Belajar Kompetisi Dalam Sebuah Permainan |
Permainan kids zaman Now, cenderung menghasilkan sebuah kepribadian yang tak peka terhadap sesama. Setuju atau tidak, yang jelas ini bukan sedang melakukan voting. Hanya berdasarkan pengamatan, saya merasakan sendiri ketika membandingkan perangkat permainan anak-anak kekinian, dengan era 80-an kesana. Anak-anak masa kini yang identik dengan serba digital, kalau orang tuanya tak membimbing dengan baik, maka khawatir mereka akan tumbuh menjadi seorang manusia yang tak lagi peduli ke sesama. Keasyikan bermain game yang tak membutuhkan banyak kawan, hanya akan membuat mereka jauh dengan sekitar. Jika hal ini dibiarkan, maka bisa jadi sifat “Gotong Royong” yang menjadi ciri bangsa ini lambat laun akan sirna.
Beberapa
hari lalu saya bincang-bincang dengan seorang rekan kerja. Sudah menjadi
kebiasaan ketika ada waktu senggang, kami berdiskusi dengan suasana bincang
santai. Apapun bisa kami bahas, sampai hal politikpun tak lekang kami
mengupasnya. Sebatas hal tersebut menarik dan menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat. Hingga pada ujung pekan lalu diskusi tentang pendidikan anak-anak.
“Kira-kira apa yang dilakukan kang Ade dulu
sewaktua anak-anak?” Tanyaku ke seorang teman tersebut, yang bernama Ade Kurniawan
yang usianya 11 tahun dibawah saya.
“kenapa nanya demikian?” Timpalnya malah balik
nanya, seperti meminta kejelasan akan maksud pertanyaanku. Sayapun bercerita,
tentang kebiasaan Ahsan puteraku
sepulang shalat shubuh. Selepas shalat berjamaah, hanya 15 menit dia
mengulang pelajaran ngajinya. Tak jarang sisa ngantuk masih tergambar di wajah si anak ini, yang dua bulan lagi menginjak usia 7 tahun. Apa
yang dilakukannya selanjutnya? Aktivitas yang membuat dia senang adalah asyik di depan Televisi . Pelbagai film
kartun ditontonnya. Dan kabar dari beberapa teman, aktivitas menonton yang
dilakukan anak-anaknya tak jauh beda yakni menonton.
Setelah
mendengar cerita tersebut, Ade yang saya ajak diskusipun mulai menceritakan
bagaimana kebiasaannya dulu yang ternyata tak jauh berbeda dengan kisah masa
kecilku. Hidup di kampung dengan nuansa agama yang masih kental, aktivitas di
pagi hari kami mulai di rumah guru ngaji. Karena waktu itu anak-anak sebaya
tidak tidur di rumah. Kira-kira 30 menit menjelang maghrib, orang tua kami
menyuruh pulang untuk cepat-cepat berangkat ke mesjid terdekat untuk melakukan
shalat berjamaah yang berlanjut dengan belajar Al-quran dan pelajaran agama
yang masih tahapan dasar. Sampai selepas isya tak pulang ke rumah, dan kamipun
tidur di rumah guru. Dan rumah sang kiyaipun akan riuh rendah sepanjang kami
berada di sana. Maklum saja, bisa dibayangkan anak-anak seusia SD berkumpul
pasti ramai dengan candaan atau permainan sebelum tidur. Tak pernah nonton TV,
karena jam segitu acara TVRI tak menarik buat usia anak-anak. Hingga pagi
sebelum pulang, anak-anak akan senang hati membantu pekerjaan di sekitar rumah
guru. Yang perempuan ada yang membantu cuci piring, membantu ibu kiyai memasak,
atau menyapu halaman. Sementara yang laki-laki ada yang nyiangi pekarangan,
bantu menimba air dari sumur, karena waktu itu belum zamannya mesin penyedot
air. Semua dilakukan dengan suka cita dan penuh kebersamaan. Dan hal ini
ternyata menjadi sebuah pelajaran berharga, kalau sebenarnya kita sedang
belajar bersosialisai. Dan kenangan seperti ini telah mampu melahirkan kenangan
yang sulit dilupakan. Dan alhasil, sayapun masih mengingat nama teman-teman
walaupun sudah puluhan silam.
Permainan
zaman Old lebih ke nuansa gotong royong, tengok saja Bebentengan. Maaf... untuk istilah dengan bahasa Indonesia,saya tak
tahu istilah yang populer di kawasan Sukabumi ini. Cara bermainnya, ada dua
kelompok berhadap-hadapan. Masing-masing kelompok akan berpijak pada sebuah
batu sebagai tanda kalau benda tersebut sebagai benteng pertahanan. Mungkin
inilah maksudnya kenapa namanya jadi Bebentengan.
Siapa yang terlepas dari pijakan tersebut, maka pihak lawan bila menyentuh
orang yang melepaskan diri tersebut, maka sudah dipastikan kelompok yang bisa
menyentuh tersebut mendapatkan poin. Keseruan muncul,karena masing-masing pihak
akan sengaja mendekati kubu lawan, dengan tujuan lawan akan mengejar
dirinya untuk bisa disentuhnya.
Disinilah fungsinya kita harus pandai berlari, kekompakkan dalam sebuah team,
belajar strategi dan trik menyerang dan bertahan. Luar biasa bukan? Pokoknya
seru abis aneka permainan zaman
dulu itu. Semua organ tubuh
sepertinya ikut bermain. Bukan hanya otak berpikir, tapi berikut fisik juga ikut andil bagian.
Mengamati Tongtolang (Buah Nangka Muda) |
Saya
tak akan mengupas lebih jauh tentang
dampak menonton tv atau berlama-lama nge-game yang dilakukan anak-anak. Banyak
sudah artikel yang membahas tentang ini. Anda tinggal klik dan searching, pasti
keluar tuh info yang akan kita minta. Dalam kesempatan ini, saya akan sharing bagaimana caranya mengendalikan
anak-anak untuk urusan ini. Jujur saya akui, kalau sebenarnya waktu untuk
bersama anak-anak tak begitu banyak.
Setiap pagi pukul 08.00 sampai pukul 16.00, adalah saat berjauhan dengan
anak-anak. Beruntung jarak dari rumah ke tempat kerja, masih satu kompleks,
sehingga jam istirahat bisa berguna untuk menemui mereka walau sekedar menyapa
dan memangku si kecil Qoila. Pagi hari adalah saat tepat bagaimana saya
bergumul dengan mereka. Interaksi lahir bathin saya curahkan. Keliling kampung
sambil menghirup udara pagi, dan mengeksplor anak-anak akan sesuatu yang baru.
Yang penting dapat melupakan
kesenangannya untuk berasyik ria di depan Televisi.
Yang
saya lakukan hanya
mengalihkan perhatian saja,hal
ini tentu tak bisa dilakukan sendirian. Maka
kerja sama dengan istri
atau suami, adalah
yang harus kita
jadikan sebagai sebuah prinsip. Kasihan sekali
anak-anak yang begitu fresh
di pagi hari, tapi memorinya harus dijejali dengan hal yang selebihnya tak
begitu bermanfaat. Barangkali kita merasa enjoy, karena dengan menonton TV, mereka tak mengganggu
pekerjaan orangtuanya. Yang biasanya
nuansa pagi sangat sibuk dengan urusan di rumah. Apa lagi seorang ibu rumah
tangga yang tak memiliki pembantu, biasanya akan super repot dengan aktivitas
paginya. Maka dengan adanya hal yang menyenangkan si anak yakni nonton tv,
orang tua pasti merasa leluasa mengerjakan pekerjaannya. Padahal yang
dia tonton itu banyak, termasuk
iklan yang akan membawa dirinya konsumerisme. Belum lagi akibat lain yang merupakan efek yang kurang bagus lainnya.
Memperkenalkan Berenang Kepada Anak |
Melihat kenyataan demikian,
sebagai orang tua yang care tentu tak
mau kalau anaknya menjadi objek digital.
Oleh karenanya, saya menyengajakan diri
memberi waktu luang bersamanya. Lagian asyik banget loh komunikasi sama
anak-anak, selalu ada celah yang membuat orang tua merenung dan menambah ilmu ke-orang tuaan.
Hehhe... apa ya bahasanya,koq ke-orang tuaan. Pernah anak
saya teriak kaget ketika keliling desa, menelusuri selokan yang kebetulan di
musim hujan seperti sekarang, airnya masih menampakkan diri. Dia
melihat seekor kepiting yang ternyata jalannya miring dengan kedua capit yang
menganga ke atas. Teriakkannya
menyadarkan saya ternyata baru kali ini
dia tahu aslinya seekor kepiting. Selama ini baru tahu di TV saja.
Dari kejadian seperti ini sudah jelas
akan terjadi komunikasi yang mengasyikkan, dan sarana transfer ilmu ke anak
tentang apa yang dilihatnya. Dan siap-siap pula kita orang
tua dicecar dengan pertanyaan sang anak.
Waktu itupun saya ditanya, kenapa kepiting jalannya ke samping, makanan dia
apa, apa bedanya kepiting laut dan
kepiting air tawar, kalau dimakan boleh apa tidak? Pokoknya jadi banyak bahasan. Disaat seperti
inilah terjalin proses bonding atau kelekatan yang diperlukan
antara anak dan orang tua. Bonding
inilah yang menjadi bagian dari sebuah struktur dalam tumbuh kembang anak.
Karena yang dibutuhkan anak bukan saja gizi seimbang saja, tapi kelekatan ini
pula akan berpengaruh besar dalam perkembangan
mental anak ke depannya.
Pelukan Di Pagi Hari
Ada Transfer Chemistry Dalam Sebuah Pelukan |
Ada proses saling transfer chemistry ketika kita berpelukan dengan buah hati. Saya sendiri baru membiasakan hal ini, ketika walikota Bandung Ridwan Kamil menceritakan pengalaman pribadinya di salah satu stasiun televisi. Pagi-pagi sebelum melakukan aktivitas, hal pertama yang dilakukannya adalah memeluk anak-anaknya sekitar 30 sampai 60 detik saja. Disaat berpelukan inilah, 30 detik pertama kita mentransfer chemistry pada anak, dan 30 detik terakhir anak yang akan mentransfer chemistry pada kita. Setelah hal ini dikakukan rutin, maka sudah tentu keterikatan bathin satu sama lain akan terbina. Rasa peka antara anak dan orang tua akan terbangun.
Ingatlah kisah Fatimah binti
Rasulillah, kasih sayang yang ditumpahkan ayahnya begitu membekas. Saya selalu
membayangkan betapa besar karunia yang diberikan kepada ibunda Hasan dan Husein
ini. Tiap saat bertemu ayahnya selalu diciumnya, dikecup keningnya, dicium
tangannya dan didekapnya. Perlakuan
Rasulullah terhadap anak-anaknya tidak dilakukan di rumahnya saja, tapi juga
sering dilakukan di depan para sahabatnya. Pantas saja kelak Fatimah dewasa
menjadi pribadi percaya diri, bermental baja, penyabar dan berakhlaqul karimah
lainnya.
Rasulullah selalu menebar
keceriaan dan kebahagiaan di depan anak-anak. Sehingga sepulang dari mesjid,
anak-anak sudah pada menunggu di luar. Beliau usap pipi dan kepalanya
masing-masing. Bahkan tak jarang beliau
melakukan game dengan mereka. Dalam
sebuah hadist disebutkan, “Rasulullah saw
bersabda, “Barang siapa yang dapat mengejar aku, dia akan mendapatkan ini dan
itu, Lalu Abdullah berkata, lalu mereka mengengejar beliau, sehingga mereka
dapat memegang punggung dan dada beliau, lalu mereka mencium dan
menggandengnya” (HR. Ahmad). Hal ini
bisa kita praktekkan kepada anak-anak kita ataupun buat temannya anak-anak
kita. Jangan ragu untuk selalu mau bermain bersamanya. Jadikan suasana rumah
selalu diisi dengan hal yang menyenangkan, sehingga tak ketergantungan dengan
hanya menonton televisi.
Anak-anak Butuh Teman
Dua
pekan lalu saya menyimak video live di
Facebook, yang isinya tausiyah ust. Cahyadi Takariawan yang lebih familiar
dengan panggilan pak Cah. Beliau menyarankan agar anak-anak harus dikenalkan
dengan teman sebayanya. Hal ini penting dilakukan agar semua sejalan dan
merupakan fitrah yang harus terjadi pada anak-anak. Sehingga perekembangan
psikologi, sosialisasi, tenggang rasa akan muncul sejak dini. Karena pada
dasaranya anak-anak itu butuh teman bermain. Mereka membutuhkan ajang
kompetisi, sehingga bisa siap menghadapi persoalan hidup ketika dewasa kelak.
Makanya dari awal tulisan ini, saya menilai kalau permainan di era digital ini
tak sepenuhya memenuhi kebutuhan hak anak, bahwa sejatinya mereka membutuhkan
teman.
Di
bagian akhir tulisan ini, saya mau menampilkan pesan Syaikh Dr. Ash-Shallabi.
5 Sentuhan Setiap Hari :
5 Sentuhan Setiap Hari :
•Belailah kepala bagian
belakang anak, pertanda bentuk kasih sayang
• Letakkan tangan di kepala anak, pertanda bentuk kebanggaan
•Letakkan tangan di atas
kening anak agar dia merasa tenang.
•Letakkan tangan di kedua
pipi anak, sebagai bentuk kasih sayang.
•Genggam tangannya untuk menguatkan hubungan dan cinta anda kalau anaknya sedang marah, tepuklah dadanya secara lembut.