VISIT TO KARANG PARA SUKABUMI
Penayangan bulan lalu
Selasa, 07 November 2017
Kamis, 17 Agustus 2017
Mencari Ruh Kemerdekaan
.
Waktupun terus berlalu, tak terasa sudah masuk lagi bulan Agustus. Bulan yang sangat istimewa bagi bangsa Indonesia. Didalamnya ada hari yang sangat dinantikan, yakni hari kemerdekaan Negeri tercinta. Bulan ini laksana memberikan pesan, bahwa Indonesia sudah merdeka. Sebuah label sebuah negara, agar terlihat eksistensinya di mata dunia.
Dua pekan ini saya berada di sebuah desa Cidahu bilangan Kuningan Jawa barat. Masyarakat disini seperti sejenak melupakan biaya listrik yang terus melambung. Dan demi menyambut bulan bersejarah ini, mereka rela memasang lampu plip-plop sehingga suasana kampung lebih terasa hangat dan meriah. Begitupun tatkala saya melewati jalan ke perkampungan, tiba-tiba sekelompok pemuda yang tergabung di karangtuna, mereka menyegat perjalanan sekedar mengetuk hati yang lewat, agar andil menyumbang. Bahkan ada juga dengan gaya menjual air mineral, yang keuntungannya digunakan untuk memeriahkan pesta tahunan ini. Semua dilakukan demi suksesnya agustusan.
Acara agustusan bagaikan sebuah jeda dalam sebuah perjalanan masyarakat Indonesia. Mereka meluapkan moment hingga ke setiap lini kehidupan. Lihat saja, mall atau supermarket bahkan toko online yang kini semarak, sepertinya tak mau ketinggalan dengan menerapkan discount “MERDEKA”. Acara televisipun tak ketinggalan, nuansa acara berubah menjadi berbau kemerdekaan.
Secara de facto Indonesia sudah merdeka 72 tahun yang lalu, tepatnya 17 agustus 1945. Walaupun secara de jure, Mesir dan Palestina yang kemudian mengakui bahwa Indonesia telah merdeka sejak 18 November 1946. Dan pengakuan dari negara lain inilah yang sebenarnya akan menguatkan eksistensi sebuah negara telah merdeka. Walaupun kita tahu, perjalanan mendapatkan sebuah pengakuan ini begitu sulit. Bahkan Belanda yang pernah menjajah Indonesiapun, masih tetap melakukan agresi militernya. Barulah pada tanggal 27 desember 1949,Belanda mengakui kalau Indonesi merupakan negara berdaulat. Ironisnya Belanda tetap tak mengakui kalau Indonesia merdeka tanggal 17 agustus 1945, tetapi pada tanggal 27 desember 1949 itulah merupakan hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Barulah 60 tahun kemudian, yakni 17 agustus 2005 Belanda melalui perdana menterinya Bernard Rudolf Bot meminta maaf kepada masyarakat Indonesia dan mengakuinya hari kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pertanyaan yang sering timbul, benarkah Indonesia telah merdeka? Hal ini tentunya kalau dikaitkan dengan fakta yang ada, bahwa Indonesia masih terjajah oleh bangsa lain. Sektor ekonomi dirasa tak pernah mandiri. Kendaraan yang lalu lalang di jalanan, pesawat yang hilir mudik menghiasi angkasa kita, perlengkapan dan kebutuhan sehari-hari yang kita gunakanpun nyaris buatan luar negeri. Tambang emas Free Port yang hanya bisa dinikmati sebagian oleh pribumi. Dan masih banyak lagi fakta didepan mata yang membuat hati menganga.
Kita bukan Afrika yang umumnya bertanah kering dan tandus, kita juga bukan bagian dari timur tengah yang selalu diterpa konflik tiada henti. Negara kita kaya raya, lihatlah perairannya yang begitu terbentang luas dari barat hingga ke timur. Tanahnya begitu subur, sehingga menanam apa saja bisa tumbuh disini. Tapi kemandirian yang merupakan ruh kemerdekaan tak pernah rakyat rasakan. Sampai kapan negara yang memiliki cap Agraris ini harus berhenti mendatangkan beras dan daging. Sampai kapan negeri ini mengirim tenaga kerjanya ke luar negeri, hanya berprofesi sebagai pembantu. Apakah fenomena ini pertanda Indonesia miskin? TIDAK. Karena konglomeratpun banyak juga bermunculan disini. Indonesiapun tidak bodoh. Orang cerdik pandaipun, banyak yang lahir di negara ini. Tengoklah olimpiade iptek bergengsi, putera-puteri Indonesia sering menjadi langganan dalam meraihnya.
Lalu apa yang salah dengan negara kita? Sehingga pengamat menilai dengan dua kemungkinan yang melanda negeri berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Kemungkinan yang pertama, Indonesis yang salah urus, sedangkan kemungkinan kedua bisa jadi keberkahan telah dicabut di negeri ini. wallohu’alam.
Lalu siapa yang bisa menjawab semua ini? kalau kemungkinan pertama itu benar, berarti para pengurus negara ini harus cepat bertindak. Para pengolah negara harus merombak dan mengevaluasi segala apa yang telah dilakukan. Karena di tangan merekalah semua rakyat menggantungkan harapan. Rakyat tak perlu dikomandoi untuk menyatakan Cinta NKRI. Yang mereka butuhkan cintanya pengurus negara kepada mereka. Rakyat tak perlu disuruh pasang bendera merah putih, begitu masuk bulan agustuspun serta merta mereka memasang bendera, umbul-umbul, lampu plip-plop, orang-orangan dan berbagai cara menyambut kemerdekaan.
Akan tetapi, jika kemungkinan kedua yakni keberkahan atas negeri telah diangkat, yang menjawab semua ini adalah seluruh rakyat Indonesia. Kata “Berkah” itu sendiri sangat familiar di tengah-tengah kita. Kata berkah berasal dari bahasa Arab yakni al-barokah yang memiliki makna nikmat. Sedangkan menurut istilah kata berkah memiliki arti ziyadatul khoir (bertambah kebaikan). Sementara kalau kita lihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata berkah bermakna, “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.
Keberkahan tak datang begitu saja, Ternyata Allah hanya akan memberi keberkahan itu kepada orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seperti yang termaktub dalam Alqur’an yang artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS 7:96).
Oleh karenanya sudah sepantasnyalah sebagai warga negara yang beriman, kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah subhnahu wata’ala. Berdoa dan berusaha setiap kesempatan agar Indonesia diberikan lagi keberkahan seutuhnya. Memperbaiki setiap pribadi ke arah yang lebih baik. Menebar kebaikan ke sesama agar Allah tambahkan selalu rasa sayang kepada negeri tercinta ini. Mendoakan selalu pengelola negara, agar diberikan keberkahan dalam menjalankan kekuasaannya. Para pendiri bangsa juga menyadari kalau kemerdekaan yang kita raih, bukan semata karena perjuangan rakyat dalam menuntut sebuah predikat Indonesia merdeka. Lihatlah pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, disana terselip sebuah kalimat,”...atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa...”.
Mudah-mudahan keberkahan yang menurut para pengamat telah dicabut di negeri ini, kembali hadir. Dan Indonesia yang telah merdeka sejak 72 tahun yang lalu senantiasa jaya, mandiri dan dihargai di mata dunia. (Tiesna)
#DirgahayuIndonesia
Senin, 17 Juli 2017
PAKIR SINYAL
Sedang berada di daerah fakir sinyal Kebon Randu, Surade Sukabumi |
Sinyal Full berasa sebagai sebuah "Anugerah", tatkala kita merasakan tinggal di tempat yang susah sinyal.
Ini saya alami dalam tiga hari terakhir ini. Berada di sebuah desa yang boleh dibilang "Fakir Sinyal". Berbagai upaya dilakukan, berjalan sekitar kampung hanya untuk mencari sinyal data. Kalau sekedar nelpon dan Sms mah, mendingan tak mengalami kesulitan. Tapi urusan kekinian, justru orang butuh "Jaringan Internet" untuk kelangsungan hidupnya 😄.
Internet, Data, Wifi, dan istilah baru seputar online, sudah menjadi makhluk tak asing lagi. Ibaratnya sudah menjadi kebutuhan primer, bahkan menjadi kebutuhan mendesak yang tak tergantikan. Pun yang namanya "Power-bank", sepertinya telah melengkapi gaya hidup masa kini. Begitu Penting dan Berharga.
Maunya sih update, tiap moment langsung share, atau live via Instagram atau Fb. Hehehe... tapi ya gitu, sinyal menjadi barang langka disini. Walhasil kegiatan cuma bercerita dan berkumpul di album photo dengan memory card yang nyaris full.
Sebuah pelajaran buat HIDUP, kalau ternyata hidup ini perlu charger. Hidup akan berasa Power-nya, kalau elemen penting yang ada dalam tubuh ini terus berisi dan full batre. Sehingga dia akan terus membara dan termotivasi untuk terus berkarya. 🔥💪🏻
.
Dalam hidup juga demikian, SINYAL harus tetap ada agar _Ghiroh_ tetap membara. Apalah jadinya seorang kepala rumah tangga, kalau dalam hidupnya tak memiliki hasrat lagi, padahal akan ditanya kelak pertangungjawaban. Begitu pula seorang istri, apakah bisa dia mengurus rumah tangga kalau sinyalnya meredup ditelan waktu. Ternyata sinyal harus ada, padahal tak dapat diraba. Dia tak nampak tapi terjamah oleh beningnya hati.
#SemangatPagi
#SelfReminder
Kamis, 29 Juni 2017
Nelangsa Memandang Kota Tercinta
Photo koleksi kang Rangga |
.
Kota cantik nan mungil yang berada dibawah kaki gunung Gede ini, tak mungkin bisa kulupakan begitu saja. Sebagian besar usia, dihabiskan di kota ini. Disini saya lahir dan dibesarkan, hanya setelah menikahlah akhirnya saya meninggalkan kota tercinta ini. Tapi walaupun kemana pergi, Sukabumi akan tetap dirindukan dan tetap menjadi pilihan, apalagi di masa-masa mudik seperti ini. Barangkali bagaikan sebuah pribahasa, “Setinggi-tinggi burung bangau terbang, maka akan pulang ke kubangan juga”. Sejauh saya merantau, toh Sukabumi akan menjadi tempat mudik utama.
.
Di kota yang penuh kenangan ini, masih banyak anggota keluarga disini. Terutama umi dan bapak yang masih ada, walaupun usianya sudah terbilang senja. Apalagi bapak yang lahir ketika zaman “GELEDUG JEPANG” yang dia sendiri tak tahu dengan tanggal dan bulan kelahirannya. Saya sendiri tahu dari almarhum emak (sebutan kami pada nenek), kata emak, bapak lahir di kampung Mangkalaya kecamatan Cisaat pada saat geledug Jepang. Oh berarti tahun 1942, itu saya tebak saja setelah dicocokkan dengan pelajaran sejarah, Yang berarti sekitar 75 tahun di tahun ini usia bapak.
.
Selain masih banyak anggota keluarga disini, puteri saya yang sulungpun menimba ilmu di pondok pesantren Yaspida Islamic Boarding School Sukabumi. Hal inilah yang membuat saya menjadi sering bolak-balik Bandung-Sukabumi.
.
Pada tanggal 22 Juni 2017, saya menjemput Azkiya dari pondokan, karena tanggal tersebut merupakan hari pembagian raport, dan penjemputan menjelang libur lebaran yang sekaligus, libur akhir tahun ajaran.
.
Sebelum pulang inilah saya sempet chating di group wa Alumni sekolah, perihal hasrat saya untuk membelikan kerudung buat si sulung ini. Kalau bajunya sudah dibelikan ibunya beberapa hari lalu, tinggal kerudungnya yang belum sempat dibelikan. Hehehe
.
“man-teman, adakah di group ini yang jualan kerudung?” Saya mengawali pembicaraan di group itu. Sejenak ga ada yang respon, terus saya melanjutkan lagi, “saya mau beli kerudung buat puteri saya, kalau keliling di Sukabumi, jadi males lihat kota Sukabumi yang ACAKADUT”.
.
Sontak salah seorang teman alumni yang perempuan angkat bicara,”loh... koq mengecam kota sendiri? Jangan mentang-mentang sudah ga di Sukabumi main cap aja Sukabumi Acakadut”. Sayapun bergeming, sesaat ada perasaan bersalah ketika mengucapkan istilah yang disematkan untuk kota tercinta ini. Belum lagi saya memberikan pembelaan, salah seorang teman laki-laki menimpali, “Ah Tis,kau ini gimana sih? Apakah Bandung serapih Sukabumi, belum tentu kan?” gubrak.... sayapun merasa bertambah salah saja dengan ungkapan yang terlanjur itu.
.
“Oke, begini teman-teman, saya sebenarnya tak ada niat mengecam kota yang saya banggakan selama ini. Justru, hal ini saya ungkapkan karna rasa sayang kepada kota ini. Dulu sewaktu zaman sekolah, Sukabumi tuh asri, betah dan ngangenin. Pasar Pelita yang merupakan pusat belanja tempo dulu, kini telah lenyap. Pedagang kaki lima yang membuat semrawut dan membuat mata sangat “SAREUKSEUK” tidak ada lagi kenyamanan”
.
Saya tak mengerti perhatian pemkot setempat seperti apa. Walaupun saya bukan pemilih, tapi sewaktu pilkada tempo hari, saya merasa bersyukur karena sang jagoan dapat memenangkan kontestasi ini. Bahkan ikut mempengaruhi anggota keluarga untuk noblos pasangan yang sekarang menjadi F1 dan F2. Besar harapan agar Sukabumi lebih maju dalam segala hal, bukan kesemrawutan yang didambakan. Walaupun saya merasa yakin, kalau para inohong dan para dewan yang terhormat, pastinya lebih paham akan akar permasalahannya. Cuma izinkan saya menuangkan apa yang saya lihat,bukan apa yang sedang Anda kerjakan. Semenjak turun di terminal, saya merasa bingung harus naik angkot apa untuk menuju rumah orangtua di bilangan kampung Cigadog kelurahan Dayeuhluhur kecamatan Warudoyong. Padahal jarak terminal ke rumah ortu sangatlah dekat, Tapi akses ke tempat itu, harus dua kali naik angkot. Naik Balandongan Kota lalu nyambung kota – Koleberes. Memang ada ojek online, tapi keamanan driver merasa terancam katanya. Karena keberadaannya ternyata terhalang oleh keberadaan ojek pangkalan, yang merasa direbut rezekinya. Begitu yang saya rekam dari obrolan dengan beberapa driver ojek online.
.
Sore itu, kamis 22 Juni 2017. Karena saya sudah berjanji untuk membelikan jilbab buat puteri saya, akhirnya kamipun melakukan pencarian dimulai dari arah utara tepatnya Yogya departemen store, ke arah menuju pulang ke jalan pelabuhan dua. Agenda seperti ini harusnya menyenangkan, karena namanya juga belanja pastinya senang dong terutama bagi puteri saya. Namun Allah berkehendak lain, hujan mengguyur kota ini, sehingga gerak langkah kami tersendat karena hujan. Bingung cari tempat aman untuk menelusuri deretan toko sepanjang jalan Zaenal Jakse , karena tak ada tempat untuk berjalan. Semua sudah dirampas oleh pedagang kaki lima. Untuk berteduh sejenak saja ternyata takada tempat. Apalagi nuansa munggahan yang membuat suasana kota tambah penuh dengan orang-orang yang mau berbelanja. Alhamdulillah, akhirnya tak jauh dari bekas Matahari mall saya menemukan toko yang ramai dan agak nyaman kalau hanya sebentar saja untuk berteduh menunggu hujan reda. Tidak berniat belanja di toko ini, karena setelah saya bertanya tak menyediakan jilbab. Cuma sedikit ada rasa sakit hati, karena para pelayannya sudah menghalanginya dengan beberapa boneka peraga, sebagai pertanda kalau tokonya tak rela kalau hanya digunakan untuk berteduh saja. Insyaallah saya harus memahaminya, hanya kalau ditelisik lebih dalam, tak pernah saya temukan di masa lalu. (lagi-lagi saya membandingkan dengan masa lalu jadul amat kau Tiesna). Habis, masa lalu yang dimaksud belum lama juga loh, setidaknya 10 atau 15 tahun lalu lah, ketika dijalan mayawati masih ada telephone umum koin untuk request lagu kesukaan ke radio NBS FM hihihi....
.
Masih seputar jalan ini, tak peduli dengan berdesakkan orang-orang yang berjibun, yang jelas kaki ini harus tetap melangkah, karena barang yang ditemukan belum didapat dan jarak ke waktu berbuka juga semakin dekat. Tapi lagi-lagi kita harus pandai melangkah, karena drainase yang tak tertata apik, atau karena ulah orang-orang yang tak bertanggung jawab sehingga membuat mampet saluran got di sepanjang jalan ini. Sehingga pejalan kaki harus ikhlas menginjakkan kakinya bercampur dengan cilencang. Jiji..... itu PASTI.
.
Selepas jalan ini,menuju jalan pelabuahn dua. Masih adakah jalan Stasiun ? Tidak ada brader. Semua telah berubah menjadi los-los kecil para pedagang. Lagi-lagi memori berlari ke masa lalu. Angkot 08 Cisaatan masih bisa lewat kesini, macet memang iya, tapi masih standar dan tak ada jalan yang sewaktu-waktu bisa berubah bak “SUSUKAN SAAT”. Wah luar biasa keadaan Sukabumi ini. Saya hanya berharap, agar kota tercinta ini selalu tambah ngangenin. Magnetnya yang dahsyat, akan selalu terpatri di hati.
.
Terimaksih buat kang Rangga Suria Danu Ningrat yang sudah mengizinkan photo ini untuk dimuat di status saya.
#CintaKotaSukabumi
#SukabumiYangSelaluDiHati
#SukabumiKotaTercinta
#SukabumiKotaIndah
Rabu, 17 Mei 2017
APA YANG KITA TANAM ITULAH YANG KITA TUAI
Tiga tahun lalu, jutaan pemirsa TV dibuat
terharu oleh penampilan juara hafiz 2014,
Musa La Ode Abu Hanafi. Kala itu usianya baru menginjak lima tahun, tapi
sudah hapal 29 juz dari 30 juz Alquran. Dan akhirnya dunia mencatat , kalau
Musa akhirnya mengharumkan nama Indonesia di ajang MTQ Internasional
di Mesir tahun 2016, dan keluar sebagai juara 3 tingkat anak-anak dan
peserta termuda.
Khalayak pasti penasaran, koq bisa-bisanya anak
yang masih belia ini bisa hapal Alquran
dalam usia yang sangat
muda. Dan jawabannya, terletak dari orang tuanya yang telah menanam sebuah bibit unggul dan
merawatnya dengan baik. Bukan saja mengarahkan, orangtuapun memberikan uswah (tauladan), sehingga tak heran
kalau ada pribahasa “Buah tak kan jatuh
jauh dari pohonnya”. Hal ini yang dilakukan orangtua Musa, sehingga
hasilnya sebanding dengan apa yang dia tanam,
yakni Musa La Ode hafiz kebanggaan
Indonesia.
Selain Musa, tentunya banyak nama-nama yang
mengharumkan dunia karena
kejeniusan, musik, akting, dan
hal yang mencengangkan lainnya. Dan
semua itu ternyata karena kegigihan
orang tuanya dalam memberikan pendidikan, mengisi ruang-ruang
kosong jiwa anak dengan hal positif dan
berguna, disertai rasa nyaman tanpa paksaan. Walaupun kenyataanya,banyak pula
anak yang kemudian unggul dalam perjalanan di
masa depannya,padahal orangtua tak mendidiknya dengan benar. Ini hanya
sebagai pengecualian,karena yang banyak kita temui anak gemilang adalah anak
yang berada dalam pendidikan yang benar.
Keseriusan orang tua yang merasakan
kalau anak adalah titipan terbesar yang diberikan Allah atas dirinya, maka
orang tua ini akan betul-betul menjaga dan membimbing anak-anaknya. Kebersamaan
dari semenjak bangun sampai bangun lagi, selalu diisi semangat mengajari,
memberi contoh dan mempraktekannya. Sepertinya tak boleh ada celah waktu yang
sia-sia dalam kebersamaan dengan sang buah hati.
Ibarat sebuah pohon yang kita tanam,
maka kalau hasilnya ingin bagus dengan buah yang berkwalitas, tentulah
perawatannya harus sesuai aturan. Menyiram sesuai dengan waktu dan takaran,dan
nutrisi yang diberikan juga harus sesuai dengan kebutuhan. Begitupun anak-anak
kita, mereka membutuhkan perawatan dan perlakuan yang baik. Kita bisa mencari
tahu dari banyak literasi tentang bagaimana nabi kita mendidik anak. Atau
buku-buku karya Muhammad Faudzil Adzim, yang tulisannya telah menginspirasi
banyak orang dalam merawat anak-anak. Makanan yang diberikanpun harus halalan thoyiban. Karena dari makanan
ini juga bisa mempengaruhi karakter anak di masa depan.
Rabu, 15 Maret 2017
YASPIDA MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN
Mendengar kata Pesantren, orang
biasanya membayangkan sebuah lembaga pendidikan yang super ketat aturan, tempat membentuk seseorang
berkarakter islami yang berakhlakul karimah
serta pemahaman agama yang lebih dalam. Keberadaan
pesantren sudah tak diragukan lagi sebagai bagian dari elemen pembentuk
masyarakat agar terhindar dari hal negatif
yang akan merusak tatanan kehidupan.
Dalam zaman yang serba modern
ini, segala hal bisa didapatkan dengan mudah. Orang sering bilang inilah yang
disebut era digital, era globalisasi atau apapun namanya ternyata telah
menyumbangkan efek positif dalam berbagai segi kehidupan. Namun dibalik semua
itu ketahanan keluarga sangat dibutuhkan dan terus bahu membahu untuk
membentengi anggota keluarganya dari efek negatif modernisasi.
Atas dasar itulah maka dibutuhkan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, mandiri, kreatif dan tangguh dalam
mengisi kehidupan kedepannya. Dan peran pesantren sangat dibutuhkan untuk
menjawab tantangan ini.
Kenapa Pesantren?
Karena disana tempatnya orang
menimba ilmu bukan hanya sein atau iptek saja tapi wawasan keagamaan yang
merupakan tonggak utama dalam kehidupan diajarkan. Sehingga ada keseimbangan
yang cantik dalam mewujudkan seseorang menjadi pribadi unggul dan berakhlaqul
karimah. Dan kwalitas diri seperti inilah yang diperlukan sebagai penerus
tonggak sejarah dan menjaga harga diri bangsa di mata dunia.
Itulah sebabnya, maka di medio
Januari 2017 saya mendaftarkan Azkiya
yang usianya belum genap 13 tahun ini untuk dimasukkan ke pesantren Yaspida
Sukabumi. Tadinya sempat tak percaya diri karena khawatir Azkiya tak dapat
mengikuti pelajaran di pondok karena masuk tidak dari awal tahun pelajaran. Dan
tawar menawar pun sempat muncul antara anak dan orangtua. Maklum saja karena
dengan hidup di pondok pesantren sudah barang tentu dia akan kehilangan haknya
yang biasa didapatkan di rumah. Beruntung saya yang pernah mondok di Pondok
Pesantren Daarul Mutaallimin di bilangan Sukaraja Sukabumi, sehingga bisa
menceritakan kalau pesantren bukanlah sesuatu yang menyeramkan. Bahkan banyak
nilai plus yang didapat, diantaranya bisa berkenalan dengan lebih banyak orang
dari seantero pelosok Nusantara. Dan alhamdulilah di era sosialita sekarang,
saya masih bisa merasakan sensasi silaturrahim di group medsos bersama
teman-teman nyantren di pondok dulu.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pesantren memiliki arti asrama atau tempat santri belajar mengaji
atau menuntut ilmu agama islam. Ada juga yang mengartikan bahwa pesantren
adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat
"tradisional" untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan
mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian.
Pondok pesantren secara definitif
tak dapat diberikan batasan yang tegas melainkan terkandung fleksibilitas
pengertian yang memenuhi ciri-ciri yg memberikan pengertian pondok pesantren
secara komprehensif.
Bahkan dalam perjalanannya pondok
pesantren yang pada awalnya dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisional, kini mulai berubah karena sentuhan kekinian ada didalamnya.
Alhamdulillah pada awal maret
tepatnya tanggal 4 Maret 2017, ada silaturahmi akbar antara orangtua santri dan
pihak pondok pesantren. Antusiasme untuk mendatangi acara tersebut, sangat saya
nantikan dengan harapan ada kontak timbal balik antara orangtua santri dan
pesantren, disamping bisa memberikan motivasi langsung pada sang anak. Karena
dengan kehadiran kita di tengah mereka, merupakan Oase kebahagiaan yang ditunggu
anak-anak kita. Sedih rasanya ketika melihat teman Azkiya yang orangtuanya tak
dapat hadir di acara tersebut. Sejumput rona kecewa tergurat dari wajah mereka.
Hilir mudik orangtua wali santri
begitu bejibun di area registrasi depan gedung GOR Yaspida yang cukup luas dan
hawa asri karena banyaknya pepohonan di sekitar pondokan. Dan setelah register
saya yang saat itu membawa adiknya Azkiya yakni, Muhammad Hibatillah Ahsan,
langsung menuju kursi paling depan. Sudah menjadi kebiasaan kalau masih ada
tempat terdepan, kenapa harus memilih duduk di belakang? Sebuah Action pembelajaran dan memberi contoh
sama anak agar harus mengisi shaf paling depan dulu. Sehingga setiap sesi bisa
lebih akurat kalau duduk di depan. Dan lebih dekat mengenali para Asatidz dan
Asatidzah yang berwajah teduh itu.
Acara dimulai dengan rangkaian
tilawah, marawis, mars Yaspida dan sambutan kepanitiaan. Pemutaran slide
seputar Ponpes Daarusyifa Yaspida sempat pula dipertontonkan. Hal ini menambah
wawasan hadirin terutama saya yang masih merasa baru dengan pondok ini. Dari
rangkaian acara yang tersaji, tibalah saatnya tausiyah dari sesepuh pondok pesantren Drs. K.H. E. Supriatna Mubarok, M.Sc,MM . (oalaaah.. banyak bingit pak kiyayi
gelarnya..... sudah pasti beliau adalah pembelajar sejati). Ada yang
menggelitik sebetulnya, jujur saja saya sebenarnya akan mengajukan sebuah
pertanyaan kalau ada sesi tanya jawab seputar permasalahan yang diterima
orangtua wali santri. Tapi ternyata segala pertanyaan yang hadir sepertinya
habis terjawab oleh sang kiayi dengan gaya familiar dan banyolan khas Sundanya sehingga sampai akhirpun tak
ada lagi yang perlu dipertanyakan. Sepertinya para asatidz sudah memahami akar
permasalahan yang terjadi di pondok, maklum Yaspida sudah mengabdi di kancah
pendidikan ini hampir dua dekade.
Sehingga sesepuh pondok sudah tahu seluk beluk yang terjadi pada ribuan
santrinya.
Ada 4 pilar kedisiplinan yang
diterapkan di pondok pesantren Yaspida ini:
1. Disiplin Tampilan
2. Disiplin Pembelajaran
3.Disiplin Peribadahan
4. Disiplin Pergaulan
Dengan empat pilar tersebut, maka
Yaspida sejatinya telah mampu membuat anak berkarakter, disipilin, berprestasi,
bertaqwa dan ujungnya membuat anak taat
pada Allah dan Rasulnya.
Apalagi Yaspida memiliki 6 pilar
kecerdasan, : kecerdasan mental, kecerdasan moral, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial
Dengan pilar-pilar tersebut, maka
pak kiyai sempat menceritakan bagaimana kehidupan para santri yang beliau beserta jajarannya membina mereka.
Dari bangun hingga tidur dan sampai bangun lagi, beliau haturkan ke hadapan para wali santri. Bangun pagi menjelang shubuh santri
diharuskan shalat tahajud, tilawah dan amalan sunnah lainnya. Ba’da shubuh
mereka mengaji menjelang pagi hingga datang waktu sarapan yang dismbung
persiapan untuk sekolah hingga siang hari. Begitulah aktivitas mereka setiap
saat digembeleng dengan sarat kebaikan. Saya yang mendengarkan, sekelebat
tergambar didepan mata bagaimana pengalaman saya waktu mondok dulu. Untaian
cerita yang penuh makna serasa baru saja dialami, dan tak terasa dari sudut mata ini menetes air
mata yang penuh kenangan, kebahagiaan, perjuangan yang tak akan mudah
dilupakan.
Walau dengan gaya yang asyik dan
mengundang tawa para wali santri yang hadir, tapi tetap saja ada sesi dimana
sesepuh membuat baper yang mendengar.
Bagaimana tidak, dengan tulus beliau menceritakan harapan yang ada dalam benaknya,
“piraku, perjuangan santri nu matak payah
ti saprak hudang nepi ka hudang samodel kitu teu berhasil” (masa,
perjuangan santri yang penuh lelah dari semenjak bangun hingga bangun lagi
seperti itu tak akan berhasil). Suara parau yang berdesakan dengan suara haru
kesedihan tak dapat disembunyikan, dan pak kiyaipun menangis. Sebuah tangisan
penuh harap, penuh cita-cita dan gairah yang penuh Etos mendidik para santrinya.
Menjelang dzuhur acarapun usai,
beruntung karena duduk paling depan maka berkesempatan bersalaman dengan
sesepuh pondok dan para asatidz. Usai acara, para orangtua santri tentunya
mencari anaknya untuk sekedar melepas rindu. Tapi adajuga yang ngantri di
kantor kobong (asrama) untuk meminta
izin pulang buat anaknya. Wah...wah...wah.... padahal baru berlalu kalau
sesepuh menganjurkan pada orangtua agar jangan sering membawa anak pulang. Karena
dengan sering pulang si anak setidaknya dia bisa merekam, melihat, menikmati
apa-apa yang selama ini tidak didapat di pesantren. Sehingga tak heran kalau
ada santri yang akhirnya ga kerasan tinggal di pondok. Beruntung Azkiya dapat
kubujuk, sehingga keinginan dia untuk ikut pulang bisa diatasi. (maafkan bapak ya nak.... kalau belum
waktunya,buat apa harus pulang......)
KHATIMAH
Harapan penulis, semoga pesantren
yang bertebaran di negeri ini, lebih diperhatikan oleh pemerintah. Karena
pesantren merupakan tempat cikal bakal atau generasi penerus bangsa ini agar
lebih bermartabat. SEE YOU....
YASPIDA.....
Senin, 20 Februari 2017
Berapa Umur Saya ?
Melihat masa depan.... |
Ada hari yang dirasa sangat spesial bagi kebanyakan orang. Apalagi kalau Bukan hari ulang tahun. Jari jemari menghitung mundur, seraya membayangkan masa lalu yang terlewatkan. Saat-saat kecil, remaja ataupun yang baru saja berlalu yakni pernikahan. Atau bisa jadi mentafakuri bagaimana ibu dengan susah payah dan penuh perjuangan melahirkan kita.
Keceriaan semasa kanak-kanak dengan dirayakan hari jadi sama orangtuanya, merupakan kebahagiaan yang tak terlupakan. Itu barangkali yang dirasakan oleh orang yang mengalaminya. Sementara penulis sendiri, seumur-umur tak pernah diperingati apalagi dirayakan oleh orangtua tercinta. Apakah saya marah ? "TIDAK", karena saya tak peduli dengan berapa umur saat itu atau dengan hadiah-hadiah yang akan diterima seorang anak yang merayakan ulang tahun.
Barulah menginjak remaja, saya mendapatkan kejutan dari kawan sebaya. Dan itu sepertinya sebuah sensasi milad yang saya rasakan. "Byurrrrrrr....." seember air membasahi raga ini, basah kuyup pakaian yang melekat, dibarengi suara ngakak segerombolan teman-teman. Kaget bukan kepalang, hati terasa dongkol karena candaan teman sudah kelewatan. Barulah merasa ngeuh, kalau katanya hari tersebut adalah hari ulang tahun.
Banyak cara yang dilakukan masyarakat dalam melewati hari kelahiran ini. Ada yang kumpul sama teman sejawat dengan berbakso ria, tapi ada pula orangtua yang hingga berjuta-juta membudgeting hanya kepuasan semata merayakan ultah puterinya. Padahal siapa tahu anaknya tak menginginkannya. Gaya hedonis seperti inilah yang sebenarnya sangat terlarang.
Secara pribadi saya tak akan membahas ini budaya siapa dan sudut pandang agama seperti apa. Hanya mengingatkan pembaca bahwa umur hakikatnya berkurang. Hitungan nominal semakin bertambah, padahal sejatinya manusia makin mendekati episode azal yang tentunya akan menjemput semua insan.
Kefanaan bak patamorgana ini semua akan berakhir di pintu barzah. Di pintu itulah kala segala amal menjadi sia - sia. Karena alam kubur bagaikan taman yang memiliki dua sisi yang berbeda. Dia berubah menjadi taman surga bagi orang yang beramal baik. Dan akan menjadi taman neraka bagi sang pendosa.
Hemmmm.... di hari ulang tahun ini, akhirnya panah pertanyaan melesat dari busur kegalauan, "Berapa umur saya?" Mau diapakan sisa usia yang penuh nikmat ini ? Kukuliti ruh dalam hening penuh harap, agar dosa yang lampau termaafkan. Dan dalam hati yang penuh rasa syukur, ada asa agar berubah menjadi lebih baik.
(Bandung,20 pebruari 2017)
Jumat, 10 Februari 2017
Yuk Konsisten Menulis
"Jika kamu bukan anak raja, dan kamu bukan anak ulama besar, maka jadilah Penulis"
Ungkapan Al-Ghazali ini sangat terkenal di kalangan penulis. Dan menjadi motivator agar lebih semangat dalam menulis. Karena menulis bisa membuat seseorang dikenal, dikenang, dan memberi manfaat bagi banyak orang, yang tentunya menjadi amal jariah.
Apakah seorang ulama besar seperti Al Ghazali yang sehari-harinya berdakwah, menyibukan diri dengan masyarakat, memiliki waktu banyak untuk menulis?
Tentu kalaulah Al Ghazali ini tidak menyempatkan diri untuk menulis, maka tidak akan ada karya besar yang ditulisnya. Dan ternyata kuncinya adalah konsisten dalam menulis. Semua penulis dunia yang telah mengikhlaskan diri sebagai penulis, dia akan menyediakan waktu untuk mengispirasi lewat tulisannya.
"Tapi kan saya sibuk, tak ada celah waktu untuk menuangkan ide ke dalam bentuk naskah?" Hal ini banyak ditemui, terutama bagi penulis pemula, atau yang menjadikan menulis hanya sebagai pengisi waktu senggang saja. Padahal potensi yang dimiliki dalam berkarya sangat besar. Sayang sekali tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Dalam kesibukan sehari-hari tentunya kita memiliki celah waktu yang bisa kita gunakan untuk menulis. Mungkin di pagi hari kita sempatkan diri selama 30 menit atau sekedar menulis beberapa paragraf. Kenapa saya memberi contoh di pagi hari ? Karena pagi hari, pikiran kita masih fresh belum terkontaminasi dan belum terinterupsi apapun. Sebenarnya hal ini dapat disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing. Di beberapa penulis, ada yang terbiasa menjelang tidur saat tepat berkarya. Ada juga yang menyempatkan waktu setelah shalat malam. Yang penting konsisten dalam menulis.
Ide yang bertebaran sayang sekali bila dilewatkan begitu saja. Maka sudah menjadi kebiasaan para penulis untuk memiliki buku khusus yang kemana-mana selalu dibawa. Sebagai sarana orat-oret agar ide tidak hilang begitu saja.
Beruntung kita berada di zaman sekarang yang semua serba sangat mudah. Untuk mencari tambahan bahan tinggal browsing, untuk menyimpan tulisan tinggal dicatat di Note. Bahkan untuk membuat outline dengan mind map, sekarang tinggal download aplikasinya. Saya sendiri kalau tak sempat nulis tinggal gunakan saja fitur "Voice recognition" sehingga dengan berbicara saja, maka gadget mengubahnya jadi tulisan. Simple kan ?
Nah, tunggu apa lagi, buatlah plan kapan anda menulis dan tepati apa yang kita rencanakan. Tak peduli sebentar atau lamanya waktu untuk menulis, tapi konsistenkan bahwa menulis merupakan pekerjaan kita.
Langganan:
Postingan (Atom)