Penayangan bulan lalu

Selasa, 06 Desember 2016

SELAMAT JALAN BAPAK MERTUA

Bersama bapak Kewo sang mertua



BAPAK MERTUA, sejak lima hari lalu sudah meninggalkan kami untuk selamanya. Ingin sekali memeberikan kabar duka ini sesegera mungkin. Tapi sayang sekali,  sesaat bapak menghembuskan nafas terakhirnya, handphone saya pun ikut-ikutan tak bernyawa. “MATOT alias Mati Total”...... otomatis saya ga bisa wa,telegram, bbm atau main medsos lainnya. Kebetulan Lepi juga ga dibawa, karena pikir saya, aktivitas menulis bisa menggunakan note yang ada di Handphone. Tapi ya sudah, sambil menghibur diri, barangkali ini cara Allah agar saya lebih konsentrasi dengan suasana kebersamaan dalam keluarga sehingga tak terinterupsi oleh yang namanya gadget.

Hari selasa (29 november 2016), di group whatsapp hilir mudik berbagi topik pembicaraan. Dan yang paling santer kala itu, rencana aksi damai 212. Sementara saya disibukkan dengan pesan-pesan  dan telpon dari sang istri kalau ternyata kondisi bapak makin memburuk, bahkan semakin memprihatinkan.  Mendengar berita seprti itu, berarti  harus mempercepat pulang kampung nih. Sambil nunggu si sulung yang masih di sekolah, saya merasa super sibuk sendiri.  Perabotan bekas makan yang sudah dua hari menumpuk dan cucian yang sudah direndam dari pagi, belum sempat terjamah. Alhamdulillah, menjelang maghrib kami siap pulkam dengan keadaan yang lumayan rapih untuk kondisi rumah yang akan ditinggalkan beberapa hari.

Dini hari, sampai juga ke kampung Cidahu Kuningan. Dua kakak ipar sudah menunggu di depan rumah. Sementara di dalam rumah, keluarga yang lain pada nungguin bapak yang Kondisinya yang sangat melemah, bahkan kabarnya sudah dua hari ini tak  masuk apa-apa ke mulutnya. Beribu kecamuk dalam dada bercampur dengan rasa sedih di hati, karena detik-detik perpisahan sepertinya tak bisa dibendung lagi. Ingin rasanya menumpahkan segala sesal dalam jiwa, karena belum berbakti dan membalas segala kebaikannya. Semua tertahan, dan hanya terucap di mulut, “maafkan saya pak....” Bapak tak menyahut, tapi saya berharap beliau masih bisa mendengar walau tak berbalas dengan sahutan.

Waktu dhuha kira-kira jam 10’an tangis ibu mertua dibarengi isteri dan bi Ooh adiknya bapak memecah suasana kamar waktu itu. Lapadz Allah yang kami lantunkan, seolah memaksa agar telinga dan hati bapak mengikutinya. Hanya satu yang kami pinta “khusnul khotimah”. Emih (ibu mertua) yang sedari tadi tak melepaskan mulutnya di telinga Bapak, seolah tak menerima akan perpisahan ini.Perlahan tapi pasti bapakpun menghembuskan nafasnya yang terakhir kali. Inna lillaahi wainna ilaihi rojiun.

Selamat jalan Bapak, kami akan mengenang jasamu, kami akan selalu memanjatkan doa untukmu. Agar engkau di terima iman, amal dan islamnya. Diampuni segala dosanya, dan Surga tempat kembalinya.

Tidak menunggu lama, berbondong-bondong tetangga datang. Kabar tersiar cepat ke seantero desa. Saya sendiri merasa terpana, begitu kentalnya rasa saling asih di desa ini. sebuah pemandangan langka kalau dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Sampai saya bilang ke si sulung,”ini pertanda kalau abahmu orang baik”. “emangnya kenapa gitu, apa alasannya?” timpal Azkiya ankku. “Buktinya banyak sekali yang melayat, bahkan di hari setelahnyapun, masih ada saja yang datang walau sekedar ngucapin belasungkawa”.

Karena gotong royong yang masih pekat pula, prosesi pemakaman sangat cepat, tidak sampai asyar semua kewajiban terhadap mayat sudah selesai ditunaikan. Alhamdulillah.