Mendengar kata Pesantren, orang
biasanya membayangkan sebuah lembaga pendidikan yang super ketat aturan, tempat membentuk seseorang
berkarakter islami yang berakhlakul karimah
serta pemahaman agama yang lebih dalam. Keberadaan
pesantren sudah tak diragukan lagi sebagai bagian dari elemen pembentuk
masyarakat agar terhindar dari hal negatif
yang akan merusak tatanan kehidupan.
Dalam zaman yang serba modern
ini, segala hal bisa didapatkan dengan mudah. Orang sering bilang inilah yang
disebut era digital, era globalisasi atau apapun namanya ternyata telah
menyumbangkan efek positif dalam berbagai segi kehidupan. Namun dibalik semua
itu ketahanan keluarga sangat dibutuhkan dan terus bahu membahu untuk
membentengi anggota keluarganya dari efek negatif modernisasi.
Atas dasar itulah maka dibutuhkan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, mandiri, kreatif dan tangguh dalam
mengisi kehidupan kedepannya. Dan peran pesantren sangat dibutuhkan untuk
menjawab tantangan ini.
Kenapa Pesantren?
Karena disana tempatnya orang
menimba ilmu bukan hanya sein atau iptek saja tapi wawasan keagamaan yang
merupakan tonggak utama dalam kehidupan diajarkan. Sehingga ada keseimbangan
yang cantik dalam mewujudkan seseorang menjadi pribadi unggul dan berakhlaqul
karimah. Dan kwalitas diri seperti inilah yang diperlukan sebagai penerus
tonggak sejarah dan menjaga harga diri bangsa di mata dunia.
Itulah sebabnya, maka di medio
Januari 2017 saya mendaftarkan Azkiya
yang usianya belum genap 13 tahun ini untuk dimasukkan ke pesantren Yaspida
Sukabumi. Tadinya sempat tak percaya diri karena khawatir Azkiya tak dapat
mengikuti pelajaran di pondok karena masuk tidak dari awal tahun pelajaran. Dan
tawar menawar pun sempat muncul antara anak dan orangtua. Maklum saja karena
dengan hidup di pondok pesantren sudah barang tentu dia akan kehilangan haknya
yang biasa didapatkan di rumah. Beruntung saya yang pernah mondok di Pondok
Pesantren Daarul Mutaallimin di bilangan Sukaraja Sukabumi, sehingga bisa
menceritakan kalau pesantren bukanlah sesuatu yang menyeramkan. Bahkan banyak
nilai plus yang didapat, diantaranya bisa berkenalan dengan lebih banyak orang
dari seantero pelosok Nusantara. Dan alhamdulilah di era sosialita sekarang,
saya masih bisa merasakan sensasi silaturrahim di group medsos bersama
teman-teman nyantren di pondok dulu.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pesantren memiliki arti asrama atau tempat santri belajar mengaji
atau menuntut ilmu agama islam. Ada juga yang mengartikan bahwa pesantren
adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat
"tradisional" untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan
mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian.
Pondok pesantren secara definitif
tak dapat diberikan batasan yang tegas melainkan terkandung fleksibilitas
pengertian yang memenuhi ciri-ciri yg memberikan pengertian pondok pesantren
secara komprehensif.
Bahkan dalam perjalanannya pondok
pesantren yang pada awalnya dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisional, kini mulai berubah karena sentuhan kekinian ada didalamnya.
Alhamdulillah pada awal maret
tepatnya tanggal 4 Maret 2017, ada silaturahmi akbar antara orangtua santri dan
pihak pondok pesantren. Antusiasme untuk mendatangi acara tersebut, sangat saya
nantikan dengan harapan ada kontak timbal balik antara orangtua santri dan
pesantren, disamping bisa memberikan motivasi langsung pada sang anak. Karena
dengan kehadiran kita di tengah mereka, merupakan Oase kebahagiaan yang ditunggu
anak-anak kita. Sedih rasanya ketika melihat teman Azkiya yang orangtuanya tak
dapat hadir di acara tersebut. Sejumput rona kecewa tergurat dari wajah mereka.
Hilir mudik orangtua wali santri
begitu bejibun di area registrasi depan gedung GOR Yaspida yang cukup luas dan
hawa asri karena banyaknya pepohonan di sekitar pondokan. Dan setelah register
saya yang saat itu membawa adiknya Azkiya yakni, Muhammad Hibatillah Ahsan,
langsung menuju kursi paling depan. Sudah menjadi kebiasaan kalau masih ada
tempat terdepan, kenapa harus memilih duduk di belakang? Sebuah Action pembelajaran dan memberi contoh
sama anak agar harus mengisi shaf paling depan dulu. Sehingga setiap sesi bisa
lebih akurat kalau duduk di depan. Dan lebih dekat mengenali para Asatidz dan
Asatidzah yang berwajah teduh itu.
Acara dimulai dengan rangkaian
tilawah, marawis, mars Yaspida dan sambutan kepanitiaan. Pemutaran slide
seputar Ponpes Daarusyifa Yaspida sempat pula dipertontonkan. Hal ini menambah
wawasan hadirin terutama saya yang masih merasa baru dengan pondok ini. Dari
rangkaian acara yang tersaji, tibalah saatnya tausiyah dari sesepuh pondok pesantren Drs. K.H. E. Supriatna Mubarok, M.Sc,MM . (oalaaah.. banyak bingit pak kiyayi
gelarnya..... sudah pasti beliau adalah pembelajar sejati). Ada yang
menggelitik sebetulnya, jujur saja saya sebenarnya akan mengajukan sebuah
pertanyaan kalau ada sesi tanya jawab seputar permasalahan yang diterima
orangtua wali santri. Tapi ternyata segala pertanyaan yang hadir sepertinya
habis terjawab oleh sang kiayi dengan gaya familiar dan banyolan khas Sundanya sehingga sampai akhirpun tak
ada lagi yang perlu dipertanyakan. Sepertinya para asatidz sudah memahami akar
permasalahan yang terjadi di pondok, maklum Yaspida sudah mengabdi di kancah
pendidikan ini hampir dua dekade.
Sehingga sesepuh pondok sudah tahu seluk beluk yang terjadi pada ribuan
santrinya.
Ada 4 pilar kedisiplinan yang
diterapkan di pondok pesantren Yaspida ini:
1. Disiplin Tampilan
2. Disiplin Pembelajaran
3.Disiplin Peribadahan
4. Disiplin Pergaulan
Dengan empat pilar tersebut, maka
Yaspida sejatinya telah mampu membuat anak berkarakter, disipilin, berprestasi,
bertaqwa dan ujungnya membuat anak taat
pada Allah dan Rasulnya.
Apalagi Yaspida memiliki 6 pilar
kecerdasan, : kecerdasan mental, kecerdasan moral, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial
Dengan pilar-pilar tersebut, maka
pak kiyai sempat menceritakan bagaimana kehidupan para santri yang beliau beserta jajarannya membina mereka.
Dari bangun hingga tidur dan sampai bangun lagi, beliau haturkan ke hadapan para wali santri. Bangun pagi menjelang shubuh santri
diharuskan shalat tahajud, tilawah dan amalan sunnah lainnya. Ba’da shubuh
mereka mengaji menjelang pagi hingga datang waktu sarapan yang dismbung
persiapan untuk sekolah hingga siang hari. Begitulah aktivitas mereka setiap
saat digembeleng dengan sarat kebaikan. Saya yang mendengarkan, sekelebat
tergambar didepan mata bagaimana pengalaman saya waktu mondok dulu. Untaian
cerita yang penuh makna serasa baru saja dialami, dan tak terasa dari sudut mata ini menetes air
mata yang penuh kenangan, kebahagiaan, perjuangan yang tak akan mudah
dilupakan.
Walau dengan gaya yang asyik dan
mengundang tawa para wali santri yang hadir, tapi tetap saja ada sesi dimana
sesepuh membuat baper yang mendengar.
Bagaimana tidak, dengan tulus beliau menceritakan harapan yang ada dalam benaknya,
“piraku, perjuangan santri nu matak payah
ti saprak hudang nepi ka hudang samodel kitu teu berhasil” (masa,
perjuangan santri yang penuh lelah dari semenjak bangun hingga bangun lagi
seperti itu tak akan berhasil). Suara parau yang berdesakan dengan suara haru
kesedihan tak dapat disembunyikan, dan pak kiyaipun menangis. Sebuah tangisan
penuh harap, penuh cita-cita dan gairah yang penuh Etos mendidik para santrinya.
Menjelang dzuhur acarapun usai,
beruntung karena duduk paling depan maka berkesempatan bersalaman dengan
sesepuh pondok dan para asatidz. Usai acara, para orangtua santri tentunya
mencari anaknya untuk sekedar melepas rindu. Tapi adajuga yang ngantri di
kantor kobong (asrama) untuk meminta
izin pulang buat anaknya. Wah...wah...wah.... padahal baru berlalu kalau
sesepuh menganjurkan pada orangtua agar jangan sering membawa anak pulang. Karena
dengan sering pulang si anak setidaknya dia bisa merekam, melihat, menikmati
apa-apa yang selama ini tidak didapat di pesantren. Sehingga tak heran kalau
ada santri yang akhirnya ga kerasan tinggal di pondok. Beruntung Azkiya dapat
kubujuk, sehingga keinginan dia untuk ikut pulang bisa diatasi. (maafkan bapak ya nak.... kalau belum
waktunya,buat apa harus pulang......)
KHATIMAH
Harapan penulis, semoga pesantren
yang bertebaran di negeri ini, lebih diperhatikan oleh pemerintah. Karena
pesantren merupakan tempat cikal bakal atau generasi penerus bangsa ini agar
lebih bermartabat. SEE YOU....
YASPIDA.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar