Penayangan bulan lalu

Rabu, 09 November 2016

REVOLUSI MENTAL ALA UMAR BIN ABDULAZIZ


Pemuda itu menanggalkan kudanya, lalu mengingatkannya di sebuah pohon. Peluh yang membasahi tubuhnya, sesekali diusap oleh sorban yang melilit di lehernya. Sambil menepuk punggung kudanya, pemuda itu bergumam seolah ngajak bicara pada sang kuda, "Mudah-mudahan tak lama lagi kita sampai di kampung hulu sana" Sambil menunjuk ke atas, ke tempat yang jadi tujuan pemuda tersebut.

Selagi asyik beristirahat, sang pemuda melihat dari kejauhan, ada seekor kuda yang diatasnya seorang pemuda sebaya dengan dirinya. Terlihat di sisi kiri-kanannya, kantung kulit yang berisi penuh dengan hasil bumi.

"Assalamualaikum saudaraku"  Pemuda yang dari arah hilir menyapa pemuda yang datang dari arah hulu. "Waalaykumussalaam warohmatullah..." Jawab pemuda yang satu lagi, sambil merangkul penuh kehangatan, seolah sudah lama saling mengenal.

"Kalau boleh tahu, mau kemana anda ke kota bawah sana ?"
"Saya mau ke kota hilir, mau memberikan zakat" Timbal pemuda yang datang dari arah hulu tersebut.

"Anda mau ke bawah untuk berzakat ? Mengapa harus hilir ? Orang saya aja mau ke atas karena dibawah sana sudah tak saya temui para mustahik" Sanggah pemuda yang dari hilir.
"Jadi Anda ke kota hulu, untuk berzakat juga ?" Pemuda satunya lagi menganggukkan kepalanya.

Itulah sekelumit kisah yang terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana kala itu, sangat susah mencari orang yang menerima zakat.

Tentu kita berpikir kalau zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, masyarakatnya sudah pada berlimpah harta sehingga susah menemukan mustahik.
Saya mendapat jawaban tiga hari lalu ketika ikut Talkshow di acara kopdar Genpro, sebuah komunitas pengusaha Muslim.  Presiden Genpro, Iwan Kurniawan Lc menjelaskan bahwa yang pertama dibangun oleh Khalifah adalah mentalnya dulu dengan menggembleng ketaqwaannya. Masyarakatnya diharuskan untuk terus menuntut ilmu agar tumbuh menjadi mukmin sejati. Sang Khalifah terkenal dengan kearifannya, bijaksana, adil dan rendah hati. Hal ini pula yang terus dikobarkan kepada rakyatnya.
 Mind set yang dibangun tentang zakatpun, tertanam dalam diri umat sebagai sesuatu yang tak layak untuk dimakan. Karena Zakat merupakan sesuatu yang harus dikeluarkan, sehingga sifatnya kotor. Hal ini pula yang akhirnya banyak masyarakat yang enggan menerima zakat. Dan salah satunya tergambar pada kisah diatas tadi.

Umar bin Abdul Aziz merupakan khalifah yang memerintah paling singkat yakni dari 99 H sampai 101 H. Namun kiprahnya dalam menghidupkan tatanan islami dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Bahkan para akhli mengatakan bahwa masa itulah masa kejayaan islam sesungguhnya.

Ketaqwaan ini pula yang diwariskan Umar kepada anak-anaknya. Karena soal materi, Umar hanya meninggalkan 19 Dinar. Itupun 4 Dinar dipakai buat membeli kain kafan dan sebagian lagi habis dipakai untuk biaya pemulasaraan atas dirinya. Dan yang tersisa hanya 9 dinar yang harus diberikan kepada 11 anak sebagai ahli warisnya.

Kejadian ini berbanding terbalik dengan meninggalnya khalifah berikutnya, yakni Hisyam bin Abdul Malik. Sama-sama meninggalkan 11 anak, tapi masing-masing anaknya mendapatkan masing-masing satu juta dinar.  Waktupun terus berlalu, hingga pada suatu hari seorang ulama bernama Muqotil bin Sulaiman mendapati salah seorang putera Umar bin Abdul Aziz menyedekahkan 1000 ekor kuda perang pilihan. Sementara di hari yang sama, Muqotil mendapatinya salah seorang putera khalifah Hisyam bin Abdul Malik menjadi pengemis di salah satu pasar.

Hal ini membuktikan bahwa warisan berupa harta atau kekayaan tak memiliki arti bila dibandingkan dengan warisan berupa mental dan ketaqwaan tangguh yang diwariskan seseorang.

Diakhir penyampaiannya Iwan Kurniawan mengajak para pengusaha muslim, agar seanantiasa menjaga ketaqwaannya, karena bisnis kita hari ini, merupakan ladang amal untuk kehidupan kelak di akhirat.