santri putera pp modern Albasyariyah cigondewah Bandung |
Kengerian
para orangtua zaman sekarang karena melihat fakta yang ada tentang pergaulan
anak-anaknya membuat mereka berpikir dan mencari solusi untuk dapat keluar dari
permasalahan ini. Upaya para orangtua tua tersebut beragam pula, ada yang rajin
ikut seminar parenting, ada yang membiasakan kajian keislaman tentang bagaimana
mengurus anak. Ada juga yang mencari referensi lewat bacaan, kemudian ada yang
sampai menggunakan jasa pembimbing agar bisa menjadikan anaknya lebih baik.
Bahkan ada juga yang memproteksi anaknya dengan tidak bergaul dengan dunia
luar.
Semua yang
dilakukan orangtua yang peduli terhadap anaknya tersebut, insyaallah akan
membuat sebuah amalan ibadah yang berpahala di mata Allah. Orangtua semacam ini
boleh jadi telah menyadari bahwa peran orangtua yang diembankan terhadap
dirinya merupakan sebuah amanat yang harus ditunaikan atau tugas besar yang
dimandatkan Allah kepada dirinya.
Mendidik dan mengajarkan suatu kebaikan terhadap anak adalah tugas mulia
orangtua sepanjang hayat. Sebuah perjuangan tiada henti agar anaknya mengenal
Allah dan Rasulnya sehingga tujuan akhirnya selamat di dunia dan akhirat.
Sedari kecil
yang dimulai ketika anak dalam kandungan, hingga lahir, masa kanak-kanak dan
terus sampai besar,bahkan sampai anak menikahpun orangtua senantiasa memberikan
perhatian penuh terhadap kita sebagai anak-anaknya. Hanya saja perhatian yang
penuh cinta ini terkadang runtuh karena ada faktor-faktor lain yang membuat anak
jauh dari harapan. Misalnya anak tidak mau sholat, menghardik orangtua, selalu
memaksa kehendaknya sendiri atau tindakan negatif lainnya yang membuat orangtua
menangis.
Menyimpangnya
anak yang keluar dari harapan orangtua, sebetulnya tidak juga kesalahan
pendidikan di dalam rumah. Ada faktor pendukung dari luar yang membuat anak
tidak sesuai dengan cita-cita orangtua. Apalagi zaman sekarang dengan kondisi
yang serba mudah dengan era digital yang serba canggih, gadget yang dengan amat
mudah anak bergumul dan mengakrabi barang tersebut yang tak pernah ditemui oleh
orangtua waktu kecil di zamannya. Pengaruh luar inilah yang memiliki andil
besar dalam membentuk karakter anak sehingga menyimpang dari skenario yang
islami.
Fenomena
seperti inilah yang membuat para orangtua terpanggil untuk memasukkan anaknya
ke basis pondok pesantren atau boarding school. Orangtua berkeyakinan bahwa
dengan memasukkan anaknya ke pondok pesantren maka ketakutan-ketakutan yang diutarakan
diatas dapat dihindari. Karena di pondok, anak bisa belajar untuk lebih dalam
tentang agama. Karena orangtua percaya bahwa pendidikan agama merupakan fondasi
yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sehingga dapat membentuk manusia
yang dapat melaksanakan tugasnya sebagai abdi Allah. Karena tugas manusia di
dunia ini tak lain dan tak bukan adalah untuk beribadah kepada Allah.
Tujuan
orangtua tersebut sangatlah mulia, tapi akan lebih mulia lagi kalau semua
kebutuhan akan ilmu agama ini datang dari orangtua sendiri. Akan tetapi pada
kenyataannya justru anak tidak sepenuhnya mendapatkan yang paling berharga ini
dari orangtuanya. Hanya sebagian kecil dari para orangtua muslim yang
sungguh-sungguh membina anaknya tanpa
campur tangan orang lain. Dan kalaupun ada campur tangan orang lain, porsinya yang dominan adalah di tangan
orangtuanya. Biasanya anak-anak seperti ini yang lahir dan besar di lingkungan
agama yang kuat seperti pesantren. Bisa juga orangtua yang betul-betul memegang
prinsif dengan cara home schooling, sehingga orangtua berperan sebagai guru atau ustadz bagi anak-anaknya.
Harapan
orangtua tersebut tidak selamanya sejalan
dengan apa yang menjadi keinginan sang anak. Sehingga banyak orangtua
yang akhirnya memaksa anak untuk mau mondok. Dan disinilah biasanya akan
terjadi konflik antara kedua belah pihak. Dan konflik yang terjadi ini kalaulah
dibiarkan maka akan menjadi boomerang buat anak. Terkadang ada dalam pikiran orangtua, dengan memaksa anak ke
pondok lama-lama juga anak akan merasa betah dan terbiasa dengan lingkungan
pesantren. Untuk usia SMP hal memaksa anak ini bisa jadi berhasil karena untuk
anak usia ini kematangan dalam emosi dan rasa takut sama orangtua cenderung
masih ada. Akan tetapi bagi anak seusia anak SMA yang tentunya sudah mengalami
masa pubertas hal ini tentu tidaklah gampang. Orangtua harus bekerja ekstra untuk
dapat mengendalikan anaknya tersebut. Atau lebih tepatnya memberi arahan yang
tepat agar anak benar-benar sejalan dengan keinginan orangtua.
Sudah
menjadi kelaziman di Indonesia bahwa masyarakat kita memasukkan anak ke
pesantren pada usia masuk SMP atau SMA yakni di kisaran usia 12-15 tahun. Dan
usia ini merupakan usia pubertas yang menurut Elizabeth B Hurlock dalam Developmental
Psychology (1968) termasuk pada masa remaja awal. Menurut Hurlock masa
remaja terbagi dari tiga fase, yaitu :
1. Pada usia
12-15 tahun termasuk fase remaja awal
2. Pada usia
15-18 tahun termasuk fase remaja pertengahan
3. Pada usia
18-21 tahun termasuk fase remaja akhir
Masa pubertas ini juga merupakan awal perpindahan dari
anak-anak menjadi dewasa. Dari segi fisik kita mengenal mereka sudah besar dan
mereka umumnya tidak mau diperlakukan seperti anak kecil lagi. Sementara dari
kematangan pemikiran ataupun emosional mereka belum seperti orang dewasa dengan
tanggungjawabnya. Dan biasanya konflik antara anak dan orangtua sering muncul
pada usia ini.
Allah
menciptakan segala di alam semesta ini selalu beragam, begitupun perkembangan
tumbuh kembang anak tiadak selalu sama karena banyak faktor pendukung yang
mempengaruhi pertumbuhannya. Dari fase anak ke remaja hal yang paling banyak
mempengaruhi perkembangannya biasanya ada pengaruh faktor keturunan dan
lingkungan. Faktor lingkungan ini biasanya meliputi, lingkungan keluarga, baik
buruknya asupnya gizi, pengaruh teman sepermainan,informasi yang didapat melaui
media, aktivitas keseharian, dan lain-lain. Sehingga patokan umur yang
diklasifikasikan oleh hurlock tak selamanya sama untuk masa sekarang. Kita bisa
perhatikan di era tahun 80’an anak perempuan mengalami haid pertama rata-rata
pada usia 13 tahun lebih. Akan tetapi di era sekarang anak SD kelas 5 saja bahkan ada yang masih kelas 4
yang usianya pada kisaran 9 atau 10 tahun akan tetapi mereka sudah mengalami
haid atau mensturasi.
Untuk anak
laki-lakipun sama, kalaulah di era 80’an masih mudah menemukan mereka di
mushola untuk mengaji, bermain tradisionil dengan teman sebayanya walaupun
usianya sudah masuk masa remaja awal. Tetapi untuk zaman sekarang terkadang
membuat miris orangtua, karena yang mereka lakukan adalah kongkow di warnet,
main game, nyanyi-nyanyi walaupun di waktu maghrib sekalipun. Bahkan tak jarang
yang sudah berani mengganggu lawan
jenisnya. Pergeseran nilai seperti ini karena efek globalisasai dan informasi
yang tidak terkontrol dan mau tidak mau akan menjadi PR bagi para orangtua.
Di masa
remaja seperti inilah maka biasanya sudah mulai banyak konflik yang terjadi
antara anak dan orangtua. Namun sebetulnya konflik yang terjadi hanya merupakan
kejadian-kejadian keseharian yang sebetulnya sangat sederhana. Diantaranya anak
tidak suka merapikan tempat tidurnya, menyimpan kaos kaki sembarangan selepas
sekolah, menonton televisi sampai lama, asyik main gagdet dengan melupakan
Pekerjaan Rumah dan masih banyak hal pemicu konflik yang sungguh membuat dahi
orangtua berkerut.
Dan kalau
hal ini dibiarkan terjadi setelah anak masuk pesantren maka bisa membuat
problem bagi anak dan terlebih bagi lingkungan pondok. Oleh karena itu maka sejak
dini orangtua harus menanamkam bagaimana membuat anak lebih terampil dan
memposisikan diri sebagai pribadi mandiri setelah hidup berjauhan dengan
orangtuanya. Bagi anak gadis yang sudah haid sebelum masuk pesantren mungkin
tidak terlalu sulit untuk menerapkan tatacara dalam
menghadapi mensturasi ini karena sudah diajarkan langsung di rumah oleh ibunya.
Tapi bagi anak gadis yang kemudian ternyata mengalami haidnya di pondok, hal
ini akan jadi kebingungan bagi dirinya. Dengan demikian hal-hal mendasar
seperti ini harus diwanti-wanti oleh orangtuanya terutama bagi ibunya.
Keterbukaan
antara anak dan orangtua sangatlah penting, sehingga komunikasi harus terus
dijaga. Sampaikanlah kepada anak dengan perlahan-lahan soal alasannya sehingga
berhasrat untuk memasukkan anaknya ke pesantren. Begitupun orangtua harus mau
mendengarkan pendapat anaknya sehingga ada komunikasi yang seimbang dan pada
gilirannya terjadi sebuah kesepakatan.
Kalau dalam
tulisan terdahulu saya menyampaikan faktor-faktor ketidaktarikan orangtua untuk
memasukkan anaknya ke pesantren, kalau saat ini justru saya akan memaparkan hal
apa saja yang membuat anak tidak tertarik untuk belajar di pondok pesantren.
ketidaktertarikan anak ternyata lebih banyak daripada ketidaktarikan orangtua.
asrama puetri pp alaqsho Sumedang Jawabarat |
Berikut saya akan paparkan hal apa
saja yang membuat anak enggan untuk tidak mau mondok :
1. Takut Tidak Menguasai Pelajaran Karena Banyaknya
Pelajaran di boarding school atau di pesantren sudah tentu
akan berbeda denga pelajaran yang ada pada sekolah umum. Hal ini dikarenakan
perpaduan antara pelajaran umum dan pelajaran agama atau kitab yang diajarkan
pada setiap pondok pesantren. Walaupun secara kwantitas memang banyak yang
diajarkan, akan tetapi sebenarnya ustadz disana juga tetap memahami keadaan
santri sehingga bisa disesusaikan dengan kemampuan. Santri yang pertama datang
tidak akan sama dalam porsinya dengan santri yang sudah masuk setahun lalu
misalnya.
2. Malu Sama Teman
Biasanya ini terjadi kalau di diri anak sudah tertanam bahwa
sekolah favorit adalah sekolah yang bagus. Sekolah negeri yang jadi idola telah
mempengaruhi pikirannya. Hal ini dikarenakan pengaruh yang dia dapatkan di
sekolah atau iklan di media. Sehingga demi
ingin masuk di sekolah pilihan sampai rela mengeluarkan uang lebih untuk les
tambahan atau bimbel. Anak yang akan masuk pesantren kemudian nila ujiannya
mumpuni untuk masuk di sekolah favorit, lalu orangtuanya memasukkan ke sekolah
yang bukan pilihannya terkadang dia merasa malu sama temannya.
Orang lain ada yang
dengan susahnya ingin mendapatkan nilai yang bagus bahkan dengan rela menyogok
agar mendapatkan nilai tinggi, sementara yang nilai tinggi harus masuk ke
sekolah yang ada pesantrennya. Selain itu rasa malu juga bisa timbul karena
menilai bangunan fisik sekolah di pesantren. Di zaman saya waktu mondok,
bangunan sekolah memang tidak terlalu megah, bahkan untuk lantai atas saja
terbuat dari kayu . Sehingga kalau ada yang berjalan terlalu kencang di lantai
atas, penghuni kelas yang dibawah bisa mendengarnya. Dengan bangunan seperti
itu banyak calon santri yang berpikir mengurungkan niatnya untuk mondok di
situ.
Padahal setelah saya masuk kesana, kegiatan belajar
mengajarnya sama saja dengan sekolah yang lain pada umumnya. Guru
pengajarnyapun banyak yang mengajar juga di sekolah pavorit, Hanya bangunannya
saja yang belum diperbaiki karena terbentur masalah biaya. Maklum pondok
pesantren darul mutaallimin tempat saya mondok tersebut tidak mematok bayaran
tinggi. Yang utama adalah transfer ilmu dari para asatidz yang sampai kepada
para santri. Luarbiasa memang kalau dibandingkan dengan guru zaman sekarang
yang mempunyai gaji tinggi.
3. Banyak Aturan Sehingga
Tidak Bebas
Soal banyak
aturan ? Itu wajar saja , di rumah saja ada aturannya. Di sekolah umum juga
semua ada tata tertibnya, dan disemua keadaan apapun, kita tak terlepas dari
yang namanya aturan atau norma-norma yang harus diterapakan. Dan yang namanya
peraturan sifatnya sama yaitu mengikat dan biasanya berbanding lurus dengan
sangsi atau hukuman.
Peraturan yang diterapkan di
pesantren semata-mata karena untuk kemajuan para santri dan sebagai bukti bahwa
para asatdzid/asatidzah bertanggung
jawab penuh atas mandat yang diberikan dari orangtua santri. Dan peraturan yang
ada sekarang tidak begitu kaku seperti zaman saya dulu di pondok. Kalau dulu masih
ada usatdz yang terkesan angker bahkan
tak segan-segan membawa alat pemukul semacam rotan. Kalau sekarang sepanjang
saya survei ke pondok-pondok dalam rangka membuat ini tulisan, hal seperti itu
sudah tidak ada lagi.
Saya sempat ngobrol juga dengan
salah seorang santri pondok pesantren modern Albasyariyah cigondewah Bandung,
pesantren ini merupakan cabang dari Pesantren Gontor Jawa Timur yang sudah terkenal
itu. Dikenal cabang Pesantren Gontor sebenarnya hanya karena pendiri dan
pengelola merupakan alumni Gontor. Sehingga hal ikhwal tentang kepesantrenan,
tata cara ataupun kurikulum mengadopsi ke pesantren tersebut. Santri ini saya
tanya soal peraturan di pondok apakah terasa memberatkan atau bagaimana. Dan
dia menjawab,”Justru dengan peraturan kami bisa lebih disiplin dan teratur,
bahkan saya merasa menyia-nyiakan waktu kalau ingat sewaktu di rumah yang
sepulang sekolah hanya menonton televisi saja. Tapi disini kami diatur dalam
segala hal, sampai jadwal tidurpun diaturnya. Awalnya terasa mengekang tapi
setelah seminggu terasa biasa dan senang saja kami menerimanya”.
Maka dengan
demikian sebetulnya pikiran takut dikekang itu hanya hembusan-hembusan yang
didasari sifat manusia yang tak ingin diatur. Kalau dari dialog saya dengan
santri albasyariah tersebut dia bilang,”kita harus membentengi diri dari
pengaruh syaithan yang selalu ada di sekeliling kita” ujarnya. Wah.....
mendengar ucapan santri ini saya betul-betul tercengang karena jawaban itu
keluar dari santri yang baru kelas 3
SMP. Pikiran saya membandingkan dengan diri sendiri karena saya masuk pesantren
setelah lulus SMP dan sepertinya tak akan bisa mengeluarkan kalimat positif
seperti itu. Maka ketakutan akan ketatnya peraturan buanglah jauh-jauh dari
pikiran, karena peraturan dibuat semata-mata untuk supaya kita lebih baik dan
berarti di depan masyarakat dan baik di hadapan Allah tentunya.
Seorang
santri tidak akan sesuka hatinya untuk bisa pulang dan pergi dari pondok.
Tetapi beberapa prosedur harus dilaluinya. Hal ini membuktikan bahwa santri
dituntut juga untuk menghargai waktu dan belajar bersabar. Sehingga pada
gilirannya akan menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting jika telah terjun
ke masyarakat.
contoh tata tertib di pp alaqsha Sumedang |
4. Norak atau Kampungan
Kata “norak” kalau dilihat dari Kamus Besar
Bahasa Indonesia memiliki dua makna,
1. Merasa heran atau takjub melihat
2. Sangat berlebih-lebihan. kurang serasi (tentang dandanan dan sebagainya). Norak atau kampungan yang dimaksud disini karena anak-anak membandingkan dengan dunianya yang mereka alami sekarang ini. Zaman sekarang segala sesuatu harus sering update dari mulai Gaya busana, gaya rambut, cara berbicara, bahasa gaul atau istilah baru yang digunakan secara kekinian semua harus tampil up to date. Bahkan yang paling mengerikan pacaranpun sudah dimasukkannya sebagai sesuatu yang harus ada di diri mereka.
1. Merasa heran atau takjub melihat
2. Sangat berlebih-lebihan. kurang serasi (tentang dandanan dan sebagainya). Norak atau kampungan yang dimaksud disini karena anak-anak membandingkan dengan dunianya yang mereka alami sekarang ini. Zaman sekarang segala sesuatu harus sering update dari mulai Gaya busana, gaya rambut, cara berbicara, bahasa gaul atau istilah baru yang digunakan secara kekinian semua harus tampil up to date. Bahkan yang paling mengerikan pacaranpun sudah dimasukkannya sebagai sesuatu yang harus ada di diri mereka.
Memang tidak dipungkiri kalau
santri biasanya identik dengan sarung dan peci bagi laki-laki dan rok panjang
serta jilbab yang terkesan monoton yang digunakan santri perempuan. Bahkan untuk urusan matching atau tidaknya
santri tak begitu mempedulikannya, karena tujuan berbusana adalah melaksanakan
kethaatan sebagai muslim dan muslimah yang
harus menutup aurat.
Begitupun dalam hal bahasa yang
sepertinya kurang gaul untuk ukuran kekinian. Padahal coba kita lihat di pondok seperti assalam Sukabumi, alittihad
cianjur dan pondok pesantren lainnya yang menerapkan bahasa pergaulannya
sehari-harinya adakah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Pokoknya bisa bikin
minder deh kalau kita mendengar mereka langsung bercakap-cakap. Apakah hal ini
norak?
Begitu juga dalam hal busana, kalau dulu
barangkali peci dan sarung sudah identik dengan status santri, tapi untuk
ukuran sekarang bila kita jalan-jalan ke
pesantren nurulfikri Madani Lembang disana menggunakan sarung sudah tidak
menjadi keharusan. Tapi coba perhatikan, dengan berpakaian seperti umumnya
pelajar tapi mereka tak lepas interaksi dengan Alquran bahkan sudah banyak yang
menjadi hafidz dan hafizah. Apakah ini kampungan ?
Pesantren zaman sekarang malah
sudah pandai melihat kekinian yang terjadi, kalaulah dulu paling santri
diarahkan hanya untuk bercocok tanam dalam hal extra kurikulernya, kalau
sekarang malah banyak santri puteri yang diajarkan pula dalam hal menjahit dan
fashion. Sehingga diharapkan setelah mereka keluar dari pondok bisa lebih
mandiri dari hal financial. Dan tentunya hal ini bisa membuat penampilan orang
tidak norak lagi.
5. Kekhawatiran Karena
Jauh Dari Orangtua
Seperti halnya dalam tulisan
terdahulu tentang kekhawatiran orangtua yang tak mau berjauhan dengan anaknya,
maka ternyata kekhawatiran ini pula timbul di diri anak. Hal ini bukanlah suatu
kesalahan karena sejatinya ini merupakan sebuah fitrah manusia apalagi
didalamnya ada ikatan kekeluargaan. Seorang anak yang terbiasa mendapatkan rasa
aman dalam suasana rumah, maka akan merasa tak nyaman kalau berjauhan dengan
orangtuanya. Padahal sebuah perjalanan hidup yang penuh dengan dinamika ini
semuanya harus dilewati. Termasuk disaat berkeluarga nanti maka seorang anak
harus siap untuk berpisah dengan orangtua. Dan berpisah jauh dari orangtua
karena tinggal di pesantren sifatnya Cuma sementara. Karena orangtua bisa
menjenguk tiap bulan misalnya, atau dari setahun biasanya ada waktu libur yang
sama dengan libur sekolah lain yaitu setahun dua kali. Dan ini kesempatan
santri untuk bisa melepas rindu dengan keluarga.
Selain kekhawatiran jauhnya dengan
orangtua karena rasa nyaman, terkadang anak juga suka merasa kebingungan kalau
harus mengatur uangnya sendiri. Karena mungkin yang dilakukan di rumah,
biasanya anak mendapat jatah uang saku hanya cukup harian atau sesuai dengan
kebutuhan. Sementara kalau tinggal di pondok santri dituntut untuk pandai
memanage keuangan sendiri. Dan kalau kebablasan atau boros dalam hal belanja
maka anak khawatir tidak bisa mencukupi sampai mendapatkan kiriman uang
selanjutnya. Dengan pola seperti ini sebetulnya ini sebuah nilai plus yang
diajarkan kepada santri agar betul-betul mengelola keauangan pribadinya. Dan
ajaran untuk menahan diri dari sifat boros dan membiasakan diri untuk selalu qonaah.
Untuk mengantisipasi ketakutan
seperti ini, sebaiknya anak dibiasakan sedini mungkin untuk membiasakan mandiri
dari rumah. Walaupun di pondok nanti anak akan hidup lebih mandiri, tetapi
tatanan kemandirian harus segera diajarkan dari rumah juga. Berikan pengetahuan
pada anak mungkin bisa menceritakan kisah orang-orang sukses yang merupakan
lulusan dari pesantren. Atau bisa pula dengan contoh survive kecil-kecilan di
rumah. Biasakan untuk merapikan tempat tidur sendiri ataupun mengerjakan
keperluan pribadinya sendiri, mencuci baju sendiri contohnya. Sehingga dengan
latiha-latihan seperti ini calon santri tidak merasa shok dengan perubahan yang
dilalui di dalam pondok.
6. Khawatir Dengan Teman Yang Tidak Baik
Dalam
kehidupan sosial sudah tentu kita sangat membutuhkan orang lain. Karena sebagai
mahluk yang pada dasarnya lemah dan tentunya sangat memerlukan pertemanan. Tidak
ada orang di dunia ini yang hidup dalam hari-harinya hanya sendirian, pastinya
membutuhkan seorang teman atau sahabat. Karena lewat teman inilah sesungguhnya
kita dapat membentuk karakter dan mengembangkan diri ke arah yang lebih
positif.
Akan tetapi
selain membawa pengaruh yang positif, teman juga membawa seseorang ke arah
sebaliknya kalau teman tersebut adalah orang yang tidak baik dalam ukuran
masyarakat apalagi tidak baik di mata Allah. Makanya jauh-jauh hari Rasullulah
telah berpesan untuk berhati-hati dalam memilih teman, karena sejatinya teman
adalah cerminan diri kita sendiri. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Abu khurairoh bahwasanya Rasululloh saw bersabda, "seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaklah kalian memeperhatikan siapakah teman dekatnya."
Seorang calon santri yang akan memasuki dunia barunya di pondok pesantren, tentunya akan membayangkan bagaimana kehidupannya nanti
di pondok. Adakalanya mereka khawatir bila nanti mendapatkan teman yang tidak
senyaman sekaranng ini. Mereka juga khawatir dengan sistem perpeloncoan yang
dimainkan senioritas. Padahal sesungguhnya pondok bukanlah organisasi
premanisme, dan pengalaman saya waktu pondok tidak ada yang namanya
gagah-gagahan yang dilakukan kakak kelas. Yang ada malah sebaliknya, mereka
kakak kelas selalu mengarahkan kita untuk mengenal peraturan yang ada. Sehingga
pada gilirannya mereka sesungguhnya adalah sahabat pertama kita di pondok.
Ketakutan mendapatkan
teman yang kurang baik sebetulnya ini langkah awal untuk mewujudkan perintah
rasulullah yang ada dalam hadist diatas agar kita senantiasa hati-hati dalam
memilih teman. Carilah teman yang akan membantu kita lebih baik, carilah teman
di pondok itu yang bisa membantu murojaah hafalan atau yang selalau
mengingatkan dalam hal kebaikan sehingga membawa kita memiliki karekater yang
sesuai aturan isalm.
7. Takut Tidak Terbiayai
Masa masuk
pesantren akan berbeda dengan masa kanak-kanak, kalau di usia ini biasanya anak
tidak faham apakah orangtuanya memeiliki banyak uang atau tidak. Makanya ketika
dia menginginkan jajan atau menginginkan sesuatu anak akan merengek bahkan
memaksa orangtuanya untuk memenuhi hasyrat yang ada dalam dirinya. Sedangkan
untuk ukuran usia masuk pesantren, biasanya mereka mulai menilai dan menyadari
hal ikhwal yang terjadi pada orangtua dan keluarganya. Makanya wajar bila soal
keuanganpun, mereka sudah memiliki ukuran tentang kapasitas orangtuanya dalam
hal membiayai di pondok kelak.
Keadaan
seperti inilah, terkadang mendorong anak merasakan ketakutan kalau orangtuanya
tidak sanggup membiayai yang pada gilirannya putus di tengah jalan. Sebenarnya
tidak semua urusan orangtua dapat diketahui anak-anaknya, termasuk urusan biaya
pendidikan. Niat mulia orangtua untuk memasukkan anaknya ke pondok
pesantrenpun, tentunya sudah menjadi pertimbangan orangtua. Apalagi
pemahamannya terhadap agama yang sudah lebih faham dibanding anak misalnya
orangtua sangat percaya bahwa dengan mendedikasikan diri untuk pendidikan anak
maka yang namanya biaya pasti Allah akan mencukupinya. Sehingga tak sedikitpun
rasa khawatir dalam dirinya selama Allah memberi umur dan mau berusaha tentunya
Allah akan memudahkan langkah-langkahnya. Banyak
orangtua zaman sekarang yang sudah mempersiapkan keuangannya terhadapa anak
tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Ada yang dengan cara investasi atau dengan
cara menabung demi suksesnya pendidikan anak-anaknya. Bahkan di beberapa anak
ternyata ada juga anak sendiri yang mempersiapkan keuangan untuk masa depannya
dengan cara menabungkan uang saku yang diberikan orangtuanya. Pokoknya ingatlah
sebuah petuah yang sangat familiar yaitu “dimana ada kemauan, disitulah ada jalan”
8. Pelajaran Agama Itu Sulit (padahal sebenarnya mudah)
Sangat
dimaklumi sebenarnya dengan alasan seperti ini, karena perjalanan islam sehingga
sampai ke kitapun sebenarnya penuh liku dan perjuangan. Apalagi untuk mencari
kebenaran yang kita pelajari sehingga diperlukan pembelajaran yang
sungguh-sungguh agar terhindar dari kesalahan maksud ataupun makna. Kalau di
zaman Rasul, sahabat dengan mudahnya bertanya tentang permasalahan yang ditemui
sehingga dapat bertanya langsung ke beliau. Sedangkan pada generasi
selanjutnya, kita bisa belajar dari apa yang Rasul tinggalkan yaitu Alquran dan
Alhadits.
Kesulitan
lain dalam mempelajari ilmu keislaman ini bisa juga karena dalam bayangan anak
terbayang kitab-kitab berbahasa Arab sehingga dalam benaknya yang terbayang
adalah kesulitan dalam mempelajari bahasa dan tulisan dalam bahasa Arab. Atau
bisa juga merasa terbebani dengan hapalan-hapalan yang harus dikuasainya. Dan
berbagai alasan yang mencengkrami pikiran anak.
Sebenarnya
ketakutan itu tidak perlu ada, karena belajar ilmu agama sama halnya dengan
belajar imu yang lainnya yaitu dibutuhkan keuletan dan kesungguhan. Dan semua
asal dijalani dengan tahapan yang benar maka semuanya terasa mudah. Para ustadz
atau ustadzah sudah merancang sedemikian rupa dalam penyampaian keilmuan agama
terhadap santri-santrinya. Semua ada tahapan dan jenjang yang harus dilewati
oleh setiap santri. Yang jelas materi buat santri yang sudah lama mukim tak
bakalan diberikan terhadap santri yang baru datang. Ingat pepatah Arab, “man
jadda wajada” barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.
9. Pesantren Itu Tidak Sehat Dan Kotor
Ironis
memang pesantren yang mengajarkan ilmu agama tapi pada kenyataannya lingkungan
di sekitar pondok kotor sehingga identik dengan santri kudisan. Padahal sudah
jelas bahwa kebersihan merupakan bagian
dari iman. Sbenarnya yang salah bukan pesaantrennya, tapi biasanya karena
kelalaian santri itu sendiri, terutama dalam hal merawat diri dan lingkungan.
Oleh karena di atas sempat disinggung bahwa sebelum anak dimasukkan ke
pesantren, pendidikan kemandirian sebetulnya harus dimulai justru disaat masih
berada di rumah. Penekanan merawat diri dari hal-hal kecil harus sedari dini
diperkenalkan. Misalnya jangan membiasakan menumpuk pakaian yang harus dicuci,
mandi teratur setiap hari, tidak saling meminjamkan barang pribadi dengan teman
seperti sabun mandi atau pakaian sekalipun. Dan masih banyak lagi yang pada
intinya harus membisakan diri dalam hal merawat kesehatan pribadi dan
lingkungan.
Alhamdulillah
untuk sekarang ini kesadaran seperti ini sudah banyak kita temui dibanding
pondok pesantren pada era 90’an kesana. Kesan kudisan waktu itu banyak
ditemukan, bahkan ada imej yang
berkembang di masyarakat bahwa kudisan merupakan syarat untuk tercapainya llmu
agama. Tentunya alasan ini tidak
beralasan, dan bisa jadi ini merupakan pembelaan dari santri yang mengalami hal
ini.
Saat ini
kita banyak menemui pondok pesantren yang dilengkapi dengan petugas kebersihan
sehingga setidaknya para santri terbantu dalam merawat kebersihan
lingkungannya. Yang pada gilirannya santri bisa lebih fokus dan terarah dalam
hal menggali ilmu agama. Selain itu banyak pondok pesantren yang intensif
mengingatkan para santri untuk lebih menjaga diri terhadap kesehatannya, dan
dibuatlah jadwal berkala dalam hal bersih-bersih sehingga pondok pesantren
lebih bersih, asri dan nyaman sehingga tidak tampak kesan pondok pesantren yang
kotor atau jorok yang ada adalah pesantren yang nyaman, asri dan betah.
10. Pesantren Itu Tempat Penderitaan
Sungguh aneh
sebenarnya kalau calon santri merasa enggan untuk masuk pondok Cuma gara-gara
takut kalau kehidupan di pesantren adalah tempatnya sebuah penderitan. Tentunya
alasan ini sangat berkaitan dengan alasan lain yang diulas diatas. Berjauhan
dengan orangtua yang membuat dirinya merasa kehilangan perhatian, atau merasa
dirinya dibuang begitu saja oleh orangtuanya, atau bisa jadi karena merasa
terbebani dengan peraturan yang ditetapkan pondok. Sehingga dalam diri santri
terpatri sebuah rasa kekhawatiran akan sebuah penderitaan. Padahal jusrtu
sebaliknya karena Allah akan memberikan kebahagiaan bagi orang yang mau
menuntut ilmu Agama, karena dia akan selamat di dunia dan akhirat.
Perhatikanlah cuplikan hadist berikut ini :
مَْن سَلَكَ طَرِْيقًا
َيلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا ِ
إلىَ اْلجَنَّةِ (رواه مسلم
إلىَ اْلجَنَّةِ (رواه مسلم
Kalaupun ada anggapan bahwa pesantren tempatnya penderitaan, sikapilah dengan wajar. Toh hasil dari perjuangan dan bersusah payah di pesantren maka hasil yang didapatkan sangat luar biasa. Ingatlah pantun nasihat yang sangat familiar di negeri ini, “bersakit-sakit dahulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”
11. Pesantren Adalah Sarang Teroris
Kengganan
seperti ini sebenarnya sudah dibahas pada bab terdahulu pada bahasan alasan
orangtua tidak mau memasukkan anaknya ke pesantren. Dan isu terorisme ini
merupakan bagian dari kekhawatiran para
orangtua. Sehingga membuat Dinas Kementrian Agama terjun meneliti langsung untuk
mengkaji ulang beberapa pesantren dalam rangka pembuktian keterlibatan
pesantren baik dari kurikulum ataupun uju materi lainnya , yang ternyata tidak
ditemukan adanya faham yang mengarah pada tindakan terorisme. Kalaupun itu ada
ternyata bukan pengaruh pendidikan di pesantrennya tetapi lebih kepada pengaruh
dari luar pesantren. Terlebih terkadang peran media yang tidak adil dalam
sebuah pemberitaan sehingga membuat pihak pesantren yang bersih dari
radikalisme kena imbasnya.
Akan tetapi
untuk menjaga-jaga akan isu terorisme ini, survei orangtua sebelum memasukkan
anaknya ke pesantren sangat dibutuhkan. Sehingga orangtua dan santri mendapat
informasi yang betul-betul valid.
12. Guru Di Pesantren itu Pada Galak
Galak atau
tidaknya seorang guru sebenarnya relatif, galak menurut santri yang satu tak
selamanya dikatakan galak oleh santri yang lainnya. Dan pengertian galak itu
sendiri bisa bermacam-macam dalam definisinya. Tapi pada umumnya santri yang
menilai gurunya galak biasanya dari penampilan dan seringnya ustadz memberi
hukuman pada santri bila santri bersalah atau kelambanan santri dalam menerima
pelajaran.
Namun tak
perlulah hal ini jadi kendala, buatlah hal ini sebagai sesuatu yang
menyenangkan. Biasakanlah menilai sesuatu dari kaca mata yang membuat enjoy.
Ingatlah semua yang ada di pondok
pesantren akan menjadi sesuatu yang indah bila dikenang dan akan membuahkan
karakter yang kuat dalam melaksanakan tugas sebagai hamba Allah dengan
menerapkan ajaran islam yang indah.
Sangat sering kita mendengar bahwa
menuntut ilmu adalah wajib bagi semua muslim tanpa kecuali. Hukum wajib disini berlaku untuk
ilmu agama dengan berbagai cabang ilmunya. Dari mulai fiqih ibadah ataupun
fiqih muamalah, ilmu aqidah dan ketauhidan serta disiplin ilmu agama islam
lainnya yang kesemuanya itu merupakan kesempurnaan sebagai seorang muslim. Tanpa ilmu agama dikhawatirkan seorang muslim
melakukan kesalahan dalam ibadahnya sehingga amal ibadah jadi tertolak. Ilmu
agama tentu sangat bermanfaat dalam
menimbang segala sesuatu sehingga hidupnya akan berkah dan senantiasa mendapat
limpahan rahmat dari Allah azza wajalla.
Dengan ilmu
agama kita bisa mengetahui mana yang halal dan mana yang haram. Dengan
bimbingan ilmu agama santri akan menjadi anak yang berbakti terhadap orangtua,
dan dengan ilmu agama seseorang bisa memutuskan sesuatu permasalahan
berdasarkan ilmu bukan berdasarkan hawa nafsu.
Pentingnya
belajar dan menuntut ilmu sangat jelas diterangkan dalam firman Allah SWT dalam
QS Al-Mujadalah
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا
مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرُُ
Bandung, 21 desember 2015
Luar biasa kang, sangat mencerahkan..
BalasHapusmakasih surya kalau memang mencerahkan, tapi masih kalah pede sama kamu yang sudah mulai nerbitin buku
Hapus