksi damai 212. Sementara saya disibukkan dengan
pesan-pesan dan telpon dari sang istri
kalau ternyata kondisi bapak makin memburuk, bahkan semakin
memprihatinkan. Mendengar berita seprti
itu, berarti harus mempercepat pulang
kampung nih. Sambil nunggu si sulung yang masih di sekolah, saya merasa super
sibuk sendiri. Perabotan bekas makan
yang sudah dua hari menumpuk dan cucian yang sudah direndam dari pagi, belum
sempat terjamah. Alhamdulillah, menjelang maghrib kami siap pulkam dengan
keadaan yang lumayan rapih untuk kondisi rumah yang akan ditinggalkan beberapa
hari.
Dini hari, sampai juga ke kampung
Cidahu Kuningan. Dua kakak ipar sudah menunggu di depan rumah. Sementara di
dalam rumah, keluarga yang lain pada nungguin bapak yang Kondisinya yang sangat
melemah, bahkan kabarnya sudah dua hari ini tak
masuk apa-apa ke mulutnya. Beribu kecamuk dalam dada bercampur dengan
rasa sedih di hati, karena detik-detik perpisahan sepertinya tak bisa dibendung
lagi. Ingin rasanya menumpahkan segala sesal dalam jiwa, karena belum berbakti
dan membalas segala kebaikannya. Semua tertahan, dan hanya terucap di mulut,
“maafkan saya pak....” Bapak tak menyahut, tapi saya berharap beliau masih bisa
mendengar walau tak berbalas dengan sahutan.
Waktu dhuha kira-kira jam 10’an
tangis ibu mertua dibarengi isteri dan bi Ooh adiknya bapak memecah suasana
kamar waktu itu. Lapadz Allah yang kami lantunkan, seolah memaksa agar telinga
dan hati bapak mengikutinya. Hanya satu yang kami pinta “khusnul khotimah”.
Emih (ibu mertua) yang sedari tadi tak melepaskan mulutnya di telinga Bapak,
seolah tak menerima akan perpisahan ini.Perlahan tapi pasti bapakpun
menghembuskan nafasnya yang terakhir kali. Inna lillaahi wainna ilaihi rojiun.
Selamat jalan Bapak, kami akan
mengenang jasamu, kami akan selalu memanjatkan doa untukmu. Agar engkau di
terima iman, amal dan islamnya. Diampuni segala dosanya, dan Surga tempat
kembalinya.
Tidak menunggu lama, berbondong-bondong tetangga datang.
Kabar tersiar cepat ke seantero desa. Saya sendiri merasa terpana, begitu
kentalnya rasa saling asih di desa ini. sebuah pemandangan langka kalau dibandingkan
dengan masyarakat perkotaan. Sampai saya bilang ke si sulung,”ini pertanda
kalau abahmu orang baik”. “emangnya kenapa gitu, apa alasannya?” timpal Azkiya
ankku. “Buktinya banyak sekali yang melayat, bahkan di hari setelahnyapun,
masih ada saja yang datang walau sekedar ngucapin belasungkawa”.
Karena gotong royong yang masih
pekat pula, prosesi pemakaman sangat cepat, tidak sampai asyar semua kewajiban
terhadap mayat sudah selesai ditunaikan. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar