Sebagai
kepala rumah tangga saya selalu terngiang-ngiang dengan Firman Allah dari Qs
attahrim :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan” (at-Tahrim;66)
Sungguh pesan Allah ini sangat
indah, betapa Dia sayang kepada umatnya sehingga mewanti-wanti agar kita
berhati-hati dan menjaga diri dan keluarga dari dahsyatnya api neraka.
PerintahNya bukan hanya untuk diri sendiri tetapi menyangkut kepada seluruh
anggota keluarga.
Sebagai orangtua tentu hal ini akan
mendorong untuk lebih waspada menjaga anggota keluarga dari perbuatan maksiat
dan hal-hal yang menyimpang dari aturan yang Allah tetapkan. Dan caranya adalah
dengan memberikan ilmu yang memadai kepada anak-anak. Sedari kecil orangtua
mempersiapkan anak dengan mengenalkan hal-hal sederhana yang berkaitan dengan
keagamaan. Dari memperkenalkan huruf hijaiyyah, doa-doa pendek dan praktek
ibadah. Akan tetapi setelah si anak tumbuh besar mereka membutuhkan pendidikan
dari luar. Dan kapasitas orangtua pula yang memang tidak semua orangtua
menguasai semua ilmu untuk anak-anaknya. Dari sinialah pesantren lahir menjadi
solusi agar kebutuhan anak terpenuhi.
Sebuah kekhawatiran para orangtua
saat ini adalah melihat keadaan zaman sekarang yang sejaatinya membuat miris
dan merinding melihat pergaulan anak-anak. Hampir tiap hari ketika kita melihat
chanel televisi, banyak remaja yang terjerumus kepada kubangan narkoba.
Begitupun dari lingkungan kita terutama di daerah perkotaan kengerian orangtua
makin menjadi-jadi tatkala pergaulan bebas yang mengarah pada free sex. Remaja
putri yang berusia smp dengan bangganya menjadi cabe-cabean dan juga tawuran
yang sepertinya telah menjadi kebiasaan. Maka sangat wajarlah para orangtua
yang care terhadap anak-anaknya berkeinginan lebih untuk memproteksi dan
mensterilisasi putera-puterinya dari pengaruh negatif tersebut.
Belajar dan tinggal di pondok pesantren memang membutuhkan
waktu yang tidak sebentar. Minimal memerlukan waktu tiga tahun untuk jenjang
SMP dan tiga tahun untuk jenjang SMA. Maka kalau orangtua full memasukkan anaknya ke
pondok pesantren maka dibutuhkan waktu enam tahun.Bahkan saya sempat menemui
juga ada orangtua yang memasukkan anaknya sejak usia Sekolah Dasar. Karena
alasan masa belajar inilah menjadi pertimbangan para orangtua dan calon santri
itu sebdiri.
Berikut saya mencoba mengemukakan
alasan orangtua sehingga tidak memasukkan anaknya ke pesantren :
1. Faktor Biaya
Alasan pertama ini merupakan yang sering saya jumpai ketika berbicara
dengan para orangtua. “Bukannya enggak
mau saya masukkin anak ke pesantren tapi biayanya mahal banget, apalagi pas
masuk pertama, ampun dah”. Demikian kalimat yang terlontar dari salah
seorang tetangga, yang sempat saya anjurkan untuk memasukkan anaknya ke pesantren.
Karena alasan biaya ini juga timbul
argumen bahwa sekolah terpadu dengan pesantren adalah khusus buat orang
berduit. Apalagi pondok pesantren yang sudah menyematkan namanya dengan istilah
boarding school. Keluarga pra
sejahtera hanya menjadi penonton dan mengelus dada karena merasa mahalnya biaya
pendidikan.
Biaya masuk di salah satu pondok
pesantren modern yang pernah saya survei rata-rata di angka Rp. 15.000.000
untuk biaya awal. Sementara untuk biaya
bulanannya berada di kisaran satu jutaan lebih. Itu untuk biaya pendidikan,
belum kebutuhan si santri itu sendiri seperti uang saku atau kebutuhan pribadi
lainnya.
Tapi sebenarnya masih banyak yang
biayanya dibawah sepuluh juta atau bahkan dibawah lima juta. Tinggal kita
pandai memilih-milih dan rajin survei membuat study banding dalam hal biaya.
Apalagi saat ini lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren sudah transfaran
dan memiliki website. Tinggal kita klik di internet semua bisa kelihatan dari
segi biaya, photo bangunan pondok bahkan visi misinya bisa kita lihat dengan
gampangnya.
Kata mahal sebetulnya relatif,
terkadang orang yang berkecukupanpun masih banyak yang enggan memasukkan ke
pondok pesantren dengan alasan biaya mahal. Tapi sebaliknya banyak juga yang
kita jumpai bahwa ada orangtua juga yang sangat care sehingga berani untuk
memasukkan anaknya ke pondok pesantren padahal dari segi finansial jauh dari
kecukupan.
Apakah benar biaya pesantren mahal ?
Pertanyaan itu terlintas di pikiran
saya dan cenderung untuk mencari tahu jawabanya. Dan ternyata mahal itu
tergantung bagaimana kita memandangnya. Karena setelah dirinci pos-pos jalur
keuangannya, ternyata uang tersebut ya buat biaya santri itu sendiri. Ibarat
kita pindah rumah sudah barang tentu kita membutuhkan perabotan dan
perlengkapan pribadi. Dan yang namanya mondok bukan sekedar mampir sebentar
langsung pulang, tapi berlangsung minimal tiga tahun.
Yang terasa membuat mahal itu karena
dibayarnya di muka. Untuk mensiasatinya kita harus benar-benar membuat
perencanaan keuangan jauh-jauh hari. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa
biaya pendidikan di Indonesia relatif kena inflasi di kisaran 15% sampai 25%
per tahunnya. Jangankan untuk biaya sekolah lanjutan dan perguruan tinggi,
untuk biaya pendidikan tingkat TK saja kalau kita tidak pandai membuat
perencanaan maka kita bisa kelabakan.
Makanya jauh-jauh hari setahun atau
bahkan lima tahun sebelumnya, kita harus sudah memulai menetapkan goal keuangan
untuk pendidikan. Setelah menetapkan goal atau tujuan keuangan tersebut barulah
kita mapping anggaran agar memudahkan untuk melangkah ke tahap selanjutnya
yaitu budgeting. Buatlah mapping sampai sedetil mungkin, makanya ketika ada
niat untuk memasukkan anak ke pondok pesantren informasi sangat diperlukan.
Termasuk tentang biaya pendidikannya.
Akan tetapi terkadang kita tidak
sempat meluangkan waktu untuk membuat financial plan seperti yang dibicarakan diatas. Kalau
kejadiannya seperti itu tinggal tambahin keyakinan saja, karena membiayai anak
dalam hal pendidikan terlebih ilmu agama maka sudah termasuk fii sabilillah maka insyaallah semua
akan menuai pahala. Bahkan banyak cerita dari orangtua yang memiliki anaknya
menuntut ilmu di pesantren, mereka menemukan kemudahan-kemudahan dalam bab
rizqinya.
Teruslah pupuk diri ini dengan
nasihat-nasihat positif dan motivasi diri setiap saat. Bahwa segala sesuatu
asal mau minta ke Yang Maha memiliki insyaallah Allah akan membantu. Belum ada
cerita orangtua yang jatuh miskin karena anaknya masuk pesantren. Yang ada
malah sebaliknya usaha orangtuanya tambah barokah.
2. Masa Depan Suram
Selain faktor biaya ada juga
ketakutan orangtua yang bila memasukkan anaknya ke pondok pesantren, maka masa
depan sang anak suram. Atau ada juga yang menganggap sang anak ketinggalan
zaman yang bisanya Cuma agama saja dan kalah bersaing dengan sekolah umum
lainnya.
Sedih juga sih sebenarnya kalau
mendapati orangtua yang mempunyai anggapan demikian. Padahal kalau dibandingkan
dengan sekolah umum, dalam hal pelajaran sama saja. Karena lembaga pendidikan
pesantren ini selalu mengguanakan kurikulum diknas yang notabene sama dengan
sekolah umum lainnya. Hanya saja kurikulum keagamaannya ditambah dengan kajian
khusus khas pesantren. Bahkan karena diasramakan inilah santri jadi bebas
berkreasi dan tidak membuang waktu karena dipantau terus oleh pengurus pondok.
Jadi yang membuat suram dan tidaknya
masa depan seseorang atau anggapan kalah bersaing, bukan karena pesantrennya.
Tapi kembali ke santri dan kemauan keras
untuk mengubah keadaan. Saya kasih contoh, keponakan saya yang Alhamdulillah
saat ini sudah masuk di Perguruan Tinggi Negeri waktu di pesantrennya bahkan
menjadi utusan kota Kuningan untuk mengikuti ajang olimpiade Biologi tingkat
propinsi Jawa barat. Dan untuk menjadi utusan dari daerah itu tidaklah gampang,
karena harus bersaing dengan SMA umum di Kuningan dan akhirnya bisa mendapat
nilai tinggi dan layak mengikuti ajang bergengsi itu. Hal ini membuktikan bahwa
anggapan miring, bahwa anak pesantren kalah bersaing, itu hanya isapan jempol
semata. Insyaallah ke depannya dibahas juga tentang orang-orang sukses yang
merupakan alumni dari pondok pesantren.
Dalam surat Ar’d ayat 11, Allah
menegaskan “Seseungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum
itu sendiri mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka”
3. Faktor Gengsi
Faktor ini terkadang hadir kepada
orangtua. Entah darimana asalnya, entah dari obrolan bersama saat arisan, entah
karena hasil tontonan di televisi. Yang jelas ada orangtua yang menilai bahwa
menyekolahkan anaknya ke pesantren tak memiliki gengsi. Bisanya Cuma minta
sumbangan, gaya hidupnya yang ketinggalan zaman bahkan ada yang bilang kalau
pesantren khusus buat anak yang memiliki Nilai Ujian Nasional (NUN) yang
rendah. Jadi malu dong memiliki anak dengan NUN tinggi tapi harus masuk
pesantren.
Fenomena ini tentunya dampak dari
gaya hidup yang menyilaukan mata sehingga salah menilai terhadap pendidikan
sejenis pesantren. Orangtua sejenis ini pula, dia akan merasa bangga kalau
anaknya tampil seronok dan menghibur di acara musik. Dan penampilan seperti ini
tak mungkin didapat di dunia pesantren. Bahkan demi gaya hidup ini pulalah,
mereka rela mengeluarkan uang banyak dan menjejali si anak dengan berbagai
macam les demi melampiaskan obsesi dirinya. Tak jarang anak sebenarnya tidak
membutuhkannya dan bahkan merasa kelelahan dengan aktivitas diluar
kemampuannya.
4. Ketakutan Akan Isu Terorisme
Dalam satu dekade terakhir, muslim
di Indonesia bahkan dunia tengah diuji karena berbagai kejadian radikal yang
kemudian disematkan kepada pelaku tersebut sebagai teroris. Dan diantara mereka ada yang merupakan lulusan pesantren.
walaupun hanya satu atau dua orang yang berbuat terorisme, akan tetapi hal ini
telah menjadi pencorengan atas nama baik pondok pesantren yang pada ujungnya
ada beberapa orangtua yang merasa takut kalau memasukkan anaknya ke pondok
pesantren.
Fenomena ini akhirnya membuat
Kementrian Agama menguji ulang akan kurikulum yang diterapkan di pondok
pesantren. Dan setelah melakukan riset ke pesantren-pesantren ternyata pihak
kementrian agama tidak sedikitpun menemukan kurikulum yang berhunbungan dengan
terorisme dan radikalisme. Kalaupun ada orang yang melakukan tindakan radikal
tersebut, ternyata itu karena pengaruh luar yang tidak ada hubungannya dengan
pondok pesantren.
Dengan demikian tidaklah benar kalau
pondok pesantren merupakan tempat penyemaian teroris yang bermuara pada
kekerasan. Dan ini kaitannya dengan media pemberitaan yang begitu dahsyat,
sehingga nampaknya sangat menakutkan kaum orangtua sehungga tidak memasukkan
putera-puterinya belajar di pondok pesantren.
Baru-baru ini dunia dikejutakan
dengan aksi teror bom di kota Paris ibukota Prancis yang berdasarkan laporan
mencapai 129 orang korban meninggal dunia dari aksi teror tersebut. Lagi-lagi
kalangan yang paranoid terhadap islam mereka mencap sama bahwa islam adalah
teroris. Hal ini pula yang membuat seorang pemuda muslim Paris berusaha
mengajak warga untuk tidak berburu-buru membenci komunitas muslim. Pemuda itu
berdiri di kawasan Taman Place de la Rpublique, mengikat matanya, sambil
membawa papan bertuliskan,”saya seorang
muslim, saya disebut teroris. Saya percaya anda, apakah anda percaya saya? Jika
percaya, silahkan peluk saya.”
The sun melaporkan,
Rabu(18/11/2015), ratusan orang mendekat pemuda itu lalu memeluknya. Ada yang
menyemangatinya, ada juga pengunjung taman tersebut menangis di pelukan pemuda
itu. Pemuda yang tak disebut namanya itu berdiri dari pagi hingga petang.
Tindakan pemuda tersebut sebetulnya
sebuah ungkapan bahwa sebenarnya muslim sejati tidak akan melakukan kebrutalan
semacam itu. Karena pembunuhan terlarang dalam Islam.
Ratusan pengunjung memeluk sang
pemuda muslim di Taman Place Paris Perancis
5. Tak Mau Berjauhan Dengan Si Buah
Hati
Alasan seperti ini banyak saya temui
di masyarakat. “mau sih mau, masukkin anak ke pesantren, tapi kasihan nanti dia
gimana dong, apa-apa harus sendiri dong....”, ada juga yang bilang,”jangankan 3
atau 6 tahun jauh dari anak barang seminggu saja saya tak kuasa”. Kalimat
lainnya yang bernada sama, yaitu enggannya orangtua berpisah lama-lama dengan
sang anak memang beragam.
Alasan orangtua seperti ini
setidaknya pernah terjadi pada oragtua saya. Makanya saya masuk pesantren,
setelah berumur 15 tahun selepas SMP. Pada awalnya selepas SD orangtua sempat
mau memasukkan saya untuk belajar di pondok pesantren. Tapi karena perasaan tak
tega atau berjauhan dengan anak akhirnya baru terlaksana ketika mau masuk SMA.
Lagi pula dari segi kemandirian, terkadang anak lelaki agak telat dibanding anak perempuan. Mungkin
itu juga yang menjadi alasan lain sehingga saya telat masuk pondok.
Sebenarnya perasaan tak mau
berjauhan dengan anak, sangat wajar terjadi pada setiap orangtua. Maklum saja
kebersamaan yang tercipta selama ini pastinya telah melahirkan kedekatan tiada
tara antara orangtua dan anak. Akan tetapi jangan terlalu berlebihan dalam
mensikapinya. Toh, si anak juga di pondok Cuma beberapa tahun. Lagipula saat liburan semesteran, biasanya santri
diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Barterkan antara waktu berpisah dengan
anak ini dengan keberhasilan si anak di masa yang akan datang.
Boarding school atau pondok
pesantren tentunya berbeda dengan sekolah umum kebanyakan. Dari segi kebiasaan
dan aturan tentunya berbeda dengan di rumah orangtua. Contoh kecil saja, pulang
sekolah si anak bisa bermain dulu sama temannya dan sedatangnya di rumah anak
akan bebas mengambil makanan di meja makan.
Begitu juga urusan mandi dan kebutuhan toileting lainnya. Kalau di rumah
anak akan bebas masuk kamar mandi, sementara di pondok anak harus rela
mengantri dengan temannya yang lain. Dan masih banyak lagi yang semuanya bisa
membuat anak mengalami “culture shok”. Oleh karenanya
orangtua yang terlalu care terhadap anak akan merasa ketakutan bila si anak
harus masuk pesantren.
Untuk mengantisipasi tentunya
jauh-jauh hari anak harus dibiasakan atau sengaja diberi pengertian tentang apa
dan bagaimana hidup di pesantren. Mengajak anak survey ke pesantren-pesantren
bisa juga sebagai sarana memperkenalkan anak tentang kebiasaan yang akan terjadi di
pesantren. dengan cara demikian setidaknya ada gambaran bagi anak tentang
pondok pesantren itu seperti apa.
Intinya buat para orangtua, tak
perlu khawatir yang teramat sangat jika harus berpisah. Karena di pondok juga
mereka ada yang membimbing. Dan tiap kamar ada juga ketua kamarnya. Biarlah
mereka bergaul dan menyesuaikan dengan keadaan yang akan membuat anak lebih
mandiri dibanding kalau tinggal di rumah.
Disaat ada orangtua yang tak mau
berjauhan sama anak, ternyata ada juga kebalikannya. Justru saya sempat
menemukan beberapa orang yang justru mereka berani melepaskan anaknya pada usia
SD bahkan usia Paud. Tujuannya tentu baik karena ingin memiliki anak yang
mumpuni di bidang keilmuan. Tapi untuk
masalah ini saya tidak setuju, karena anak juga mempunyai hak yang harus dia
dapatkan. Anak membutuhkan belaian atau sentuhan kasih sayang dari orangtuanya.
Belaian hangat yang menemani hari-hari indah pada anak justru akan menjadi
kenangan terindah bagi anak. Begitupun sebaliknya orangtua juga akan memiliki
kenangan bersama anaknya yang masih kecil. Perjalanan hidup seseorang itu
sangat cepat perputarannya. Barangkali kita sering mendengar,” perasaan baru
kemarin anak ini ditimang-timang, koq sekarang sudah gadis lagi” atau “masih
ingat loh ketika kamu menggunakan seragam putih abu-abu, sekarang koq sudah nimang anak” dan masih
banyak lagi ungkapan yang membuktikan bahwa hidup di dunia ini terasa begitu
cepat. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi orangtua benar-benar
mencurahkan kasih sayang ketika dia belia. Berikan pengetahuan mendasar kepada
anak agar tidak kaget ketika didapatinya level kehidupan berikutnya.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu
dan penempaan terhadap santri agar menjadi manusia berkarakter. Akan tetapi
sebenarnya orangtualah yang akan diminta pertanggungan jawab di yaumul hisab.
Jangan serta merta karena kita beralasan sibuk, atau karena kita tak mau anak
terkontaminasi dengan pergaulan salah yang ada di lingkungan kita, akhirnya
dengan teganya “buang anak” ke pesantren padahal masih usia lucu-lucunya.
Mohon maaf kalau saya memberi istilah buang anak. Karena saya yakin, seorang
anak membutuhkan sambutan hangat dan kematangan emosi melalui orangtuanya.
Bukan dia dapatkan dari ustadz atau ustadzahnya. Barangkali para asatidz bisa
memberikan kecupan anak sama santrinya yang masih kecil-kecil itu. Tapi apakah
setiap hari mendapatkan perlakuan seperti itu. Berbeda dengan orangtua sendiri
yang dapat memberi penghargaan-penghargaan kecil kepada diri anak kapan saja dan
dimana saja. Walaupun penghargaan tersebut hanya berupa senyuman dan ciuman.
Jadi usia yang pas menurut saya
ketika masuk pesantren adalah ketika anak sudah berada pada tahap sempurnanya
kematangan emosi anak. Yang dimaksud kematangan emosi disini adalah dimana kondisi
seseorang mencapai tingkat kedewasaan dan mulai dapat mengontrol emosinya. Dan
biasanya keadaan seperti ini dapat ditemui pada anak yang sudah lulus Sekolah
Dasar. Terutama pada anak perempuan, sementara anak lelaki biasanya setelah
mengalami akil baligh. Dan balighnya anak laki-laki biasanya di usia kelas 8
atau 9 SMP. Tapi tak mungkin kan kalau masuk pesantren ditengah-tengah tahun
pelajaran.
6. Takut Tidak Betah
Sering kejadian sudah cape-cape masuk
pesantren eee..... ternyata beberapa hari saja si anak sudah nongol lagi di
rumah. Bahkan ada yang sampai bela-belain jalan kaki segala. Ada juga yang cuma
gara-gara sakit kepala, karena tak berani berbicara sama pembimbing akhirnya
kabur. Dan masih banyak lagi cerita-cerita santri yang tidak merasa betah di
pondok pesantren.
Hal ini tentunya menjadi
permasalahan baru di rumah. Bisa jadi karena pada awalnya anak merasa dipaksa
supaya masuk pesantren atau bisa jadi pula karena aturan yang mengikat di pesantren
sehingga anak tak merasa nyaman. Atau bisa jadi pula karena ada masalah baru
yang dialami santri di asrama. Karena para santri biasanya datang dari berbagai
daerah dengan latar belakang dan budaya yang beraneka ragam. Sehingga di
awal-awal terjadi gesekan-gesekan.
Sebagai orang yang pernah hidup di
pondok pesantren, tentunya saya mengalami faktor ketidakbetahan ini. Biasanya
berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan kecil dari rumah. Apalagi bagi anak yang
dimanja oleh orangtuanya di rumah, sehingga tingkat kemandiriannya sangat
rendah. Belum lagi kalau di asrama
banyak tulisan-tulisan dari kakak angkatan yang menempel di dinding-dinding
dengan nada pencurahan hati yang bermakna tidak betah. Tulisan tersebut
biasanya lahir dari hati yang jujur sebagai ungkapan rasa bosan atau tidak
betah. Hal ini juga menjadi pemicu santri baru sehingga tidak kerasan tinggal
di pondok pesantren.
Untuk mengantisipasi ketidakbetahan
ini, sebelumnya harus sudah dipikirkan jauh-jauh hari oleh orangtua yang akan
memasukkan anaknya ke pondok pesantren. memaksa anak juga bukan sebuah solusi
kalau malah akan menjadi bumerang di kemudian hari bagi anak maupun bagi
orangtua itu sendiri. Berbicara dari hati ke hati sangat dibutuhkan sebagai
langkah antisipasi. Memperkenalkan aturan yang ada dan interview langsung ke
santri yang sudah ada duluan bisa juga dilakukan, tetapi dengan santri yang
betah tentunya. Bagi orangtua yang
pernah mengenyam pendidikan di pesantren tentunya hal ini sangat mudah
dilakukan. Tinggal di sesuaikan saja dengan keadaan sekarang.
Kalau dibandingkan dengan keadaan
dulu sangat berbeda dengan pondok pesantren zaman sekarang. Waktu saya dulu,
pesantrennya cukup murah dan sesuai dengan fasilitas yang ada. Sebelum
berangkat sekolah jangan harap ada bibi loundry yang siap mencucikan pakaian
kita. Bahkan untuk makanpun kita harus memasak sendiri dengan bahan bakar kayu
seadanya. Warung nasi di sekitar pondok juga ada, tapi mama kiyayi yang
merupakan orang sentral di pondok selalu berpesan,”biar lebih berkah dalam
menuntut ilmu, ada baiknya masak sendiri jangan dibiasakan membeli di warung”.
Terlepas dari ucapan beliau saya memaknai karena di pondok temapatnya qonaah,
tempatnya menempa diri agar hidup dalam kesederhanaan.
Lain dulu lain juga sekarang, pondok
pesantren sekarang banyak yang difasilitasi dengan kantin dan tukang cuci
sendiri. Sehingga kesempatan belajar lebih banyak dan lebih fokus dalam
melaksanakan tugas sebagai santri. Tidak terinterupsi oleh hal-hal pribadi
seperti memasak atau mencuci baju. Tetapi dengan keadaan yang cukup nyaman
seperti itu tetap saja ada santri yang merasa tidak betah. Ini dikarenakan
banyak faktor yang sangat kompleks yang mendorong santri sehingga memutuskan
untuk pulang ke rumah.
Selain komunikasi kepada santri di
jauh-jauh hari sebelum masuk pesantren, bisa juga santri yang sudah terlanjur
masuk bisa diarahkan dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Di sela-sela
belajar antara pesantren dengan sekolah santri bisa dilibatkan dengan kegiatan
yang bisa mengurangi kejenuhan. Diantaranya untuk santri ikhwan disediakan
sarana olahraga seperti putsal, dan untuk yang akhwat bisa disesuaikan dengan
minat keakhwatan. Atau bisa juga dengan memperbanyak tilawah, dengan tilawah
biasanya akan terpancar rasa tenang, rileks, dan mengisi waktu juga. Dan yang
terpenting rajin-rajinlah para orangtua dan santri memohon kepada Allah agar
diberikan rasa betah dan semangat mencari ilmu di pondok pesantren.
Kalau pengalaman saya dulu, karena
tinggal di pondok pesantren yang berada di daerah yang masih asri kala itu,
dalam mengisi waktu agar tak jenuh suka melakukan rekreasi kecil bersama teman
walaupun Cuma berjalan kaki di pematang sawah atau mandi di sungai yang tak
jauh dari lingkungan pondok. Terkadang pula kalau pas hari minggu ada salah
seorang asatidz yang mengizinkan menonton televisi di rumahnya. Pokoknya semua
dibikin happy deh agar tidak ingat
dengan kata tidak betah.
Semua tergantung kepada orangtuanya,
kalau memang anak tidak betah dan sudah berbagai cara tidak bisa meluluhkan
hati si anak, sebagai orangtua kita tak perlu memaksa terhadap anak. Kalaupun
dipaksa, maka anak nantinya merasa terbebani sehingga alih-alih ingin anak
berakhlak mulia malah bisa jadi sebaliknya dan anak jadi pembangkang. Mintalah
selalu sama Allah agar anak diberikan kemudahan dalam hal mencari ilmu demi
bekal hidup di dunia dan akhirat.
Mencerna perasaan anak adalah tugas
orangtua secara bijak, selami perasaan anak dan apa maunya anak. Jangan merasa
malu pada oranglain ketika anak harus berhenti di tengah jalan. Jangan merasa
khawatir atau jengkel karena telah membuang waktu dan biaya tapi ternyata anak
tidak merasa kerasan tinggal di pondok. Karena ketika kita mengeluarkan biaya
tersebet sebenarnya telah Allah catat sebagai satu kebaikan. Dan yang namanya
kebaikan pastinya Allah akan menggantinya. Tapi tidak serta merta menerima
alasan yang dilontarkan oleh anak, makanya menyelami perasaan anak itu yang
sangat prioritas.
Oia, ada satu pengalaman kecil
ketika saya pernah merasakan tidak betah di pondok. Waktu awal-awal masuk
suasana asing dan ketidaknyamanan menerpa dan saya bikin perjanjian ke
orangtua, agar seminggu sekali menjenguk ke pondok. Perjanjian itu saya langgar
sendiri, bukan orangtua yang menjenguk tapi malah saya yang pulang ke rumah
seminggu sekali. Sudah barang tentu kalau di rumah semua serba enak, tidak
terikat dengan aturan yang selama ini di terapkan. Ternyata dengan sering
pulang seperti ini bukannya menjadi betah, malah membuat tidak betah. Namun alhamdulillah
hal ini tak berlangsung lama, dan sepertinya orangtua saya pintar dan bisa
menyelami perasaaan saya. Sehingga akhirnya merasa enjoy lagi di pondok. Itulah
sebabnya mengerti perasaan anak sangat penting dan menjadi prioritas dalam
keberlangsungan pendidikan anak.
Sebelum saya akhiri artikel ini yang
insyaallah masih berlanjut, saya akan menyampaikan pesan KH Hasan Abdullah
Sahal pimpinan pondok moderen Gontor untuk
orangtua santri ;
“Kalau mau mempunyai anak yang bermental
kuat, orangtuanya harus lebih kuat, mempunyai anak itu jangan hanya sekedar
sholeh tapi bermanfaat juga buat umat, orangtua harus berjuang lebih....
ikhlas....iklhlas...ikhlas.
Anak-anakmu di pondok pesantren tidak akan mati karena
kelaparan, tidak akan bodoh karena tidak ikut les ini dan itu. Tidak akan
terbelakang karena tidak memegang gadget.
Insyaallah anakmu akan dijaga langsung oleh Allah karena
sesuai janji Allah yang akan menjaga Alquran.... yakin....yakin... dan harus
yakin.
Lebih baik kamu menangis karena berpisah sementara dengan
anakmu, karena menuntut ilmu agama daripada kamu nanti “yen wes tuwo nangis
karena anak-anakmu lalai urusan akhirat. Kakean mikir ndunyo, rebutan
bondo,pamer rupo, lali surgo.”
Wallohu alam
bishowab, insyaallah artikel ini masih
berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar