Penayangan bulan lalu

Minggu, 28 Januari 2018

Ceria Pagi Bersama Anak

Belajar Kompetisi Dalam Sebuah Permainan


               Permainan kids zaman Now, cenderung menghasilkan sebuah kepribadian yang  tak peka terhadap sesama. Setuju atau tidak, yang jelas ini bukan sedang melakukan voting. Hanya berdasarkan pengamatan, saya merasakan sendiri ketika membandingkan perangkat permainan anak-anak kekinian, dengan era 80-an kesana.  Anak-anak masa kini yang identik dengan serba digital, kalau orang tuanya tak membimbing dengan baik, maka khawatir mereka akan tumbuh menjadi seorang manusia yang tak lagi peduli ke sesama. Keasyikan bermain game yang tak membutuhkan  banyak kawan, hanya akan membuat mereka jauh dengan sekitar. Jika hal ini dibiarkan, maka bisa jadi sifat “Gotong Royong” yang menjadi ciri bangsa ini lambat laun akan sirna.





                Beberapa hari lalu saya bincang-bincang dengan seorang rekan kerja. Sudah menjadi kebiasaan ketika ada waktu senggang, kami berdiskusi dengan suasana bincang santai. Apapun bisa kami bahas, sampai hal politikpun tak lekang kami mengupasnya. Sebatas hal tersebut menarik dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Hingga pada ujung pekan lalu diskusi tentang pendidikan anak-anak.

                “Kira-kira apa yang dilakukan kang Ade dulu sewaktua  anak-anak?” Tanyaku  ke seorang teman tersebut, yang bernama Ade Kurniawan yang usianya 11 tahun dibawah saya.
kenapa  nanya demikian?” Timpalnya malah balik nanya, seperti meminta kejelasan akan maksud pertanyaanku. Sayapun bercerita, tentang kebiasaan Ahsan puteraku  sepulang shalat shubuh. Selepas shalat berjamaah, hanya 15 menit dia mengulang pelajaran ngajinya. Tak jarang sisa ngantuk masih tergambar  di wajah si anak ini,  yang dua bulan lagi menginjak usia 7 tahun. Apa yang dilakukannya selanjutnya? Aktivitas yang membuat dia senang  adalah asyik di depan Televisi . Pelbagai film kartun ditontonnya. Dan kabar dari beberapa teman, aktivitas menonton yang dilakukan anak-anaknya tak jauh beda yakni menonton.

                Setelah mendengar cerita tersebut, Ade yang saya ajak diskusipun mulai menceritakan bagaimana kebiasaannya dulu yang ternyata tak jauh berbeda dengan kisah masa kecilku. Hidup di kampung dengan nuansa agama yang masih kental, aktivitas di pagi hari kami mulai di rumah guru ngaji. Karena waktu itu anak-anak sebaya tidak tidur di rumah. Kira-kira 30 menit menjelang maghrib, orang tua kami menyuruh pulang untuk cepat-cepat berangkat ke mesjid terdekat untuk melakukan shalat berjamaah yang berlanjut dengan belajar Al-quran dan pelajaran agama yang masih tahapan dasar. Sampai selepas isya tak pulang ke rumah, dan kamipun tidur di rumah guru. Dan rumah sang kiyaipun akan riuh rendah sepanjang kami berada di sana. Maklum saja, bisa dibayangkan anak-anak seusia SD berkumpul pasti ramai dengan candaan atau permainan sebelum tidur. Tak pernah nonton TV, karena jam segitu acara TVRI tak menarik buat usia anak-anak. Hingga pagi sebelum pulang, anak-anak akan senang hati membantu pekerjaan di sekitar rumah guru. Yang perempuan ada yang membantu cuci piring, membantu ibu kiyai memasak, atau  menyapu halaman. Sementara  yang laki-laki ada yang nyiangi pekarangan, bantu menimba air dari sumur, karena waktu itu belum zamannya mesin penyedot air. Semua dilakukan dengan suka cita dan penuh kebersamaan. Dan hal ini ternyata menjadi sebuah pelajaran berharga, kalau sebenarnya kita sedang belajar bersosialisai. Dan kenangan seperti ini telah mampu melahirkan kenangan yang sulit dilupakan. Dan alhasil, sayapun masih mengingat nama teman-teman walaupun sudah puluhan silam.

                Permainan zaman Old lebih ke nuansa gotong royong, tengok saja Bebentengan. Maaf... untuk istilah dengan bahasa Indonesia,saya tak tahu istilah yang populer di kawasan Sukabumi ini. Cara bermainnya, ada dua kelompok berhadap-hadapan. Masing-masing kelompok akan berpijak pada sebuah batu sebagai tanda kalau benda tersebut sebagai benteng pertahanan. Mungkin inilah maksudnya kenapa namanya jadi Bebentengan. Siapa yang terlepas dari pijakan tersebut, maka pihak lawan bila menyentuh orang yang melepaskan diri tersebut, maka sudah dipastikan kelompok yang bisa menyentuh tersebut mendapatkan poin. Keseruan muncul,karena masing-masing pihak akan sengaja mendekati kubu lawan, dengan tujuan lawan akan mengejar dirinya  untuk bisa disentuhnya. Disinilah fungsinya kita harus pandai berlari, kekompakkan dalam sebuah team, belajar strategi dan trik menyerang dan bertahan. Luar biasa bukan? Pokoknya seru abis aneka permainan zaman  dulu  itu. Semua organ tubuh sepertinya ikut bermain. Bukan hanya otak berpikir, tapi berikut fisik juga  ikut andil bagian.
Mengamati Tongtolang (Buah Nangka Muda)

               
                Saya tak akan mengupas  lebih jauh tentang dampak menonton tv  atau berlama-lama nge-game yang dilakukan anak-anak. Banyak sudah artikel yang membahas tentang ini. Anda tinggal klik dan searching, pasti keluar  tuh info yang akan kita  minta. Dalam kesempatan ini, saya akan sharing bagaimana caranya mengendalikan anak-anak untuk urusan ini. Jujur saya akui, kalau sebenarnya waktu untuk bersama anak-anak tak begitu banyak.  Setiap pagi pukul 08.00 sampai pukul 16.00, adalah saat berjauhan dengan anak-anak. Beruntung jarak dari rumah ke tempat kerja, masih satu kompleks, sehingga jam istirahat bisa berguna untuk menemui mereka walau sekedar menyapa dan memangku si kecil Qoila. Pagi hari adalah saat tepat bagaimana saya bergumul dengan mereka. Interaksi lahir bathin saya curahkan. Keliling kampung sambil menghirup udara pagi, dan mengeksplor anak-anak akan sesuatu yang baru. Yang penting dapat  melupakan kesenangannya untuk berasyik ria di depan Televisi.

                Yang saya  lakukan  hanya   mengalihkan perhatian  saja,hal ini tentu tak bisa dilakukan sendirian. Maka  kerja sama  dengan  istri  atau   suami,  adalah  yang  harus  kita  jadikan  sebagai   sebuah prinsip. Kasihan sekali anak-anak  yang  begitu fresh di pagi hari, tapi memorinya harus dijejali dengan hal yang selebihnya tak begitu bermanfaat. Barangkali kita merasa enjoy,  karena dengan menonton TV, mereka tak mengganggu pekerjaan orangtuanya.  Yang biasanya nuansa pagi sangat sibuk dengan urusan di rumah. Apa lagi seorang ibu rumah tangga yang tak memiliki pembantu, biasanya akan super repot dengan aktivitas paginya. Maka dengan adanya hal yang menyenangkan si anak yakni nonton tv, orang tua pasti merasa leluasa mengerjakan pekerjaannya. Padahal  yang  dia tonton itu banyak, termasuk  iklan  yang  akan membawa dirinya konsumerisme. Belum lagi akibat lain yang  merupakan efek yang kurang bagus lainnya.
Memperkenalkan Berenang Kepada Anak

Melihat kenyataan demikian, sebagai orang tua yang care tentu tak mau kalau anaknya menjadi objek  digital. Oleh karenanya, saya menyengajakan diri  memberi waktu luang bersamanya. Lagian asyik banget loh komunikasi sama anak-anak, selalu ada celah yang membuat orang tua merenung  dan menambah ilmu ke-orang tuaan. Hehhe...  apa  ya bahasanya,koq ke-orang tuaan.  Pernah anak saya teriak kaget ketika keliling desa, menelusuri selokan yang kebetulan di musim hujan  seperti  sekarang, airnya masih menampakkan diri. Dia melihat seekor kepiting yang ternyata jalannya miring dengan kedua capit yang menganga  ke atas. Teriakkannya menyadarkan saya ternyata baru kali ini  dia tahu aslinya seekor kepiting. Selama ini baru tahu di TV saja. Dari  kejadian seperti ini sudah jelas akan terjadi komunikasi yang mengasyikkan, dan sarana transfer ilmu ke anak tentang apa  yang  dilihatnya. Dan siap-siap pula kita orang tua  dicecar dengan pertanyaan sang anak. Waktu itupun saya ditanya, kenapa kepiting jalannya ke samping, makanan dia apa, apa  bedanya kepiting laut dan kepiting air tawar, kalau dimakan boleh apa tidak?  Pokoknya jadi banyak bahasan. Disaat seperti inilah terjalin proses bonding atau kelekatan yang diperlukan antara  anak dan orang tua. Bonding inilah yang menjadi bagian dari sebuah struktur dalam tumbuh kembang anak. Karena yang dibutuhkan anak bukan saja gizi seimbang saja, tapi kelekatan ini pula akan berpengaruh besar dalam  perkembangan mental anak  ke depannya.

Pelukan Di Pagi Hari

Ada Transfer Chemistry Dalam Sebuah Pelukan

Ada proses saling transfer chemistry ketika kita berpelukan dengan buah hati. Saya sendiri baru membiasakan hal ini, ketika walikota Bandung Ridwan Kamil menceritakan pengalaman pribadinya di salah satu stasiun televisi. Pagi-pagi sebelum melakukan aktivitas, hal pertama yang dilakukannya adalah memeluk anak-anaknya sekitar 30 sampai 60 detik saja. Disaat berpelukan inilah, 30 detik pertama kita mentransfer chemistry pada anak, dan 30 detik terakhir anak yang akan mentransfer chemistry pada kita. Setelah hal ini dikakukan rutin, maka sudah tentu keterikatan bathin satu sama lain akan terbina. Rasa peka antara anak dan orang  tua akan terbangun.



Ingatlah kisah Fatimah binti Rasulillah, kasih sayang yang ditumpahkan ayahnya begitu membekas. Saya selalu membayangkan betapa besar karunia yang diberikan kepada ibunda Hasan dan Husein ini. Tiap saat bertemu ayahnya selalu diciumnya, dikecup keningnya, dicium tangannya  dan didekapnya. Perlakuan Rasulullah terhadap anak-anaknya tidak dilakukan di rumahnya saja, tapi juga sering dilakukan di depan para sahabatnya. Pantas saja kelak Fatimah dewasa menjadi pribadi percaya diri, bermental baja, penyabar dan berakhlaqul karimah lainnya.

Rasulullah selalu menebar keceriaan dan kebahagiaan di depan anak-anak. Sehingga sepulang dari mesjid, anak-anak sudah pada menunggu di luar. Beliau usap pipi dan kepalanya masing-masing.  Bahkan tak jarang beliau melakukan game dengan mereka. Dalam sebuah hadist disebutkan, “Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang dapat mengejar aku, dia akan mendapatkan ini dan itu, Lalu Abdullah berkata, lalu mereka mengengejar beliau, sehingga mereka dapat memegang punggung dan dada beliau, lalu mereka mencium dan menggandengnya” (HR. Ahmad).  Hal ini bisa kita praktekkan kepada anak-anak kita ataupun buat temannya anak-anak kita. Jangan ragu untuk selalu mau bermain bersamanya. Jadikan suasana rumah selalu diisi dengan hal yang menyenangkan, sehingga tak ketergantungan dengan hanya menonton televisi.

Anak-anak Butuh Teman
                Dua pekan lalu saya menyimak video live di Facebook, yang isinya tausiyah ust. Cahyadi Takariawan yang lebih familiar dengan panggilan pak Cah. Beliau menyarankan agar anak-anak harus dikenalkan dengan teman sebayanya. Hal ini penting dilakukan agar semua sejalan dan merupakan fitrah yang harus terjadi pada anak-anak. Sehingga perekembangan psikologi, sosialisasi, tenggang rasa akan muncul sejak dini. Karena pada dasaranya anak-anak itu butuh teman bermain. Mereka membutuhkan ajang kompetisi, sehingga bisa siap menghadapi persoalan hidup ketika dewasa kelak. Makanya dari awal tulisan ini, saya menilai kalau permainan di era digital ini tak sepenuhya memenuhi kebutuhan hak anak, bahwa sejatinya mereka membutuhkan teman.

               
                Di bagian akhir tulisan ini, saya mau menampilkan pesan Syaikh Dr. Ash-Shallabi.

5 Sentuhan Setiap Hari :


Belailah kepala bagian belakang anak, pertanda bentuk kasih sayang
 Letakkan tangan di kepala anak, pertanda bentuk kebanggaan
Letakkan tangan di atas kening anak agar dia merasa tenang.
Letakkan tangan di kedua pipi anak, sebagai bentuk kasih sayang.

•Genggam tangannya untuk menguatkan hubungan dan cinta anda kalau anaknya sedang marah, tepuklah dadanya secara lembut.


#AnakInvesasiDuniaAkhirat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar