Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Mari sejenak kita berbincang tentang shalat tarawih, bukan tentang jumlah raka’atnya, tapi apa yang sebaiknya kita lakukan saat kita menjadi makmum. Ingatlah sejenak sabda Nabi shallaLlahu alaihi wa sallam:
مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة
"Barangsiapa qiyamul lail bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh)." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasa'i dan lain-lain).
Berapa raka’at yang terhitung melakukan qiyamul lail semalam suntuk? Batasannya ialah melakukan tarawih hingga selesai bersama imam, termasuk melakukan shalat witir bersamanya. Maka jika imam shalat tarawih 11 (8 plus 3) raka’at, kita bermakmum sampai imam selesai witir. Begitu pula jika imam shalat tarawih 13 atau 23 raka’at. Bagi kita yang menjadi makmum, pilihan terbaik adalah shalat bersama imam sampai dengan selesai; bukan soal 11, 13, 21, 23 atau 39 raka’at.
Jika ingin memilih, maka itu sebelum melaksanakan shalat tarawih berjama’ah. Adapun sesudah jama'ah ditegakkan, ikuti sampai selesai.
Pilihan terbaik adalah shalat mengikuti imam sampai selesai dengan sempurna. Adapun imam sepatutnya shalat dengan tuma'ninah dan khusyuk. Ini sangat penting untuk diperhatikan karena tuma'ninah merupakan rukun shalat, sehingga tidak sah shalat jika tidak tuma'ninah meskipun ayat yang dibaca saat shalat sangat panjang. Berapa pun jumlah raka'atnya, imam harus melakukan shalat dengan tuma'ninah dan memungkinkan makmum untuk mengikutinya secara tuma'ninah pula. Tentu saja imam perlu membaca ayat demi ayat secara tartil dan jelas, tak peduli ia memimpin tarawih 11, 13, 21, 23, 39, 41 ataukah 49 raka'at.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.
“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulallah, bagaimana mencuri dari shalat?” Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku' dan sujudnya.” (HR Ahmad).
Di masa Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, beliau pernah mengumpulkan para qari' dan menggariskan kebijakan jumlah ayat. Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu meminta qari yang bacanya cepat agar membaca 30 (sekitar 3 halaman mushhaf), yang sedang 25 & yang lambat 20 ayat (2 halaman mushhaf) tiap raka’at. Jangan bayangkan yang cepat bacanya seperti dikejar musuh sehingga tarawih selesai dalam 20 menit. Tetap tartil dan tidak tergesa-gesa. Mereka melakukan ruku' dan sujud dengan sempurna, tuma'ninah. Tidak serupa orang salto. Ini yang kadang terabaikan saat mengejar jumlah.
Jadi, mana yang paling baik? Yang sempurna gerakannya, tuma'ninah, khusyuk dan bacaannya baik tidak tergesa-gesa; 11, 23 atau 39 raka’at.
Imam Syafi’i mendapati shalat tarawih pada masa beliau jumlah raka’atnya 23 di Makkah dan 39 di Madinah. Bagaimana komentar beliau?
"Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus," kata Imam Syafi’i, "Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tapi yang pertama lebih aku sukai."
Perkataan Imam Syafi’i rahimahullah sebagaimana termaktub dalam Fathul Bari ini menunjukkan, yang lebih sempurna itu lebih utama. Jumlah raka'at lebih sedikit, tetapi bacaan lebih panjang dan sujud pun lebih sempurna, maka yang demikian ini lebih baik daripada shalat dengan bilangan raka'at lebih banyak. Pada saat yang sama kita memperoleh pelajaran bahwa sosok semacam Imam Syafi'i memilih untuk tetap mengikuti imam sampai dengan selesai ketika mendapati jumlah raka'atnya 39, meskipun beliau lebih menyukai yang lebih sedikit disebabkan lebih memanjangkan bacaan.
Yang paling baik bukanlah yang paling banyak bilangan raka’atnya, tetapi yang paling sempurna shalatnya. Semoga Allah Ta'ala ridhai. Ingatlah sabda Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ
"Betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang shalat malam, hanya menjadi begadang di malam hari.” (HR. Ahmad).
Alangkah sia-sia shalat yang semacam itu. Mereka berpenat-penat, tapi tidak memperoleh kebaikan apa pun. Mereka melaksanakan shalat tarawih, berjama'ah pula, tapi tak memenuhi ketentuan untuk tuma'ninah sehingga sia-sialah shalatnya. Tak ada yang mereka dapatkan selain capeknya begadang.
Marilah kita ingat ketika Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam mengoreksi seseorang yang melakukan kesalahan dalam shalatnya. Beliau bersabda:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Jika engkau hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat Al-Qur'an yang mudah bagimu. Kemudian ruku'lah sampai benar-benar ruku' dengan tuma'ninah, lalu bangkitlah (dari ruku') hingga kamu berdiri tegak. Setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tuma'ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tuma'ninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Lihatlah, betapa pentingnya melakukan gerakan secara sempurna dan tiap-tiap bagian kita lakukan secara tuma'ninah. Inilah yang sangat penting. Jika kita memilih mengikuti jumlah raka'at shalat tarawihnya Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam, maka itu sangat baik sejauh kita melakukannya secara tuma'ninah. Tapi jika sekiranya menghendaki shalat tarawih dengan bilangan raka’at yang banyak dan tetap tuma'ninah, dapat memilih 41 atau 49 raka’at. Shalat tarawih 41 raka’at ini berdasarkan persaksian Shalih Mawla At-Tau'amah tentang shalat tarawihnya penduduk Madinah di masa itu. Shalat tarawih dilakukan 38 raka’at plus 3 raka’at witir. Bisa juga 40 raka’at tarawih plus 9 raka’at witir. Yang terpenting: sempurna.
Jadi jika menganggap lebih banyak lebih baik, pilihlah 49 raka’at dengan khusyu', tuma'ninah dan bacaannya tartil tidak tergesa-gesa. Sepanjang saya ketahui, 49 inilah jumlah raka'at terbanyak yang terdapat riwayat dilakukan oleh orang-orang shalih terdahulu. Ini jika konsisten dengan perkataan "lebih banyak lebih baik". Saya sendiri tidak siap melaksanakan shalat tarawih 49 raka'at secara tuma'ninah dan sempurna Karena itu, saya memilih yang lebih ringan, tetapi riwayatnya lebih kuat.
Kembali pada persoalan semula, yakni shalat tarawih berjama’ah. Jika ingin mendapat pahala qiyamul lail semalam suntuk, ikutilah imam sampai selesai shalat witir. Jika imam 11 raka’at dan Anda biasanya 23 raka’at, cukupkan 11 raka’at saja. Jangan menganggap tidak ada tarawih yang kurang dari 20. Justru dengan mengikuti imam sampai selesai, kita mendapatkan pahala qiyamul lail semalam suntuk. Bukankah Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam yang menjadi contoh?
Jika Anda biasanya shalat tarawih 11 (8+3), lalu mendapati imam shalat 23 raka’at, ikuti pula sampai selesai secara sempurna. Jangan sekali-kali mengira bahwa terlarang shalat tarawih di atas 11 raka’at. Bukankah banyak riwayat yang dapat kita pedomani?
Semoga bincang sederhana ini bermanfaat dan barakah. Saatnya kita membersihkan niat. Bukan mengotori dengan menguatkan 'ashabiyah alias fanatisme golongan. Bukankah akan lebih utama jika kita mendapatkan pahala terbaik dan di saat yang sama mengokohkan persaudaraan sesama muslim?
Lalu berapa raka’at shalat tarawihnya Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam? Berdasarkan riwayat yang shahih, kita dapati bahwa beliau melaksanakan shalat 11 raka’at. Beliau juga menunaikan shalat 13 raka’at. Dan bahkan kita mendapati riwayat bahwa beliau pun pernah shalat dengan mengawalkan shalat witir sejumlah 9 raka’at ditutup dengan shalat 2 raka’at.
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan kepada kemenakannya tentang shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam:
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ، سِوَاكَهُ، وَطَهُورَهُ، فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ، وَيَتَوَضَّأُ، وَيُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ، لَا يَجْلِسُ فِيهَا إِلَّا فِي الثَّامِنَةِ، فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ، وَلَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ، وَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يَا بُنَيَّ، فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَ اللَّحْمَ، أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ، فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ
“Kami mempersiapkan siwak dan air wudhu beliau. Bila Allah membangunkan beliau pada waktu yang dikehendaki di malam hari, beliau bersiwak dan berwudlu, kemudian shalat sembilan raka’at tidak duduk tasyahud kecuali pada raka’at kedelapan. Beliau berdzikir, memuji Allah, dan berdo’a (membaca tasyahud), kemudian beliau bangkit dan tidak salam meneruskan raka’at kesembilan. Kemudian beliau duduk, berdzikir, memuji Allah, dan berdoa, kemudian salam dengan satu salam yang terdengar oleh kami. Setelah itu beliau shalat dua raka’at sambil duduk. Jadi jumlahnya 11 raka’at, Wahai Anakku. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah tua dan gemuk, beliau berwitir tujuh raka’at, kemudian dua raka’at setelahnya dilakukan seperti biasa, maka jumlahnya sembilan, Wahai Anakku.” (HR. Muslim).
Nah. Semoga catatan ringkas ini bermanfaat. Semoga kita dapat mempelajari dan mendiskusikannya dengan baik. Diskusi itu lebih mudah ketika mengedepankan ilmu dan kebenaran. Bukan ego pribadi maupun kelompok. Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan ini pernah saya posting tahun lalu. Saya posting ulang saat ini dengan sedikit penyempurnaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar