Seorang gadis kecil sambil
mengguling-gulingkan tubuhnya di lantai, meraung-raung ingin dibelikan mainan
yang disukainya. Lalu karena iba, maka ibunya menuruti keinginan si
buah hati. Ada juga seorang ABG yang
merengek mau dibelikan smartphone
tercanggih, lalu sang ayah ngebela-belain membelikan gadget idamannya tersebut. Apakah
itu yang dinamakan "pengertian"?
Semua orang akan berbeda
pandangan dalam mengartikan kata “pengertian” ini. Tentu latar belakang,
pendidikan, lingkungan atau gaya hidup yang dianut selama ini ikut andil
mempengaruhi pola pikir seorang ayah. Itulah diawal tulisan ini beberapa pekan
lalu, saya menekankan kalau ayah tak boleh berhenti upgrade kapasitas pengetahuan dengan terus menuntut ilmu.
|
Para Ayah sedang berkumpul dalam rangka Upgrade keilmuan |
Kita pernah menjadi anak-anak, lalu remaja dan kemudian menikah. Semua membutuhkan proses, dan sepanjang
rentang waktu yang cukup panjang itu lah, pastinya banyak kisah dan liku-liku
kehidupan. Berbekal pengalaman tersebut, setidaknya kita dapat merasakan akan
apa yang menjadi perasaan, keinginan, harapan, cita-cita, dan kebutuhan
anak-anak. Mereka butuh dimengerti, bukan untuk diacuhkan sekemauannya.
Sewaktu muda, apakah semua
keinginan yang kita utarakan ke ayah bunda harus dituruti? Bolehlah kalau zaman
sudah berubah, sehingga banyak yang kita terima dari orang tua lalu
diestapetkan ke putera-puteri kita pada ujungnya tak mau terima. Akan tetapi
nilai-nilai luhur yang diajarkan orang tua dulu tentang kesederhanaan,
perjuangan, pengorbanan, kesabaran dan seterusnya, harus kita tanamkan kembali
ke buah hati kita. Mungkin caranya yang harus diubah menyesuaikan dengan
kekinian.
Ketika di hadapan kita melihat
sang anak melakukan kesalahan, tak perlu langsung menghardik untuk
menghukuminya. Tak serta merta ayah
menginterogasi bagai polisi penyidik ke seorang tersangka. Belajarlah mengkralifikasi
atau tabayyun akan sebuah kesalahan
yang terjadi tersebut. Ingatlah mereka juga manusia yang tak luput dari sebuah
kesalahan. Bisa jadi kesalahan yang dilakukan adalah akibat dari kesalahan kita
sewaktu muda, atau justru kita yang salah mendidik mereka. Seseorang tak
langsung menjadi ayah, tapi banyak proses yang dilalui yang salah satunya bahwa
kita pernah muda.
Ø
Ayah Pernah Mengalami Masa Muda
“Masa muda adalah masa yang paling indah”, demikian ungkapan yang
sering kita dengar. Ada kesan dari pribahasa itu, bahwa waktu muda adalah
saatnya mereguk kesenangan, kebebasan, dan serba enak lainnya. Fakta seperti
ini tak dapat dipungkiri, karena masa lalu yang kemudian dikenang pastinya akan
hadir menjelma menjadi sesuatu yang sangat indah. Saya merasakan sendiri,
ketika hadir di acara reuni ke-30 tahun SMP. Seolah kembali ke masa-masa
bercelana biru dongker, pertemuan hari itu dipenuhi tawa dan gembira. Padahal
betulkah demikian? Apakah kala kami sewaktu belia itu tak memiliki rasa sedih,
membutuhkan sesuatu yang tak kesampaian atau konflik dengan teman-teman? Pada
kenyataannya suka dan duka, tangis dan bahagia, untung dan rugi selalu hadir
sebanding dengan perjalanan waktu.
Orang tua yang pada prosesnya
pernah mengalami muda, tentunya akan paham akan keadaan yang dibutuhkan
anaknya. Bukan kebutuhan dalam materi belaka, tapi mereka juga butuh banyak
pengetahuan, kasih sayang yang tulus, perlakuan sebagai orang dewasa,
eksistensi dalam keluarga, spiritualitas beragama dan masih banyak hal yang
membuat ayah harus pengertian. Seorang ayah yang baik,dia akan flash back ke belakang kalau masa lalunya
sebagai bahan renungan untuk menjadikan anak-anaknya lebih baik dari dirinya.
Di kala masih kuat, tenaga dan
pikiran, mungkin ayah banyak berleha-leha dalam menghadapinya, sehingga yang
terjadi hari ini merasa menyesal.
“Coba
kalau dulu saya rajin latihan menghapal alquran,mungkin hari ini isi alquran
sudah di luar kepala”.
“Nyesel saya kenapa dahulu tak mengikuti orang tua untuk masuk ke
sekolah ini”.
“Seandainya dari dulu saya rajin menulis, pasti hari ini tinggal
menikmati royalti dari hasil tulisan tersebut”.
Itulah contoh penyesalan yang banyak kita
temui di sekitar kita, atau mungkin anda sendiri yang mengalaminya. Dari
pengalaman seperti itu, tentu ayah tak mau hal tersebut berulang ke ananda
tercinta. Maka disinilah ayah tampil menjadi pembimbing atau penuntun jalan
bagi anak agar tak mengalami yang dilewatinya. Jadikanlah masa muda menjadi
pelajaran berharga agar anak-anak lebih berkwalitas.
Dari banyak kisah teladan para
pemuda yang telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah, cerita Muhammad Al-fatih yang membuat saya
terkagum-kagum. Bagaimana tidak, seorang belia yang baru menginjak umur 21
tahun menjadi panglima perang dan menaklukkan kota Konstantinopel. Apakah ini
sebuah kebetulan? TIDAK. Dibalik semua ini ada sosok yang menjadi teladan,
guru, pembimbing, pembentuk karakter sehingga Muhammad Al-Fatih menjadi pribadi
tangguh pemberani. Dialah Sultan Murad ayahnya sendiri.
Sultan Murad memiliki impian
sejak mudanya agar bisa menaklukkan kota Konstantinopel pusat kekufuran kala
itu. Sultan Murad sangat yakin dengan apa yang disampaikan Rasulullah Muhammad
saw 800 tahun sebelumnya, kalau ibu kota
Romawi Timur itu akan jatuh ke tangan orang islam. Maka beliau betul-betul
mempersiapkan puteranya dengan sebaik-baik gemblengan. Sedari kecil beliau
selalu membawa anaknya ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Selepas shalat
sambil menikmati udara pagi, Mehmed (Muhammad Al-Fatih) kecil diajaknya
mengitari kampung, bercengkrama sambil menyampaikan keilmuan. Tangannya selalu
erat memegang jemari mungil sang anak. Bukan bermaksud memanjakan, namun Sultan
ingin menyatakan pada anaknya bahwa ayah selalu ada didekatnya. Ayah yang akan
selalu menjaga, dan ayahlah tempat menyampaikan curahan hati anak-anaknya.
Harapan Sultan Murad muda yang
belum kesampaian menjadi penakluk Kota Konstantinopel ,akhirnya ditularkan
kepada puteranya melalui motivasi positif yang disampaikannya berulang kali.
Diajaklah Mehmed ke menara tertinggi, lalu tangannya menunjuk langit yang
dibawahnya ibu kota Romawi timur itu. “Nak, pandanglah ke arah sana. Di situ
berdiri sebuah kota yang menjadi pusat kemungkaran. Janji baginda Nabi, kota
itu akan jatuh ke tangan kaum muslimin. Si penakluk kota tersebut adalah
seorang shaleh dan pemberani. Ayah berharap engkaulah yang dijanjikan dalam
sabda Nabi yang agung itu”. Kalimat tersebut selalu diucapkan Sultan sehingga
tertanam dalam diri Muhammad Al-Fatih, pribadi yang sholeh, percaya diri, selalu
haus ilmu pengetahuan untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Ya, kalimat positif
yang bermuatan penggugah ini lah yang dibutuhkan anak-anak kita. Bukan kalimat
cacian ketika anak melakukan kesalahan, yang justru membuat anak merasa tak
bisa, takut salah dan minder.
Masa muda adalah masa produktif,
energik, kekuatan phisik yang prima dan semangat yang selalu menyala. Ibarat
bunga mereka sedang mekar-mekarnya, sehingga akan membuat kupu-kupu untuk
menghinggapi. Paras yang rupawan yang hanya dimiliki kaum muda, hanya sekali
saja karena setelah itu mereka akan tua. Godaanpun lumayan banyaknya, bahkan
syaithan sangat menyenangi untuk meniupkan angin maksiat kepada mereka. Hanya
kekuatan iman yang kuat, mereka bisa melewati
semua godaan yang mampir ke dirinya. Iman yang kuat itu bagaikan pondasi
yang harus dimiliki semua orang, agar derajat taqwa yang diharapkan Robb-Nya
tergapai hingga berkumpul dengan saudara-saudara seiman di Jannah-Nya kelak. Semua
itu tergantung siapa yang mendidiknya, dalam hal ini orang tuanya. Seperti yang
dilansir di bagian awal tulisan ini bahwa manusia terlahir dalam keadaan
fitrah, orang tuanyalah yang membuat dia Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Godaan yang didapatkan seorang
ayah sewaktu muda, bisa menjadi tolok ukur dalam menggembleng anak-anak selaku
kaderisasi sebuah keluarga, bangsa yang terhormat dan umat mulia dan pemimpin
di masa depan. Apa yang dialami sewaktu muda ayah tularkan tentu setelah
dimodifikasi dengan keadaan kekinian. Segala yang menjadi cita-cita sewaktu
muda dan belum terlaksana, bisa disalurkan ke anak-anaknya. Bantu mereka mengenal
dirinya sendiri, siapa dia, apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.
Sehingga mengetahui tujuan hidupnya. Ingat ! Hanya membatu bukan mebdikte harus
begini dan begitu.
Ø
Tidak Otoriter
“Anak gadis itu mengeja hurup demi hurup hijaiyah, dibarengi jantung
yang berdebar dan hati yang penuh rasa risau. Sekali-kali matanya melirik ke
sebuah pisau belati yang menyelip di ikat pinggang sang guru ngajinya yang tak
lain adalah ayahnya sendiri. Tak jarang raga mungilnya dipenuhi keringat
dingin, tatkala bentakkan yang keluar di mulut lelaki di depannya bila si gadis
melakukan kesalahan”. Itulah
sekelumit kisah yan dialami Irsyad Mandji seorang jurnalis Kanada, seorang Islam
liberal, pendukung LGBT dan memilih menikah dengan sejenis. Masa kecil yang
dialami begitu tragis, hidup dalam nuansa yang kurang bagus karena kebengisan
seorang ayah. Dia lahir di Uganda yang kemudian pindah ke Kanada karena
peraturan Presiden Uganda Idi Amien kala itu yang melarang non kulit hitam
tinggal di negaranya. Irsyad Mandji dan keluarganya yang merupakan keturunan
India dan Mesir akhirnya memilih menetap di Kanada, Amerika Serikat. Di tempat
barunya yang notabene sekolah sekuler, dan latar belakang keluarga yang tak
nyaman membuat dirinya menjadi yang kita kenal sekarang ini. Tulisannya sangat membahayakan karena paham
kebebasan yang melekat di dalam dirinya.
Dari cerita di atas, saya tak
menyoalkan pemikiran yang Irsyad Mandji miliki. Tapi tengoklah sikap ayah
terhadap dirinya. Sikap otoriter, garang, tak bersahabat seorang ayah ternyata
membuat anak mencari kebebasan yang selama ini mengungkung dirinya. Ayah yang
menjadi sosok lelaki pertama yang dia kenal dalam hidupnya, ternyata tak mampu
membuat nyaman dalam kehidupannya. Dia mencari kebebasan dan menganggap sosok
lelaki tak akan memberi rasa sayang sehingga akhirnya memilih hidup sebagai
lesbian. Audzubillahi min dzalik
Ø
Menjadi
Pendengar Yang Baik
Banyak kejadian kalau anak-anak
lebih memilih mengeluarkan curahan hatinya ke orang yang bukan orang tuanya.
Mereka lebih nyaman kalau curhat ke gurunya, teman bermainnya, rekan kerjanya
atau siapa saja yang dirasa nyaman untuk mengeluarkan segala problematika yang
dialaminya. Ayah baginya bagai sesosok asing, atau orang yang angker untuk
dijauhi. Kejadian seperti ini merupakan sebuah malapetaka bagi kehidupannya di
masa mendatang. Beruntung kalau mereka mau berbagi rasa walaupun bukan ke orang
tuanya. Faktanya banyak pula anak-anak tak mampu mengekspresikan kepada
siapapun tentang keluhan yang sedang dihadapinya.
Saya teringat seorang teman SMA.
Ibunya seorangPNS (guru SD) sedangkan bapaknya seorang pengusaha ikan air tawar
dan memiliki kemampuan mendesain rumah. Kalau dilihat dari perekonomian lumayan
berkecukupan untuk ukuran di kampung tahun 90-an. Apa lagi ditunjang dengan
ibunya seorang pendidik, sehingga dipastikan teman ini mempunyai kultur yang
baik di rumahnya. Namun kenyataannya ketika menginjak naik kelas tiga, dia
sudah jarang masuk sekolah, dan akhirnya keluar. Saya bertanya permasalahan apa
yang terjadi sehingga putus sekolah. Apakah karena lingkungan sekolah yang tak
enak, ada guru yang tak disenangi atau ada konflik dengan teman. Diapun
bertutur, "Saya paham sekolah itu
penting dan dibutuhkan bagi setiap orang. Tapi apalah artinya kalau saya
sendiri tak melihat ayah merasa bangga terhadap anaknya. Wajah perang ayah yang
selalu tergambar dalam hari-harinya. Tak pernah menanyakan prestasi sekolah
atau mau mendengarkan keluhan anak”.
Rasa dendam terhadap ayahnya sampai
memuncak hingga berencana ingin meracuninya. Tentu hal ini membuat saya kaget
tak kepalang. Sebagai teman tentu tak mau hal ini terjadi, saya yang waktu itu
masih umur belasan terus mengingatkan bahwa semua itu tak boleh dilakukan.
Alhamdulillah kejadian horor ini tak terlaksana, bahkan ketika saya berkunjung ke
rumahnya dua tahun yang lalu, dia nampaknya begitu care terhadap putera-puterinya. Mungkin masa kelam yang
dialaminya, dijadikannya pelajaran bagaimana harusnya bersikap menjadi ayah.
Perlakuan yang diterimanya tak boleh terjadi untuk kehidupan anak-anaknya.
Menjadi pendengar yang baik,
mendengarkan kemauan dan keluh kesah anak harus ayah lakukan bagi setiap
jenjang ananda. Ayah jangan segan menina bobokan anak ketika bayi, atau
menangkap tangisan yang selalu terjadi ketika masih belia. Menyambut anak
dengan senyum sumringah ketika dia pulang sekolah, menanyakan aktivitas yang
dilakukan di sekolahnya. Begitupun ketika dia remaja, ayah tampil bak sahabat
yang selalu siap menampung segala curahan hatinya. Jangan menjadi ayah yang sok
sibuk, sehingga tak banyak waktu demi buah hatinya. Pekerjaan yang selalu
menyita waktu, gadget yang seakan menjadi teman setia setiap geraknya,
sementara anak yang membutuhkan perhatian terlupakan.
Dalam sebuah kajian halaqoh pekanan yang saya ikuti, pernah
suatu ketika kala ustadz kami menyampaikan materi, tiba-tiba anak bungsunya
menghampiri dan menunjukkan selembar kertas yang isinya sebuah gambar yang
dibuatnya. Ustadz langsung berhenti menyampaikan kajiannya padahal kami sedang
serius karena beliau sedang mengisahkan Sirroh
Nabawiyah dan didalamnya sedang menceritakan kisah seorang sahabat nabi.
Apa yang dilakukan ustadz? Dia spontan memasang wajah penuh kekaguman. “wah... wah...wah... luar biasa gambarnya,
abi senang Khalid bisa gambar sebagus ini.” Dibolak-baliknya
gambar itu seraya senyuman hangat tiada henti. Bukan sampai disitu saja, diapun
menunjukkan ke kami seolah sedang membangun kepercayaan diri seorang anak. “Nih Om... gambar Khalid bagus kan?” Kejadian seperti ini mungkin hanya beberapa
saat, dan tak akan merebut waktu para ayah. Tapi bagi mereka hal ini begitu
berharga. Keberadaannya merasa
dispesialkan, sehingga tumbuh benih percaya diri yang baik.