Penayangan bulan lalu

Minggu, 13 Mei 2018

AYAH ZAMAN NOW HARUS PENGERTIAN



Seorang gadis kecil sambil mengguling-gulingkan tubuhnya di lantai, meraung-raung ingin dibelikan mainan yang disukainya. Lalu karena iba, maka ibunya menuruti keinginan si buah hati. Ada juga seorang  ABG yang merengek mau dibelikan smartphone tercanggih, lalu sang ayah ngebela-belain membelikan gadget idamannya tersebut. Apakah itu yang dinamakan "pengertian"?

Semua orang akan berbeda pandangan dalam mengartikan kata “pengertian” ini. Tentu latar belakang, pendidikan, lingkungan atau gaya hidup yang dianut selama ini ikut andil mempengaruhi pola pikir seorang ayah. Itulah diawal tulisan ini beberapa pekan lalu, saya menekankan kalau ayah tak boleh berhenti upgrade kapasitas pengetahuan dengan terus menuntut ilmu.

Para Ayah sedang berkumpul dalam rangka Upgrade keilmuan

Kita pernah menjadi anak-anak, lalu remaja dan kemudian menikah. Semua membutuhkan proses, dan sepanjang rentang waktu yang cukup panjang itu lah, pastinya banyak kisah dan liku-liku kehidupan. Berbekal pengalaman tersebut, setidaknya kita dapat merasakan akan apa yang menjadi perasaan, keinginan, harapan, cita-cita, dan kebutuhan anak-anak. Mereka butuh dimengerti, bukan untuk diacuhkan sekemauannya.

Sewaktu muda, apakah semua keinginan yang kita utarakan ke ayah bunda harus dituruti? Bolehlah kalau zaman sudah berubah, sehingga banyak yang kita terima dari orang tua lalu diestapetkan ke putera-puteri kita pada ujungnya tak mau terima. Akan tetapi nilai-nilai luhur yang diajarkan orang tua dulu tentang kesederhanaan, perjuangan, pengorbanan, kesabaran dan seterusnya, harus kita tanamkan kembali ke buah hati kita. Mungkin caranya yang harus diubah menyesuaikan dengan kekinian.

Ketika di hadapan kita melihat sang anak melakukan kesalahan, tak perlu langsung menghardik untuk menghukuminya.  Tak serta merta ayah menginterogasi bagai polisi penyidik ke seorang tersangka. Belajarlah mengkralifikasi atau tabayyun akan sebuah kesalahan yang terjadi tersebut. Ingatlah mereka juga manusia yang tak luput dari sebuah kesalahan. Bisa jadi kesalahan yang dilakukan adalah akibat dari kesalahan kita sewaktu muda, atau justru kita yang salah mendidik mereka. Seseorang tak langsung menjadi ayah, tapi banyak proses yang dilalui yang salah satunya bahwa kita pernah muda. 
  
Ø  Ayah Pernah Mengalami Masa Muda

“Masa muda adalah masa yang paling indah”, demikian ungkapan yang sering kita dengar. Ada kesan dari pribahasa itu, bahwa waktu muda adalah saatnya mereguk kesenangan, kebebasan, dan serba enak lainnya. Fakta seperti ini tak dapat dipungkiri, karena masa lalu yang kemudian dikenang pastinya akan hadir menjelma menjadi sesuatu yang sangat indah. Saya merasakan sendiri, ketika hadir di acara reuni ke-30 tahun SMP. Seolah kembali ke masa-masa bercelana biru dongker, pertemuan hari itu dipenuhi tawa dan gembira. Padahal betulkah demikian? Apakah kala kami sewaktu belia itu tak memiliki rasa sedih, membutuhkan sesuatu yang tak kesampaian atau konflik dengan teman-teman? Pada kenyataannya suka dan duka, tangis dan bahagia, untung dan rugi selalu hadir sebanding dengan perjalanan waktu.

Orang tua yang pada prosesnya pernah mengalami muda, tentunya akan paham akan keadaan yang dibutuhkan anaknya. Bukan kebutuhan dalam materi belaka, tapi mereka juga butuh banyak pengetahuan, kasih sayang yang tulus, perlakuan sebagai orang dewasa, eksistensi dalam keluarga, spiritualitas beragama dan masih banyak hal yang membuat ayah harus pengertian. Seorang ayah yang baik,dia akan flash back ke belakang kalau masa lalunya sebagai bahan renungan untuk menjadikan anak-anaknya lebih baik dari dirinya.

Di kala masih kuat, tenaga dan pikiran, mungkin ayah banyak berleha-leha dalam menghadapinya, sehingga yang terjadi hari ini merasa menyesal.
 “Coba kalau dulu saya rajin latihan menghapal alquran,mungkin hari ini isi alquran sudah di luar kepala”.
“Nyesel saya kenapa dahulu tak mengikuti orang tua untuk masuk ke sekolah ini”.
“Seandainya dari dulu saya rajin menulis, pasti hari ini tinggal menikmati royalti dari hasil tulisan tersebut”.
 Itulah contoh penyesalan yang banyak kita temui di sekitar kita, atau mungkin anda sendiri yang mengalaminya. Dari pengalaman seperti itu, tentu ayah tak mau hal tersebut berulang ke ananda tercinta. Maka disinilah ayah tampil menjadi pembimbing atau penuntun jalan bagi anak agar tak mengalami yang dilewatinya. Jadikanlah masa muda menjadi pelajaran berharga agar anak-anak lebih berkwalitas.

Dari banyak kisah teladan para pemuda yang telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah,  cerita Muhammad Al-fatih yang membuat saya terkagum-kagum. Bagaimana tidak, seorang belia yang baru menginjak umur 21 tahun menjadi panglima perang dan menaklukkan kota Konstantinopel. Apakah ini sebuah kebetulan? TIDAK. Dibalik semua ini ada sosok yang menjadi teladan, guru, pembimbing, pembentuk karakter sehingga Muhammad Al-Fatih menjadi pribadi tangguh pemberani. Dialah Sultan Murad ayahnya sendiri.

Sultan Murad memiliki impian sejak mudanya agar bisa menaklukkan kota Konstantinopel pusat kekufuran kala itu. Sultan Murad sangat yakin dengan apa yang disampaikan Rasulullah Muhammad saw  800 tahun sebelumnya, kalau ibu kota Romawi Timur itu akan jatuh ke tangan orang islam. Maka beliau betul-betul mempersiapkan puteranya dengan sebaik-baik gemblengan. Sedari kecil beliau selalu membawa anaknya ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Selepas shalat sambil menikmati udara pagi, Mehmed (Muhammad Al-Fatih) kecil diajaknya mengitari kampung, bercengkrama sambil menyampaikan keilmuan. Tangannya selalu erat memegang jemari mungil sang anak. Bukan bermaksud memanjakan, namun Sultan ingin menyatakan pada anaknya bahwa ayah selalu ada didekatnya. Ayah yang akan selalu menjaga, dan ayahlah tempat menyampaikan curahan hati anak-anaknya.

Harapan Sultan Murad muda yang belum kesampaian menjadi penakluk Kota Konstantinopel ,akhirnya ditularkan kepada puteranya melalui motivasi positif yang disampaikannya berulang kali. Diajaklah Mehmed ke menara tertinggi, lalu tangannya menunjuk langit yang dibawahnya ibu kota Romawi timur itu. “Nak, pandanglah ke arah sana. Di situ berdiri sebuah kota yang menjadi pusat kemungkaran. Janji baginda Nabi, kota itu akan jatuh ke tangan kaum muslimin. Si penakluk kota tersebut adalah seorang shaleh dan pemberani. Ayah berharap engkaulah yang dijanjikan dalam sabda Nabi yang agung itu”. Kalimat tersebut selalu diucapkan Sultan sehingga tertanam dalam diri Muhammad Al-Fatih, pribadi yang sholeh, percaya diri, selalu haus ilmu pengetahuan untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Ya, kalimat positif yang bermuatan penggugah ini lah yang dibutuhkan anak-anak kita. Bukan kalimat cacian ketika anak melakukan kesalahan, yang justru membuat anak merasa tak bisa, takut salah dan minder.

Masa muda adalah masa produktif, energik, kekuatan phisik yang prima dan semangat yang selalu menyala. Ibarat bunga mereka sedang mekar-mekarnya, sehingga akan membuat kupu-kupu untuk menghinggapi. Paras yang rupawan yang hanya dimiliki kaum muda, hanya sekali saja karena setelah itu mereka akan tua. Godaanpun lumayan banyaknya, bahkan syaithan sangat menyenangi untuk meniupkan angin maksiat kepada mereka. Hanya kekuatan iman yang kuat, mereka bisa melewati  semua godaan yang mampir ke dirinya. Iman yang kuat itu bagaikan pondasi yang harus dimiliki semua orang, agar derajat taqwa yang diharapkan Robb-Nya tergapai hingga berkumpul dengan saudara-saudara seiman di Jannah-Nya kelak. Semua itu tergantung siapa yang mendidiknya, dalam hal ini orang tuanya. Seperti yang dilansir di bagian awal tulisan ini bahwa manusia terlahir dalam keadaan fitrah, orang tuanyalah yang membuat dia Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Godaan yang didapatkan seorang ayah sewaktu muda, bisa menjadi tolok ukur dalam menggembleng anak-anak selaku kaderisasi sebuah keluarga, bangsa yang terhormat dan umat mulia dan pemimpin di masa depan. Apa yang dialami sewaktu muda ayah tularkan tentu setelah dimodifikasi dengan keadaan kekinian. Segala yang menjadi cita-cita sewaktu muda dan belum terlaksana, bisa disalurkan ke anak-anaknya. Bantu mereka mengenal dirinya sendiri, siapa dia, apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Sehingga mengetahui tujuan hidupnya. Ingat ! Hanya membatu bukan mebdikte harus begini dan begitu.

Ø  Tidak Otoriter

“Anak gadis itu mengeja hurup demi hurup hijaiyah, dibarengi jantung yang berdebar dan hati yang penuh rasa risau. Sekali-kali matanya melirik ke sebuah pisau belati yang menyelip di ikat pinggang sang guru ngajinya yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Tak jarang raga mungilnya dipenuhi keringat dingin, tatkala bentakkan yang keluar di mulut lelaki di depannya bila si gadis melakukan kesalahan”.  Itulah sekelumit kisah yan dialami Irsyad Mandji  seorang jurnalis Kanada, seorang Islam liberal, pendukung LGBT dan memilih menikah dengan sejenis. Masa kecil yang dialami begitu tragis, hidup dalam nuansa yang kurang bagus karena kebengisan seorang ayah. Dia lahir di Uganda yang kemudian pindah ke Kanada karena peraturan Presiden Uganda Idi Amien kala itu yang melarang non kulit hitam tinggal di negaranya. Irsyad Mandji dan keluarganya yang merupakan keturunan India dan Mesir akhirnya memilih menetap di Kanada, Amerika Serikat. Di tempat barunya yang notabene sekolah sekuler, dan latar belakang keluarga yang tak nyaman membuat dirinya menjadi yang kita kenal sekarang ini.  Tulisannya sangat membahayakan karena paham kebebasan yang melekat di dalam dirinya.

Dari cerita di atas, saya tak menyoalkan pemikiran yang Irsyad Mandji miliki. Tapi tengoklah sikap ayah terhadap dirinya. Sikap otoriter, garang, tak bersahabat seorang ayah ternyata membuat anak mencari kebebasan yang selama ini mengungkung dirinya. Ayah yang menjadi sosok lelaki pertama yang dia kenal dalam hidupnya, ternyata tak mampu membuat nyaman dalam kehidupannya. Dia mencari kebebasan dan menganggap sosok lelaki tak akan memberi rasa sayang sehingga akhirnya memilih hidup sebagai lesbian. Audzubillahi min dzalik

Ø  Menjadi Pendengar Yang Baik

Banyak kejadian kalau anak-anak lebih memilih mengeluarkan curahan hatinya ke orang yang bukan orang tuanya. Mereka lebih nyaman kalau curhat ke gurunya, teman bermainnya, rekan kerjanya atau siapa saja yang dirasa nyaman untuk mengeluarkan segala problematika yang dialaminya. Ayah baginya bagai sesosok asing, atau orang yang angker untuk dijauhi. Kejadian seperti ini merupakan sebuah malapetaka bagi kehidupannya di masa mendatang. Beruntung kalau mereka mau berbagi rasa walaupun bukan ke orang tuanya. Faktanya banyak pula anak-anak tak mampu mengekspresikan kepada siapapun tentang keluhan yang sedang dihadapinya.

Saya teringat seorang teman SMA. Ibunya seorangPNS (guru SD) sedangkan bapaknya seorang pengusaha ikan air tawar dan memiliki kemampuan mendesain rumah. Kalau dilihat dari perekonomian lumayan berkecukupan untuk ukuran di kampung tahun 90-an. Apa lagi ditunjang dengan ibunya seorang pendidik, sehingga dipastikan teman ini mempunyai kultur yang baik di rumahnya. Namun kenyataannya ketika menginjak naik kelas tiga, dia sudah jarang masuk sekolah, dan akhirnya keluar. Saya bertanya permasalahan apa yang terjadi sehingga putus sekolah. Apakah karena lingkungan sekolah yang tak enak, ada guru yang tak disenangi atau ada konflik dengan teman. Diapun bertutur, "Saya paham sekolah itu penting dan dibutuhkan bagi setiap orang. Tapi apalah artinya kalau saya sendiri tak melihat ayah merasa bangga terhadap anaknya. Wajah perang ayah yang selalu tergambar dalam hari-harinya. Tak pernah menanyakan prestasi sekolah atau mau mendengarkan keluhan anak”.

Rasa dendam terhadap ayahnya sampai memuncak hingga berencana ingin meracuninya. Tentu hal ini membuat saya kaget tak kepalang. Sebagai teman tentu tak mau hal ini terjadi, saya yang waktu itu masih umur belasan terus mengingatkan bahwa semua itu tak boleh dilakukan. Alhamdulillah kejadian horor ini tak terlaksana, bahkan ketika saya berkunjung ke rumahnya dua tahun yang lalu, dia nampaknya  begitu care terhadap putera-puterinya. Mungkin masa kelam yang dialaminya, dijadikannya pelajaran bagaimana harusnya bersikap menjadi ayah. Perlakuan yang diterimanya tak boleh terjadi untuk kehidupan anak-anaknya.

Menjadi pendengar yang baik, mendengarkan kemauan dan keluh kesah anak harus ayah lakukan bagi setiap jenjang ananda. Ayah jangan segan menina bobokan anak ketika bayi, atau menangkap tangisan yang selalu terjadi ketika masih belia. Menyambut anak dengan senyum sumringah ketika dia pulang sekolah, menanyakan aktivitas yang dilakukan di sekolahnya. Begitupun ketika dia remaja, ayah tampil bak sahabat yang selalu siap menampung segala curahan hatinya. Jangan menjadi ayah yang sok sibuk, sehingga tak banyak waktu demi buah hatinya. Pekerjaan yang selalu menyita waktu, gadget yang seakan menjadi teman setia setiap geraknya, sementara anak yang membutuhkan perhatian terlupakan.


               Dalam sebuah kajian halaqoh pekanan yang saya ikuti, pernah suatu ketika kala ustadz kami menyampaikan materi, tiba-tiba anak bungsunya menghampiri dan menunjukkan selembar kertas yang isinya sebuah gambar yang dibuatnya. Ustadz langsung berhenti menyampaikan kajiannya padahal kami sedang serius karena beliau sedang mengisahkan Sirroh Nabawiyah dan didalamnya sedang menceritakan kisah seorang sahabat nabi. Apa yang dilakukan ustadz? Dia spontan memasang wajah penuh kekaguman. “wah... wah...wah... luar biasa gambarnya, abi senang Khalid bisa gambar sebagus ini. Dibolak-baliknya gambar itu seraya senyuman hangat tiada henti. Bukan sampai disitu saja, diapun menunjukkan ke kami seolah sedang membangun kepercayaan diri seorang anak. “Nih Om... gambar Khalid bagus kan?”  Kejadian seperti ini mungkin hanya beberapa saat, dan tak akan merebut waktu para ayah. Tapi bagi mereka hal ini begitu berharga. Keberadaannya merasa  dispesialkan, sehingga tumbuh benih percaya diri yang baik.