Penayangan bulan lalu

Kamis, 31 Desember 2015

MUHASYABAH SEPERTI APAKAH DI MALAM TAHUN BARU ?


           Suasana pagi yang dingin dengan hujan yang mulai mengguyur bumi parahyangan, membuat orang-orang yang hendak bepergian  mengurungkan niatnya. Padahal sebagian dari mereka berharap kalau hari ini harus cerah karena akan menyambut datangnya pergantian tahun 2016. Bahkan cerita pagi sepasang ibu yang ngobrol di depan toko kami, mengeluhkan datangnya mendung di pagi hari ini. “ah payah.... hujan gini mah atuh, ga bakal jadi bakar jagung nya....”  Dan ibu yang satu lagi langsung nimpalin, “iya nih, harus di sarang sepertinya” hehe... maksud sarang ini bukan sarang tempat burung, tapi istilah yang digunakan untuk menangkal turunnya hujan. Entah seperti apa saya sendiri tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana cara menangkal hujan ini.
Kuping ini sarapan dengan kalimat yang terlontar seperti itu melahirkan  sebuah lintasan kengerian dalam hati  bahwa euforia dalam menyambut tahun baru haruslah sedemikian adanya. Kejadian yang berlangsung dari tahun ke tahun seperti jadi kewajiban. Harus ada bakar jagung, pesta kembang api, makan dan kumpul-kumpul sama teman  dan peristiwa umum yang terjadi dalam menyambut suasana tahun baru. Sesuatu yang diidam-idamkan banyak orang dengan nuansa pesta pora. Membuat orang larut dan terhanyut dalam luapan kebahagiaan. Alasannya sangat klasik yakni dalam rangka menimati  kejadian langka karena terjadi hanya setahun sekali.
                Dalam perputaran waktu ini seharusnya yang jadi perenungan bagi orang yang berakal adalah meresapi  betapa Allah Maha kuasa dan tertib dalam mengatur  pergerakan benda angkasa sehingga tersusun rapi dalam hitungan. Semua beredar tanpa lelah dengan gerak dan pola edar yang pasti dalam orbitya. Dan akhirnya membuat orang membuat catatan penanggalan yang kita kenal dengan nama almanak atau kalender.
Bagi seorang muslim, pergantian tahun ini harus dimaknai dengan perenungan-perenungan harian yang terakumulasi dalam tahuanan. Sejatinya setiap hari kita mesti mengambil pelajaran dari firman Alloh dalam QS.3(Ali-imron):190, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Alloh) bagi orang yang berakal”
Kalau hal ini dicamkan setiap hari tentunya setiap tahun kita akan lebih dewasa dalam menatap tahun berikutnya dan akan merasa dibimbing langsung oleh Empunya waktu yakni Allah azza wajalla. Sehingga mampu mengaktualisasikan diri dalam bersikap tidak tergantung pada momentum hari-hari tertentu atau pada saat tahun baru saja.
                Kalau Alquran memandang waktu seperti itu, lantas  darimanakah kebiasaan yang serba hedonisme itu muncul ?  Siapa sih yang pertamakali memasyarakatkan pesta kembang api ? kenapa sih harus rela menunggu jam 00 dengan antusias berkumpul di satu lapangan ? Haruskah remaja bergumul dalam party yang membuat lupa dan terlena bahkan berapa gadis yang malam itu  hilang virginitasnya demi sebuah perayaan malam tahun baru ? Tentu hal ini sebuah pertanyaan yang harus dijawab para orangtua agar mewaspadai putera-puterinya dalam memaknai tahun baru agar putera-puterinya khususnya remaja tidak terjebak dengan hedonisme yang bermuara pada pelabuhan syaithan.
Barangkali benarlah pula apa yang Baginda Rasul sabdakan, Dari Abu Sa‘id Al Khudri,ia berkata:
 لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ"
(البخارى)
"Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal,sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalianpun akan masuk (mengikuti) ke dalamnya.Mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani.? Lalu beliau berkata, "Siapa lagi kalau bukan mereka".(HR. Bukhari dan Muslim
                Sungguh sebenarnya waktu yang dilalui manusia itu hanya berkutat dalam tiga masa, yaitu hari yang telah lampau, hari ini dan hari esok atau yang akan datang.  Tahun  2015 adalah tahun lalu yang tak pernah kembali dan disanalah kita harus bermuhasabah akan segala pencapaian yang kita raih. Sepatutnya pula kita yang akan menentukan akan kebahagiaan di masa yang akan datang atau yang lebih jauh lagi yaitu kebahagiaan di akhirat kelak.
                Nampaknya terlalu klise kalau awal tahun adalah saatnya untuk membuat planing agar semua yang jadi harapan agar tercapai. Tetapi hal yang klise ini justru yang sebenarnya harus ada di setiap pribadi agar menjalankan hari-hari ke depannya lebih nampak dan komitmen dalam menjalaninya. Karena sebetulnya kehidupan di masa datang adalah sesuatu yang semu, sesuatu yang tidak pasti karena kita belum mencapai kesana. Karena hal itulah, agar tidak terjebak dengan alur yang salah maka sepantasnya kita buat planing sebagus mungkin serta menjalankannya dan tak lupa sertakan Alloh dalam menyusun planing tersebut.
                Selain menyusun planing tak lupa juga Evaluasi akan segala hal yang telah dilewati di tahun-tahun berikutnya. Muhasabahlah diri sendiri sebelum orang lain memuhasabah tentang kita. yang di evaluasi bukan serta merta bisnis saja tapi soal ruhiyah kita semestinya di evaluasi. Bagaimana ibadah kita, bagaimana hubungan kita dengan masyarakat ,bagaimana tilawah kita, apakah semua itu dijalankan dengan baik atau bagaimana?  Bila perlu semua dicatat secara rinci agar bisa meningkatkan mutu kita di mata Allah swt.
                Tak luput pula soal hubungan dengan keluarga harus jadi prioritas dalam mengevaluasi dan memasukkan planing buat masa depan. Anak dan pasangan hidup adalah insan-insan yang membutuhkan perhatian kita. Kalau selama ini orangtua kurang meluangkan waktunya buat anak rubahlah di tahun 2016 agar lebih fokus ke anak. Baginda Nabi telah mencontohkan walau dalam keadaan bagaimanapun, tapi beliau selalu meluangkan waktunya buat anak. Banyak diantaranya hadist shahih  yang menriwayatkan bahwa suatu ketika beliau sampai merangkak main kuda-kudaan bersama anak-anak bahkan demi membahagiakan istri sempat juga berlomba lari bersama. Dan ada saatnya juga beliau bercengkrama dengan rakyat jelata.
                Bermuhasabah diri setiap saat setidaknya akan terus mengaudit diri setiap hari. Harta yang berlimpah berupa umur yang diberikan Alloh sejatinya terus berkurang. Dan aset umur yang diberikan Alloh ini merupakan modal awal yang seharusnya tidak boleh bangkrut atau defisit. Tapi sebaliknya modal umur ini harus bertambah dalam artian harus mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Hal ini tentunya sulit kalau kita tak pandai dalam mengevaluasi diri setiap hari.
                Dalam menghadapi pergantian tahun ini janganlah kita tergiring ke dalam jerat-jerat satanic yang selalu mengelabui. Luapan-luapan kebahagiaan yang terjadi di pergantian malam tahun baru semestinya dibarengi dengan refleksi  akan pentingnya sebuah waktu.  Bahwa umur yang ada bukanlah bertambah tapi sebenarnya adalah pengurangan umur dari jatah yang diberikan Allah kepada manusia. Maka camkan dalam diri, siapa tahu ini adalah malam terakhir yang kita reguk di dunia ini.
                 Mengevaluasi diri tak seharusnya pula kumpul-kumpul di masjid dan melakukan amalan-amalan sunah lainnya. Karena melakukan hal kebaikan seperti inipun merupakan tindakan salah kaprah, karena sepanjang saya belajar tentang saat mustajab tidak pernah ditemukan anjuran seperti ini. Wallohu’alam. Pembaca tentunya lebih faham saat mana saja yang termasuk saat ijabah. Cukuplah menghisab diri dengan berdiam diri dan istirahat, dan diatas sudah saya jelaskan bahwa muhasabah haruslah dilakukan setiap saat.
                Akhirulkalam, semoga hari-hari anda diberkahi Allah subhanahu wata’ala .


Bandung, 31 Desember 2015

Minggu, 27 Desember 2015

MEKARMU ITU CUMA SEJENAK


          
Memiliki anak gadis  belia dan beranjak remaja, tentunya membuat para orangtua merasa was-was tiada kira. Bagaikan mengapit telur  diujung tanduk, kalau tak waspada  maka porak porandalah tiada sisa. Ya.... masa remaja cuma sekali dan teramat sebentar. Selepas  itu sang gadis akan mengalami masa dewasa, menjadi seorang isteri  dan ibu dari anak-anaknya. Sehingga tak dinyana kebersamaan dengannya terasa begitu cepat dan selanjutnya akan diboyong karena menjadi milik suaminya.
            Masa muda yang beberapa jenak ini telah melahirkan  ungkapan, “masa muda adalah masa yang paling indah” . Keindahan masa muda ini bagaikan mekarnya bunga yang bertebaran di sebuah taman.  Lebah  dan kupu-kupu laksana berlomba-lomba untuk hinggap dan menghisap sari bunganya. Dan setelah itu sang kembang  akan layu, hilang mekarnya dan tak mungkin kuncup kembali.
            Karena mekarmu cuma sekali, jadilah gadis yang pandai menjaga semerbak  itu. Jagalah selalu apa yang kau miliki dengan terus mengisi hal yang berdaya guna. Janganlah kau biarkan waktu mudamu itu hanya dengan berleha-leha dan bersenda gurau yang tak karuan. Ingatlah pesan Nabi, “sebaik-sebaiknya manusia adalah yang memberi manfaat pada orang lain”.  Janganlah pula engkau bersedih hati, tatkala sejawatmu bebas bergaul dengan lawan jenismu dengan gaya busana yang up to date tapi tak mengindahkan nilai yang syar’i.
            Kelemah lembutan adalah ciri khas muslimah. Bacalah selalu kisah ummu Khadizah alkubro ataupun ummu Aisyah ra, yang karena kelembutannya bagaikan semarak bunga nan indah yang menghiasi taman keimanan karena selalu disiram limpahan wahyu. Sehingga harumnya semerbak dari barat hingga ke timur, dari hulu hingga ke tepi.
            Setelah raga dan jiwamu dibalut kelembutan, sifat malu juga harus kau hunjamkan erat-erat hingga pesona tubuhmu terlindungi karena hal itu adalah aurat. Matamu akan terjaga karena selalu menjaga pandangan (ghadhul bashar) sehingga matamu kelak terbebas dari sengatan api neraka. Menjaga sikap, akhlak dan berpegang teguh pada tali agama Allah bermakna kamu telah menyelamatkan ayah bundamu dari fitnah akhirat yang meluluhlantahkan insan-insan berdosa.
            Mungkin semua itu sangat membuatmu penat, mungkin juga bisa kau merasa payah menggenggamnya. Tapi dari sanalah, pundi-pundi pahala akan kau dapatkan. Sehingga mekarmu yang hanya sejenak menjadi tangga-tangga meraih Ridha ilahi.
Imam Asyafi’i bertutur ,”Jika kau telah berada di jalan kebaikan, melesatlah dengan kencang. Jika sulit, maka tetaplah berlari meski kecil langkahmu. Bila engkau lelah, berjalanlah menghela lapang. Dan bila semua itu tak mampu kau lakukan, tetaplah maju meski terus merangkak, dan jangan pernah sekalipun berbalik ke belakang.”

            Persiapkan diri dari sekarang, agar bahagia  di dunia dan akhirat kelak.  Menempa diri dari hal mudah mestinya tak akan terasa berat. Banyak hal yang perlu kau kuliti dalam menyongsong dunia dewasa yang penuh tantangan. Semua harus kau kenyam dalam-dalam karena sejatinya dirimu adalah calon ustadzah pertama dalam madrasah anak-anakmu. Ada dua hal utama dari sederet bahan yang harus kau raih dalam mematangkan diri itu, yaitu: Ruhiyah dan Ilmiah.

1.      Ruhiyah atau spiritual ini sangat penting dan harus  senantiasa prima. Gemblenglah dirimu agar ruhiyah langgeng terjaga. Berkomunikasi dengan Allah lewat membaca Alquran dan berdzikir itu, bisa dijadikan sebagai bahagian pembelajaran untuk membentengi  ruhiyah. Begitupun shalawat ke atas Nabi , qiyamullail, dan ringan tangan dalam memberi itupun dapat menjadi prisai diri dalam mempertajam ruhiyah. Dan masih berbagai rupa amaliah yang bisa kau padu padankan dalam meniti hari menjadi akhwat sejati.
2.      Ilmiah atau keilmuan, hal berikutnya yang harus kau cerna adalah asupan ilmu agar kau terbina dengan tatanan akhlakulqarimah dalam melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslimah. Mencari ilmu haruslah menjadi kebutuhan dan prioritas mulia dalam segala kesibukan. Karena dengan imu seorang muslimah akan pandai membedakan mana yang petunjuk atau menyesatkan, mana yang haq dan mana yang membuat bathil. Di era derasnya arus informasi, mencari ilmu sangatlah dimudahkan. Buku-buku  yang sarat manfaat sangat mudah diraihya, blog-blog para pencerah kehidupan sangat bercecer hanya dengan tinggal klik saja. Begitupun di media elektronik sangatlah murah kita dapatkan dalam mengumpulkan khasanah keilmuan. Asal harus dibarengi kehati-hatian agar tak salah langkah dalam berjalan. Dengan ilmu kita bisa beribadah yang benar sehingga akan mengantarkan kita kepada jannatunnai’im abadan abadaa....  Sebagaimana sabda Nabi dalam sebuah Haditsnya, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa menempuh  jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (H.R Muslim)

Nak.... mekarmu yang sejenak, dengan keanggunan yang terpancar akan terus mewangi kalau terus disirami dengan cahaya keimanan. 





Nak....!
Ketika orangtua melarangmu agar hati-hati dalam pergaulan itu pertanda orangtuamu sayang agar kau tak terjerumus dan salah jalan. Ketika orangtuamu berpesan tidak boleh pacaran, itu karena  takut semerbak mewangi yang sebentar itu jadi layu tak berguna. Apalagi layu sebelum berkembang yang kemudian akan dikumpulkan dengan sampah tiada guna.

Nak.....!
Dalam Firman-Nya Allah mengatur segalanya karena sayang pada umatnya.
Dan nanti di yaumul hisab orangtuamu akan dicecar pertanyaan, Tentang amanah besar yang diberikan-Nya yaitu engkau anakku. Dan engkaupun akan ditanya "dipergunakan untuk apa masa mudamu?"  Allah akan tersenyum jika engkau menjaga masa mudamu dengan menuruti segala ajaran-Nya.



Bandung, 27 Desember 2015

Senin, 21 Desember 2015

JADI SANTRI KOQ TAKUT......!



santri putera pp modern Albasyariyah cigondewah Bandung


            Kengerian para orangtua zaman sekarang karena melihat fakta yang ada tentang pergaulan anak-anaknya membuat mereka berpikir dan mencari solusi untuk dapat keluar dari permasalahan ini. Upaya para orangtua tua tersebut beragam pula, ada yang rajin ikut seminar parenting, ada yang membiasakan kajian keislaman tentang bagaimana mengurus anak. Ada juga yang mencari referensi lewat bacaan, kemudian ada yang sampai menggunakan jasa pembimbing agar bisa menjadikan anaknya lebih baik. Bahkan ada juga yang memproteksi anaknya dengan tidak bergaul dengan dunia luar.
            Semua yang dilakukan orangtua yang peduli terhadap anaknya tersebut, insyaallah akan membuat sebuah amalan ibadah yang berpahala di mata Allah. Orangtua semacam ini boleh jadi telah menyadari bahwa peran orangtua yang diembankan terhadap dirinya merupakan sebuah amanat yang harus ditunaikan atau tugas besar yang dimandatkan Allah  kepada dirinya. Mendidik dan mengajarkan suatu kebaikan terhadap anak adalah tugas mulia orangtua sepanjang hayat. Sebuah perjuangan tiada henti agar anaknya mengenal Allah dan Rasulnya sehingga tujuan akhirnya selamat di dunia dan akhirat.
            Sedari kecil yang dimulai ketika anak dalam kandungan, hingga lahir, masa kanak-kanak dan terus sampai besar,bahkan sampai anak menikahpun orangtua senantiasa memberikan perhatian penuh terhadap kita sebagai anak-anaknya. Hanya saja perhatian yang penuh cinta ini terkadang runtuh karena ada faktor-faktor lain yang membuat anak jauh dari harapan. Misalnya anak tidak mau sholat, menghardik orangtua, selalu memaksa kehendaknya sendiri atau tindakan negatif lainnya yang membuat orangtua menangis.
            Menyimpangnya anak yang keluar dari harapan orangtua, sebetulnya tidak juga kesalahan pendidikan di dalam rumah. Ada faktor pendukung dari luar yang membuat anak tidak sesuai dengan cita-cita orangtua. Apalagi zaman sekarang dengan kondisi yang serba mudah dengan era digital yang serba canggih, gadget yang dengan amat mudah anak bergumul dan mengakrabi barang tersebut yang tak pernah ditemui oleh orangtua waktu kecil di zamannya. Pengaruh luar inilah yang memiliki andil besar dalam membentuk karakter anak sehingga menyimpang dari skenario yang islami.
            Fenomena seperti inilah yang membuat para orangtua terpanggil untuk memasukkan anaknya ke basis pondok pesantren atau boarding school. Orangtua berkeyakinan bahwa dengan memasukkan anaknya ke pondok pesantren  maka ketakutan-ketakutan yang diutarakan diatas dapat dihindari. Karena di pondok, anak bisa belajar untuk lebih dalam tentang agama. Karena orangtua percaya bahwa pendidikan agama merupakan fondasi yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sehingga dapat membentuk manusia yang dapat melaksanakan tugasnya sebagai abdi Allah. Karena tugas manusia di dunia ini tak lain dan tak bukan adalah untuk beribadah kepada Allah.
            Tujuan orangtua tersebut sangatlah mulia, tapi akan lebih mulia lagi kalau semua kebutuhan akan ilmu agama ini datang dari orangtua sendiri. Akan tetapi pada kenyataannya justru anak tidak sepenuhnya mendapatkan yang paling berharga ini dari orangtuanya. Hanya sebagian kecil dari para orangtua muslim yang sungguh-sungguh  membina anaknya tanpa campur tangan orang lain. Dan kalaupun ada campur tangan orang lain,  porsinya yang dominan adalah di tangan orangtuanya. Biasanya anak-anak seperti ini yang lahir dan besar di lingkungan agama yang kuat seperti pesantren. Bisa juga orangtua yang betul-betul memegang prinsif dengan cara home schooling, sehingga orangtua  berperan sebagai  guru atau ustadz bagi anak-anaknya.
            Harapan orangtua tersebut tidak selamanya sejalan  dengan apa yang menjadi keinginan sang anak. Sehingga banyak orangtua yang akhirnya memaksa anak untuk mau mondok. Dan disinilah biasanya akan terjadi konflik antara kedua belah pihak. Dan konflik yang terjadi ini kalaulah dibiarkan maka akan menjadi boomerang buat anak. Terkadang ada  dalam pikiran orangtua, dengan memaksa anak ke pondok lama-lama juga anak akan merasa betah dan terbiasa dengan lingkungan pesantren. Untuk usia SMP hal memaksa anak ini bisa jadi berhasil karena untuk anak usia ini kematangan dalam emosi dan rasa takut sama orangtua cenderung masih ada. Akan tetapi bagi anak seusia anak SMA yang tentunya sudah mengalami masa pubertas hal ini tentu tidaklah gampang. Orangtua harus bekerja ekstra untuk dapat mengendalikan anaknya tersebut. Atau lebih tepatnya memberi arahan yang tepat agar anak benar-benar sejalan dengan keinginan orangtua.
            Sudah menjadi kelaziman di Indonesia bahwa masyarakat kita memasukkan anak ke pesantren pada usia masuk SMP atau SMA yakni di kisaran usia 12-15 tahun. Dan usia ini merupakan usia pubertas yang menurut Elizabeth B Hurlock dalam Developmental Psychology (1968) termasuk pada masa remaja awal. Menurut Hurlock masa remaja terbagi dari tiga fase, yaitu :
1.      Pada usia 12-15 tahun termasuk fase remaja awal
2.      Pada usia 15-18 tahun termasuk fase remaja pertengahan
3.      Pada usia 18-21 tahun termasuk fase remaja akhir
Masa pubertas ini juga merupakan awal perpindahan dari anak-anak menjadi dewasa. Dari segi fisik kita mengenal mereka sudah besar dan mereka umumnya tidak mau diperlakukan seperti anak kecil lagi. Sementara dari kematangan pemikiran ataupun emosional mereka belum seperti orang dewasa dengan tanggungjawabnya. Dan biasanya konflik antara anak dan orangtua sering muncul pada usia ini.
            Allah menciptakan segala di alam semesta ini selalu beragam, begitupun perkembangan tumbuh kembang anak tiadak selalu sama karena banyak faktor pendukung yang mempengaruhi pertumbuhannya. Dari fase anak ke remaja hal yang paling banyak mempengaruhi perkembangannya biasanya ada pengaruh faktor keturunan dan lingkungan. Faktor lingkungan ini biasanya meliputi, lingkungan keluarga, baik buruknya asupnya gizi, pengaruh teman sepermainan,informasi yang didapat melaui media, aktivitas keseharian, dan lain-lain. Sehingga patokan umur yang diklasifikasikan oleh hurlock tak selamanya sama untuk masa sekarang. Kita bisa perhatikan di era tahun 80’an anak perempuan mengalami haid pertama rata-rata pada usia 13 tahun lebih. Akan tetapi di era sekarang anak SD  kelas 5 saja bahkan ada yang masih kelas 4 yang usianya pada kisaran 9 atau 10 tahun akan tetapi mereka sudah mengalami haid  atau mensturasi.
            Untuk anak laki-lakipun sama, kalaulah di era 80’an masih mudah menemukan mereka di mushola untuk mengaji, bermain tradisionil dengan teman sebayanya walaupun usianya sudah masuk masa remaja awal. Tetapi untuk zaman sekarang terkadang membuat miris orangtua, karena yang mereka lakukan adalah kongkow di warnet, main game, nyanyi-nyanyi walaupun di waktu maghrib sekalipun. Bahkan tak jarang yang  sudah berani mengganggu lawan jenisnya. Pergeseran nilai seperti ini karena efek globalisasai dan informasi yang tidak terkontrol dan mau tidak mau akan menjadi PR bagi para orangtua.
            Di masa remaja seperti inilah maka biasanya sudah mulai banyak konflik yang terjadi antara anak dan orangtua. Namun sebetulnya konflik yang terjadi hanya merupakan kejadian-kejadian keseharian yang sebetulnya sangat sederhana. Diantaranya anak tidak suka merapikan tempat tidurnya, menyimpan kaos kaki sembarangan selepas sekolah, menonton televisi sampai lama, asyik main gagdet dengan melupakan Pekerjaan Rumah dan masih banyak hal pemicu konflik yang sungguh membuat dahi orangtua berkerut.
            Dan kalau hal ini dibiarkan terjadi setelah anak masuk pesantren maka bisa membuat problem bagi anak dan terlebih bagi lingkungan pondok. Oleh karena itu maka sejak dini orangtua harus menanamkam bagaimana membuat anak lebih terampil dan memposisikan diri sebagai pribadi mandiri setelah hidup berjauhan dengan orangtuanya. Bagi anak gadis yang sudah haid sebelum masuk pesantren mungkin tidak terlalu sulit untuk menerapkan tatacara   dalam menghadapi mensturasi ini karena sudah diajarkan langsung di rumah oleh ibunya. Tapi bagi anak gadis yang kemudian ternyata mengalami haidnya di pondok, hal ini akan jadi kebingungan bagi dirinya. Dengan demikian hal-hal mendasar seperti ini harus diwanti-wanti oleh orangtuanya terutama bagi ibunya.
            Keterbukaan antara anak dan orangtua sangatlah penting, sehingga komunikasi harus terus dijaga. Sampaikanlah kepada anak dengan perlahan-lahan soal alasannya sehingga berhasrat untuk memasukkan anaknya ke pesantren. Begitupun orangtua harus mau mendengarkan pendapat anaknya sehingga ada komunikasi yang seimbang dan pada gilirannya terjadi sebuah kesepakatan.
            Kalau dalam tulisan terdahulu saya menyampaikan faktor-faktor ketidaktarikan orangtua untuk memasukkan anaknya ke pesantren, kalau saat ini justru saya akan memaparkan hal apa saja yang membuat anak tidak tertarik untuk belajar di pondok pesantren. ketidaktertarikan anak ternyata lebih banyak daripada ketidaktarikan orangtua.

asrama puetri pp alaqsho Sumedang Jawabarat 

Berikut saya akan paparkan hal apa saja yang membuat anak enggan untuk tidak mau mondok :

1. Takut Tidak Menguasai Pelajaran Karena Banyaknya

Pelajaran di boarding school atau di pesantren sudah tentu akan berbeda denga pelajaran yang ada pada sekolah umum. Hal ini dikarenakan perpaduan antara pelajaran umum dan pelajaran agama atau kitab yang diajarkan pada setiap pondok pesantren. Walaupun secara kwantitas memang banyak yang diajarkan, akan tetapi sebenarnya ustadz disana juga tetap memahami keadaan santri sehingga bisa disesusaikan dengan kemampuan. Santri yang pertama datang tidak akan sama dalam porsinya dengan santri yang sudah masuk setahun lalu misalnya.

2. Malu Sama Teman

Biasanya ini terjadi kalau di diri anak sudah tertanam bahwa sekolah favorit adalah sekolah yang bagus. Sekolah negeri yang jadi idola telah mempengaruhi pikirannya. Hal ini dikarenakan pengaruh yang dia dapatkan di sekolah atau iklan di media.  Sehingga demi ingin masuk di sekolah pilihan sampai rela mengeluarkan uang lebih untuk les tambahan atau bimbel. Anak yang akan masuk pesantren kemudian nila ujiannya mumpuni untuk masuk di sekolah favorit, lalu orangtuanya memasukkan ke sekolah yang bukan pilihannya terkadang dia merasa malu sama temannya.
 Orang lain ada yang dengan susahnya ingin mendapatkan nilai yang bagus bahkan dengan rela menyogok agar mendapatkan nilai tinggi, sementara yang nilai tinggi harus masuk ke sekolah yang ada pesantrennya. Selain itu rasa malu juga bisa timbul karena menilai bangunan fisik sekolah di pesantren. Di zaman saya waktu mondok, bangunan sekolah memang tidak terlalu megah, bahkan untuk lantai atas saja terbuat dari kayu . Sehingga kalau ada yang berjalan terlalu kencang di lantai atas, penghuni kelas yang dibawah bisa mendengarnya. Dengan bangunan seperti itu banyak calon santri yang berpikir mengurungkan niatnya untuk mondok di situ.
Padahal setelah saya masuk kesana, kegiatan belajar mengajarnya sama saja dengan sekolah yang lain pada umumnya. Guru pengajarnyapun banyak yang mengajar juga di sekolah pavorit, Hanya bangunannya saja yang belum diperbaiki karena terbentur masalah biaya. Maklum pondok pesantren darul mutaallimin tempat saya mondok tersebut tidak mematok bayaran tinggi. Yang utama adalah transfer ilmu dari para asatidz yang sampai kepada para santri. Luarbiasa memang kalau dibandingkan dengan guru zaman sekarang yang mempunyai gaji tinggi.

3.  Banyak Aturan Sehingga Tidak Bebas

            Soal banyak aturan ? Itu wajar saja , di rumah saja ada aturannya. Di sekolah umum juga semua ada tata tertibnya, dan disemua keadaan apapun, kita tak terlepas dari yang namanya aturan atau norma-norma yang harus diterapakan. Dan yang namanya peraturan sifatnya sama yaitu mengikat dan biasanya berbanding lurus dengan sangsi atau hukuman.
Peraturan yang diterapkan di pesantren semata-mata karena untuk kemajuan para santri dan sebagai bukti bahwa para asatdzid/asatidzah  bertanggung jawab penuh atas mandat yang diberikan dari orangtua santri. Dan peraturan yang ada sekarang tidak begitu kaku seperti zaman saya dulu di pondok. Kalau dulu masih ada usatdz  yang terkesan angker bahkan tak segan-segan membawa alat pemukul semacam rotan. Kalau sekarang sepanjang saya survei ke pondok-pondok dalam rangka membuat ini tulisan, hal seperti itu sudah tidak ada lagi.
Saya sempat ngobrol juga dengan salah seorang santri pondok pesantren modern Albasyariyah cigondewah Bandung, pesantren ini merupakan cabang dari  Pesantren Gontor Jawa Timur yang sudah terkenal itu. Dikenal cabang Pesantren Gontor sebenarnya hanya karena pendiri dan pengelola merupakan alumni Gontor. Sehingga hal ikhwal tentang kepesantrenan, tata cara ataupun kurikulum mengadopsi ke pesantren tersebut. Santri ini saya tanya soal peraturan di pondok apakah terasa memberatkan atau bagaimana. Dan dia menjawab,”Justru dengan peraturan kami bisa lebih disiplin dan teratur, bahkan saya merasa menyia-nyiakan waktu kalau ingat sewaktu di rumah yang sepulang sekolah hanya menonton televisi saja. Tapi disini kami diatur dalam segala hal, sampai jadwal tidurpun diaturnya. Awalnya terasa mengekang tapi setelah seminggu terasa biasa dan senang saja kami menerimanya”.
            Maka dengan demikian sebetulnya pikiran takut dikekang itu hanya hembusan-hembusan yang didasari sifat manusia yang tak ingin diatur. Kalau dari dialog saya dengan santri albasyariah tersebut dia bilang,”kita harus membentengi diri dari pengaruh syaithan yang selalu ada di sekeliling kita” ujarnya. Wah..... mendengar ucapan santri ini saya betul-betul tercengang karena jawaban itu keluar dari santri yang baru  kelas 3 SMP. Pikiran saya membandingkan dengan diri sendiri karena saya masuk pesantren setelah lulus SMP dan sepertinya tak akan bisa mengeluarkan kalimat positif seperti itu. Maka ketakutan akan ketatnya peraturan buanglah jauh-jauh dari pikiran, karena peraturan dibuat semata-mata untuk supaya kita lebih baik dan berarti di depan masyarakat dan baik di hadapan Allah tentunya.
            Seorang santri tidak akan sesuka hatinya untuk bisa pulang dan pergi dari pondok. Tetapi beberapa prosedur harus dilaluinya. Hal ini membuktikan bahwa santri dituntut juga untuk menghargai waktu dan belajar bersabar. Sehingga pada gilirannya akan menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting jika telah terjun ke masyarakat.

contoh tata tertib di pp alaqsha Sumedang

4. Norak atau Kampungan

            Kata “norak” kalau dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua makna,
1. Merasa heran atau takjub melihat
2. Sangat berlebih-lebihan. kurang serasi (tentang dandanan dan sebagainya). Norak atau kampungan yang dimaksud disini karena anak-anak membandingkan dengan dunianya yang mereka alami sekarang ini. Zaman sekarang segala sesuatu harus sering update dari mulai  Gaya busana, gaya rambut, cara berbicara, bahasa gaul atau istilah baru yang digunakan secara kekinian semua harus tampil up to date. Bahkan yang paling mengerikan pacaranpun sudah dimasukkannya sebagai sesuatu yang harus ada di diri mereka.
Memang tidak dipungkiri kalau santri biasanya identik dengan sarung dan peci bagi laki-laki dan rok panjang serta jilbab yang terkesan monoton yang digunakan santri perempuan.  Bahkan untuk urusan matching atau tidaknya santri tak begitu mempedulikannya, karena tujuan berbusana adalah melaksanakan kethaatan sebagai muslim dan muslimah yang  harus menutup aurat.
Begitupun dalam hal bahasa yang sepertinya kurang gaul untuk ukuran kekinian. Padahal coba kita lihat  di pondok seperti assalam Sukabumi, alittihad cianjur dan pondok pesantren lainnya yang menerapkan bahasa pergaulannya sehari-harinya adakah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Pokoknya bisa bikin minder deh kalau kita mendengar mereka langsung bercakap-cakap. Apakah hal ini norak?
 Begitu juga dalam hal busana, kalau dulu barangkali peci dan sarung sudah identik dengan status santri, tapi untuk ukuran sekarang bila kita  jalan-jalan ke pesantren nurulfikri Madani Lembang disana menggunakan sarung sudah tidak menjadi keharusan. Tapi coba perhatikan, dengan berpakaian seperti umumnya pelajar tapi mereka tak lepas interaksi dengan Alquran bahkan sudah banyak yang menjadi hafidz dan hafizah. Apakah ini kampungan ?
Pesantren zaman sekarang malah sudah pandai melihat kekinian yang terjadi, kalaulah dulu paling santri diarahkan hanya untuk bercocok tanam dalam hal extra kurikulernya, kalau sekarang malah banyak santri puteri yang diajarkan pula dalam hal menjahit dan fashion. Sehingga diharapkan setelah mereka keluar dari pondok bisa lebih mandiri dari hal financial. Dan tentunya hal ini bisa membuat penampilan orang tidak norak lagi.

5. Kekhawatiran Karena  Jauh Dari Orangtua

Seperti halnya dalam tulisan terdahulu tentang kekhawatiran orangtua yang tak mau berjauhan dengan anaknya, maka ternyata kekhawatiran ini pula timbul di diri anak. Hal ini bukanlah suatu kesalahan karena sejatinya ini merupakan sebuah fitrah manusia apalagi didalamnya ada ikatan kekeluargaan. Seorang anak yang terbiasa mendapatkan rasa aman dalam suasana rumah, maka akan merasa tak nyaman kalau berjauhan dengan orangtuanya. Padahal sebuah perjalanan hidup yang penuh dengan dinamika ini semuanya harus dilewati. Termasuk disaat berkeluarga nanti maka seorang anak harus siap untuk berpisah dengan orangtua. Dan berpisah jauh dari orangtua karena tinggal di pesantren sifatnya Cuma sementara. Karena orangtua bisa menjenguk tiap bulan misalnya, atau dari setahun biasanya ada waktu libur yang sama dengan libur sekolah lain yaitu setahun dua kali. Dan ini kesempatan santri untuk bisa melepas rindu dengan keluarga.
Selain kekhawatiran jauhnya dengan orangtua karena rasa nyaman, terkadang anak juga suka merasa kebingungan kalau harus mengatur uangnya sendiri. Karena mungkin yang dilakukan di rumah, biasanya anak mendapat jatah uang saku hanya cukup harian atau sesuai dengan kebutuhan. Sementara kalau tinggal di pondok santri dituntut untuk pandai memanage keuangan sendiri. Dan kalau kebablasan atau boros dalam hal belanja maka anak khawatir tidak bisa mencukupi sampai mendapatkan kiriman uang selanjutnya. Dengan pola seperti ini sebetulnya ini sebuah nilai plus yang diajarkan kepada santri agar betul-betul mengelola keauangan pribadinya. Dan ajaran untuk menahan diri dari sifat boros dan  membiasakan diri untuk selalu qonaah
Untuk mengantisipasi ketakutan seperti ini, sebaiknya anak dibiasakan sedini mungkin untuk membiasakan mandiri dari rumah. Walaupun di pondok nanti anak akan hidup lebih mandiri, tetapi tatanan kemandirian harus segera diajarkan dari rumah juga. Berikan pengetahuan pada anak mungkin bisa menceritakan kisah orang-orang sukses yang merupakan lulusan dari pesantren. Atau bisa pula dengan contoh survive kecil-kecilan di rumah. Biasakan untuk merapikan tempat tidur sendiri ataupun mengerjakan keperluan pribadinya sendiri, mencuci baju sendiri contohnya. Sehingga dengan latiha-latihan seperti ini calon santri tidak merasa shok dengan perubahan yang dilalui di dalam pondok.

6. Khawatir Dengan Teman Yang Tidak Baik

            Dalam kehidupan sosial sudah tentu kita sangat membutuhkan orang lain. Karena sebagai mahluk yang pada dasarnya lemah dan tentunya sangat memerlukan pertemanan. Tidak ada orang di dunia ini yang hidup dalam hari-harinya hanya sendirian, pastinya membutuhkan seorang teman atau sahabat. Karena lewat teman inilah sesungguhnya kita dapat membentuk karakter dan mengembangkan diri ke arah yang lebih positif.
            Akan tetapi selain membawa pengaruh yang positif, teman juga membawa seseorang ke arah sebaliknya kalau teman tersebut adalah orang yang tidak baik dalam ukuran masyarakat apalagi tidak baik di mata Allah. Makanya jauh-jauh hari Rasullulah telah berpesan untuk berhati-hati dalam memilih teman, karena sejatinya teman adalah cerminan diri kita sendiri. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Abu khurairoh bahwasanya Rasululloh saw bersabda, "seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaklah kalian memeperhatikan siapakah teman dekatnya."

          Seorang calon santri yang akan memasuki dunia barunya di pondok pesantren, tentunya akan membayangkan bagaimana kehidupannya nanti di pondok. Adakalanya mereka khawatir bila nanti mendapatkan teman yang tidak senyaman sekaranng ini. Mereka juga khawatir dengan sistem perpeloncoan yang dimainkan senioritas. Padahal sesungguhnya pondok bukanlah organisasi premanisme, dan pengalaman saya waktu pondok tidak ada yang namanya gagah-gagahan yang dilakukan kakak kelas. Yang ada malah sebaliknya, mereka kakak kelas selalu mengarahkan kita untuk mengenal peraturan yang ada. Sehingga pada gilirannya mereka sesungguhnya adalah sahabat pertama kita di pondok.
            Ketakutan mendapatkan teman yang kurang baik sebetulnya ini langkah awal untuk mewujudkan perintah rasulullah yang ada dalam hadist diatas agar kita senantiasa hati-hati dalam memilih teman. Carilah teman yang akan membantu kita lebih baik, carilah teman di pondok itu yang bisa membantu murojaah hafalan atau yang selalau mengingatkan dalam hal kebaikan sehingga membawa kita memiliki karekater yang sesuai aturan isalm.

7. Takut Tidak Terbiayai

            Masa masuk pesantren akan berbeda dengan masa kanak-kanak, kalau di usia ini biasanya anak tidak faham apakah orangtuanya memeiliki banyak uang atau tidak. Makanya ketika dia menginginkan jajan atau menginginkan sesuatu anak akan merengek bahkan memaksa orangtuanya untuk memenuhi hasyrat yang ada dalam dirinya. Sedangkan untuk ukuran usia masuk pesantren, biasanya mereka mulai menilai dan menyadari hal ikhwal yang terjadi pada orangtua dan keluarganya. Makanya wajar bila soal keuanganpun, mereka sudah memiliki ukuran tentang kapasitas orangtuanya dalam hal membiayai di pondok kelak.
            Keadaan seperti inilah, terkadang mendorong anak merasakan ketakutan kalau orangtuanya tidak sanggup membiayai yang pada gilirannya putus di tengah jalan. Sebenarnya tidak semua urusan orangtua dapat diketahui anak-anaknya, termasuk urusan biaya pendidikan. Niat mulia orangtua untuk memasukkan anaknya ke pondok pesantrenpun, tentunya sudah menjadi pertimbangan orangtua. Apalagi pemahamannya terhadap agama yang sudah lebih faham dibanding anak misalnya orangtua sangat percaya bahwa dengan mendedikasikan diri untuk pendidikan anak maka yang namanya biaya pasti Allah akan mencukupinya. Sehingga tak sedikitpun rasa khawatir dalam dirinya selama Allah memberi umur dan mau berusaha tentunya Allah akan memudahkan langkah-langkahnya.     Banyak orangtua zaman sekarang yang sudah mempersiapkan keuangannya terhadapa anak tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Ada yang dengan cara investasi atau dengan cara menabung demi suksesnya pendidikan anak-anaknya. Bahkan di beberapa anak ternyata ada juga anak sendiri yang mempersiapkan keuangan untuk masa depannya dengan cara menabungkan uang saku yang diberikan orangtuanya. Pokoknya ingatlah sebuah petuah yang sangat familiar yaitu “dimana ada kemauan, disitulah ada jalan”

8. Pelajaran Agama Itu Sulit (padahal sebenarnya mudah)

            Sangat dimaklumi sebenarnya dengan alasan seperti ini, karena perjalanan islam sehingga sampai ke kitapun sebenarnya penuh liku dan perjuangan. Apalagi untuk mencari kebenaran yang kita pelajari sehingga diperlukan pembelajaran yang sungguh-sungguh agar terhindar dari kesalahan maksud ataupun makna. Kalau di zaman Rasul, sahabat dengan mudahnya bertanya tentang permasalahan yang ditemui sehingga dapat bertanya langsung ke beliau. Sedangkan pada generasi selanjutnya, kita bisa belajar dari apa yang Rasul tinggalkan yaitu Alquran dan Alhadits.
            Kesulitan lain dalam mempelajari ilmu keislaman ini bisa juga karena dalam bayangan anak terbayang kitab-kitab berbahasa Arab sehingga dalam benaknya yang terbayang adalah kesulitan dalam mempelajari bahasa dan tulisan dalam bahasa Arab. Atau bisa juga merasa terbebani dengan hapalan-hapalan yang harus dikuasainya. Dan berbagai alasan yang mencengkrami pikiran anak.
            Sebenarnya ketakutan itu tidak perlu ada, karena belajar ilmu agama sama halnya dengan belajar imu yang lainnya yaitu dibutuhkan keuletan dan kesungguhan. Dan semua asal dijalani dengan tahapan yang benar maka semuanya terasa mudah. Para ustadz atau ustadzah sudah merancang sedemikian rupa dalam penyampaian keilmuan agama terhadap santri-santrinya. Semua ada tahapan dan jenjang yang harus dilewati oleh setiap santri. Yang jelas materi buat santri yang sudah lama mukim tak bakalan diberikan terhadap santri yang baru datang. Ingat pepatah Arab, “man jadda wajada” barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.

9. Pesantren Itu Tidak Sehat Dan Kotor

            Ironis memang pesantren yang mengajarkan ilmu agama tapi pada kenyataannya lingkungan di sekitar pondok kotor sehingga identik dengan santri kudisan. Padahal sudah jelas bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman. Sbenarnya yang salah bukan pesaantrennya, tapi biasanya karena kelalaian santri itu sendiri, terutama dalam hal merawat diri dan lingkungan. Oleh karena di atas sempat disinggung bahwa sebelum anak dimasukkan ke pesantren, pendidikan kemandirian sebetulnya harus dimulai justru disaat masih berada di rumah. Penekanan merawat diri dari hal-hal kecil harus sedari dini diperkenalkan. Misalnya jangan membiasakan menumpuk pakaian yang harus dicuci, mandi teratur setiap hari, tidak saling meminjamkan barang pribadi dengan teman seperti sabun mandi atau pakaian sekalipun. Dan masih banyak lagi yang pada intinya harus membisakan diri dalam hal merawat kesehatan pribadi dan lingkungan.
            Alhamdulillah untuk sekarang ini kesadaran seperti ini sudah banyak kita temui dibanding pondok pesantren pada era 90’an kesana. Kesan kudisan waktu itu banyak ditemukan, bahkan ada imej  yang berkembang di masyarakat bahwa kudisan merupakan syarat untuk tercapainya llmu agama.  Tentunya alasan ini tidak beralasan, dan bisa jadi ini merupakan pembelaan dari santri yang mengalami hal ini.
            Saat ini kita banyak menemui pondok pesantren yang dilengkapi dengan petugas kebersihan sehingga setidaknya para santri terbantu dalam merawat kebersihan lingkungannya. Yang pada gilirannya santri bisa lebih fokus dan terarah dalam hal menggali ilmu agama. Selain itu banyak pondok pesantren yang intensif mengingatkan para santri untuk lebih menjaga diri terhadap kesehatannya, dan dibuatlah jadwal berkala dalam hal bersih-bersih sehingga pondok pesantren lebih bersih, asri dan nyaman sehingga tidak tampak kesan pondok pesantren yang kotor atau jorok yang ada adalah pesantren yang nyaman, asri dan betah.

10. Pesantren Itu Tempat Penderitaan

            Sungguh aneh sebenarnya kalau calon santri merasa enggan untuk masuk pondok Cuma gara-gara takut kalau kehidupan di pesantren adalah tempatnya sebuah penderitan. Tentunya alasan ini sangat berkaitan dengan alasan lain yang diulas diatas. Berjauhan dengan orangtua yang membuat dirinya merasa kehilangan perhatian, atau merasa dirinya dibuang begitu saja oleh orangtuanya, atau bisa jadi karena merasa terbebani dengan peraturan yang ditetapkan pondok. Sehingga dalam diri santri terpatri sebuah rasa kekhawatiran akan sebuah penderitaan. Padahal jusrtu sebaliknya karena Allah akan memberikan kebahagiaan bagi orang yang mau menuntut ilmu Agama, karena dia akan selamat di dunia dan akhirat. Perhatikanlah cuplikan hadist berikut ini :

مَْن سَلَكَ طَرِْيقًا َيلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا ِ   
 إلىَ اْلجَنَّةِ (رواه مسلم

"barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu,Alloh akan memudahkan baginya jalan ke surga"(HR.Muslim)

Kalaupun ada anggapan bahwa pesantren tempatnya penderitaan, sikapilah dengan wajar. Toh hasil dari perjuangan dan bersusah payah di pesantren maka hasil yang didapatkan sangat luar biasa. Ingatlah pantun nasihat yang sangat familiar di negeri ini, “bersakit-sakit dahulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”

11. Pesantren Adalah Sarang Teroris

            Kengganan seperti ini sebenarnya sudah dibahas pada bab terdahulu pada bahasan alasan orangtua tidak mau memasukkan anaknya ke pesantren. Dan isu terorisme ini merupakan bagian dari kekhawatiran  para orangtua. Sehingga membuat Dinas Kementrian Agama terjun meneliti langsung untuk mengkaji ulang beberapa pesantren dalam rangka pembuktian keterlibatan pesantren baik dari kurikulum ataupun uju materi lainnya , yang ternyata tidak ditemukan adanya faham yang mengarah pada tindakan terorisme. Kalaupun itu ada ternyata bukan pengaruh pendidikan di pesantrennya tetapi lebih kepada pengaruh dari luar pesantren. Terlebih terkadang peran media yang tidak adil dalam sebuah pemberitaan sehingga membuat pihak pesantren yang bersih dari radikalisme  kena imbasnya.
            Akan tetapi untuk menjaga-jaga akan isu terorisme ini, survei orangtua sebelum memasukkan anaknya ke pesantren sangat dibutuhkan. Sehingga orangtua dan santri mendapat informasi yang betul-betul valid.

12. Guru Di Pesantren itu Pada Galak

            Galak atau tidaknya seorang guru sebenarnya relatif, galak menurut santri yang satu tak selamanya dikatakan galak oleh santri yang lainnya. Dan pengertian galak itu sendiri bisa bermacam-macam dalam definisinya. Tapi pada umumnya santri yang menilai gurunya galak biasanya dari penampilan dan seringnya ustadz memberi hukuman pada santri bila santri bersalah atau kelambanan santri dalam menerima pelajaran.
            Namun tak perlulah hal ini jadi kendala, buatlah hal ini sebagai sesuatu yang menyenangkan. Biasakanlah menilai sesuatu dari kaca mata yang membuat enjoy. Ingatlah  semua yang ada di pondok pesantren akan menjadi sesuatu yang indah bila dikenang dan akan membuahkan karakter yang kuat dalam melaksanakan tugas sebagai hamba Allah dengan menerapkan ajaran islam yang indah.
            Sangat sering kita mendengar bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi semua muslim tanpa kecuali. Hukum wajib disini berlaku untuk ilmu agama dengan berbagai cabang ilmunya. Dari mulai fiqih ibadah ataupun fiqih muamalah, ilmu aqidah dan ketauhidan serta disiplin ilmu agama islam lainnya yang kesemuanya itu merupakan kesempurnaan sebagai seorang muslim. Tanpa ilmu agama dikhawatirkan seorang muslim melakukan kesalahan dalam ibadahnya sehingga amal ibadah jadi tertolak. Ilmu agama tentu  sangat bermanfaat dalam menimbang segala sesuatu sehingga hidupnya akan berkah dan senantiasa mendapat limpahan rahmat dari Allah azza wajalla.

Dengan ilmu agama kita bisa mengetahui mana yang halal dan mana yang haram. Dengan bimbingan ilmu agama santri akan menjadi anak yang berbakti terhadap orangtua, dan dengan ilmu agama seseorang bisa memutuskan sesuatu permasalahan berdasarkan ilmu bukan berdasarkan hawa nafsu.
Pentingnya belajar dan menuntut ilmu sangat jelas diterangkan dalam firman Allah SWT dalam QS Al-Mujadalah


يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan prang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (qs. almujadalah:11)"



                                       Bandung, 21 desember 2015
                                                                                                           

                                                                                                                                                                                                                                                           www.ernawatililys.com

Senin, 07 Desember 2015

APA BENAR PESANTREN ADALAH PENJARA SUCI ?


Sebagai kepala rumah tangga saya selalu terngiang-ngiang dengan Firman Allah dari Qs attahrim :
            “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (at-Tahrim;66)
            Sungguh pesan Allah ini sangat indah, betapa Dia sayang kepada umatnya sehingga mewanti-wanti agar kita berhati-hati dan menjaga diri dan keluarga dari dahsyatnya api neraka. PerintahNya bukan hanya untuk diri sendiri tetapi menyangkut kepada seluruh anggota keluarga.
            Sebagai orangtua tentu hal ini akan mendorong untuk lebih waspada menjaga anggota keluarga dari perbuatan maksiat dan hal-hal yang menyimpang dari aturan yang Allah tetapkan. Dan caranya adalah dengan memberikan ilmu yang memadai kepada anak-anak. Sedari kecil orangtua mempersiapkan anak dengan mengenalkan hal-hal sederhana yang berkaitan dengan keagamaan. Dari memperkenalkan huruf hijaiyyah, doa-doa pendek dan praktek ibadah. Akan tetapi setelah si anak tumbuh besar mereka membutuhkan pendidikan dari luar. Dan kapasitas orangtua pula yang memang tidak semua orangtua menguasai semua ilmu untuk anak-anaknya. Dari sinialah pesantren lahir menjadi solusi agar kebutuhan anak terpenuhi.
            Sebuah kekhawatiran para orangtua saat ini adalah melihat keadaan zaman sekarang yang sejaatinya membuat miris dan merinding melihat pergaulan anak-anak. Hampir tiap hari ketika kita melihat chanel televisi, banyak remaja yang terjerumus kepada kubangan narkoba. Begitupun dari lingkungan kita terutama di daerah perkotaan kengerian orangtua makin menjadi-jadi tatkala pergaulan bebas yang mengarah pada free sex. Remaja putri yang berusia smp dengan bangganya menjadi cabe-cabean dan juga tawuran yang sepertinya telah menjadi kebiasaan. Maka sangat wajarlah para orangtua yang care terhadap anak-anaknya berkeinginan lebih untuk memproteksi dan mensterilisasi putera-puterinya dari pengaruh negatif tersebut.
Belajar dan tinggal di pondok pesantren memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Minimal memerlukan waktu tiga tahun untuk jenjang SMP dan tiga tahun untuk jenjang SMA.  Maka kalau orangtua full memasukkan anaknya ke pondok pesantren maka dibutuhkan waktu enam tahun.Bahkan saya sempat menemui juga ada orangtua yang memasukkan anaknya sejak usia Sekolah Dasar. Karena alasan masa belajar inilah menjadi pertimbangan para orangtua dan calon santri itu sebdiri.
            Berikut saya mencoba mengemukakan alasan orangtua sehingga tidak memasukkan anaknya ke pesantren :

1. Faktor Biaya
            Alasan pertama ini merupakan  yang sering saya jumpai ketika berbicara dengan para orangtua. “Bukannya enggak mau saya masukkin anak ke pesantren tapi biayanya mahal banget, apalagi pas masuk pertama, ampun dah”. Demikian kalimat yang terlontar dari salah seorang tetangga, yang sempat saya anjurkan untuk  memasukkan anaknya ke pesantren.
            Karena alasan biaya ini juga timbul argumen bahwa sekolah terpadu dengan pesantren adalah khusus buat orang berduit. Apalagi pondok pesantren yang sudah menyematkan namanya dengan istilah boarding school. Keluarga pra sejahtera hanya menjadi penonton dan mengelus dada karena merasa mahalnya biaya pendidikan.
            Biaya masuk di salah satu pondok pesantren modern yang pernah saya survei rata-rata di angka Rp. 15.000.000 untuk biaya awal.  Sementara untuk biaya bulanannya berada di kisaran satu jutaan lebih. Itu untuk biaya pendidikan, belum kebutuhan si santri itu sendiri seperti uang saku atau kebutuhan pribadi lainnya.
            Tapi sebenarnya masih banyak yang biayanya dibawah sepuluh juta atau bahkan dibawah lima juta. Tinggal kita pandai memilih-milih dan rajin survei membuat study banding dalam hal biaya. Apalagi saat ini lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren sudah transfaran dan memiliki website. Tinggal kita klik di internet semua bisa kelihatan dari segi biaya, photo bangunan pondok bahkan visi misinya bisa kita lihat dengan gampangnya.
            Kata mahal sebetulnya relatif, terkadang orang yang berkecukupanpun masih banyak yang enggan memasukkan ke pondok pesantren dengan alasan biaya mahal. Tapi sebaliknya banyak juga yang kita jumpai bahwa ada orangtua juga yang sangat care sehingga berani untuk memasukkan anaknya ke pondok pesantren padahal dari segi finansial jauh dari kecukupan.
            Apakah benar biaya pesantren  mahal ?
            Pertanyaan itu terlintas di pikiran saya dan cenderung untuk mencari tahu jawabanya. Dan ternyata mahal itu tergantung bagaimana kita memandangnya. Karena setelah dirinci pos-pos jalur keuangannya, ternyata uang tersebut ya buat biaya santri itu sendiri. Ibarat kita pindah rumah sudah barang tentu kita membutuhkan perabotan dan perlengkapan pribadi. Dan yang namanya mondok bukan sekedar mampir sebentar langsung pulang, tapi berlangsung minimal tiga tahun.
               Yang terasa membuat mahal itu karena dibayarnya di muka. Untuk mensiasatinya kita harus benar-benar membuat perencanaan keuangan jauh-jauh hari. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya pendidikan di Indonesia relatif kena inflasi di kisaran 15% sampai 25% per tahunnya. Jangankan untuk biaya sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, untuk biaya pendidikan tingkat TK saja kalau kita tidak pandai membuat perencanaan maka kita bisa kelabakan.
            Makanya jauh-jauh hari setahun atau bahkan lima tahun sebelumnya, kita harus sudah memulai menetapkan goal keuangan untuk pendidikan. Setelah menetapkan goal atau tujuan keuangan tersebut barulah kita mapping anggaran agar memudahkan untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu budgeting. Buatlah mapping sampai sedetil mungkin, makanya ketika ada niat untuk memasukkan anak ke pondok pesantren informasi sangat diperlukan. Termasuk tentang biaya pendidikannya.
            Akan tetapi terkadang kita tidak sempat meluangkan waktu untuk membuat financial plan  seperti yang dibicarakan diatas. Kalau kejadiannya seperti itu tinggal tambahin keyakinan saja, karena membiayai anak dalam hal pendidikan terlebih ilmu agama maka sudah termasuk fii sabilillah maka insyaallah semua akan menuai pahala. Bahkan banyak cerita dari orangtua yang memiliki anaknya menuntut ilmu di pesantren, mereka menemukan kemudahan-kemudahan dalam bab rizqinya.
            Teruslah pupuk diri ini dengan nasihat-nasihat positif dan motivasi diri setiap saat. Bahwa segala sesuatu asal mau minta ke Yang Maha memiliki insyaallah Allah akan membantu. Belum ada cerita orangtua yang jatuh miskin karena anaknya masuk pesantren. Yang ada malah sebaliknya usaha orangtuanya tambah barokah.

2. Masa Depan Suram
            Selain faktor biaya ada juga ketakutan orangtua yang bila memasukkan anaknya ke pondok pesantren, maka masa depan sang anak suram. Atau ada juga yang menganggap sang anak ketinggalan zaman yang bisanya Cuma agama saja dan kalah bersaing dengan sekolah umum lainnya.
            Sedih juga sih sebenarnya kalau mendapati orangtua yang mempunyai anggapan demikian. Padahal kalau dibandingkan dengan sekolah umum, dalam hal pelajaran sama saja. Karena lembaga pendidikan pesantren ini selalu mengguanakan kurikulum diknas yang notabene sama dengan sekolah umum lainnya. Hanya saja kurikulum keagamaannya ditambah dengan kajian khusus khas pesantren. Bahkan karena diasramakan inilah santri jadi bebas berkreasi dan tidak membuang waktu karena dipantau terus oleh pengurus pondok.
            Jadi yang membuat suram dan tidaknya masa depan seseorang atau anggapan kalah bersaing, bukan karena pesantrennya. Tapi  kembali ke santri dan kemauan keras untuk mengubah keadaan. Saya kasih contoh, keponakan saya yang Alhamdulillah saat ini sudah masuk di Perguruan Tinggi Negeri waktu di pesantrennya bahkan menjadi utusan kota Kuningan untuk mengikuti ajang olimpiade Biologi tingkat propinsi Jawa barat. Dan untuk menjadi utusan dari daerah itu tidaklah gampang, karena harus bersaing dengan SMA umum di Kuningan dan akhirnya bisa mendapat nilai tinggi dan layak mengikuti ajang bergengsi itu. Hal ini membuktikan bahwa anggapan miring, bahwa anak pesantren kalah bersaing, itu hanya isapan jempol semata. Insyaallah ke depannya dibahas juga tentang orang-orang sukses yang merupakan alumni dari pondok pesantren.
            Dalam surat Ar’d ayat 11, Allah menegaskan “Seseungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka” 

3. Faktor Gengsi
            Faktor ini terkadang hadir kepada orangtua. Entah darimana asalnya, entah dari obrolan bersama saat arisan, entah karena hasil tontonan di televisi. Yang jelas ada orangtua yang menilai bahwa menyekolahkan anaknya ke pesantren tak memiliki gengsi. Bisanya Cuma minta sumbangan, gaya hidupnya yang ketinggalan zaman bahkan ada yang bilang kalau pesantren khusus buat anak yang memiliki Nilai Ujian Nasional (NUN) yang rendah. Jadi malu dong memiliki anak dengan NUN tinggi tapi harus masuk pesantren.
            Fenomena ini tentunya dampak dari gaya hidup yang menyilaukan mata sehingga salah menilai terhadap pendidikan sejenis pesantren. Orangtua sejenis ini pula, dia akan merasa bangga kalau anaknya tampil seronok dan menghibur di acara musik. Dan penampilan seperti ini tak mungkin didapat di dunia pesantren. Bahkan demi gaya hidup ini pulalah, mereka rela mengeluarkan uang banyak dan menjejali si anak dengan berbagai macam les demi melampiaskan obsesi dirinya. Tak jarang anak sebenarnya tidak membutuhkannya dan bahkan merasa kelelahan dengan aktivitas diluar kemampuannya.

4. Ketakutan Akan Isu Terorisme
            Dalam satu dekade terakhir, muslim di Indonesia bahkan dunia tengah diuji karena berbagai kejadian radikal yang kemudian disematkan kepada pelaku tersebut sebagai teroris. Dan diantara mereka ada yang merupakan lulusan pesantren. walaupun hanya satu atau dua orang yang berbuat terorisme, akan tetapi hal ini telah menjadi pencorengan atas nama baik pondok pesantren yang pada ujungnya ada beberapa orangtua yang merasa takut kalau memasukkan anaknya ke pondok pesantren.
            Fenomena ini akhirnya membuat Kementrian Agama menguji ulang akan kurikulum yang diterapkan di pondok pesantren. Dan setelah melakukan riset ke pesantren-pesantren ternyata pihak kementrian agama tidak sedikitpun menemukan kurikulum yang berhunbungan dengan terorisme dan radikalisme. Kalaupun ada orang yang melakukan tindakan radikal tersebut, ternyata itu karena pengaruh luar yang tidak ada hubungannya dengan pondok pesantren.
            Dengan demikian tidaklah benar kalau pondok pesantren merupakan tempat penyemaian teroris yang bermuara pada kekerasan. Dan ini kaitannya dengan media pemberitaan yang begitu dahsyat, sehingga nampaknya sangat menakutkan kaum orangtua sehungga tidak memasukkan putera-puterinya belajar di pondok pesantren.
            Baru-baru ini dunia dikejutakan dengan aksi teror bom di kota Paris ibukota Prancis yang berdasarkan laporan mencapai 129 orang korban meninggal dunia dari aksi teror tersebut. Lagi-lagi kalangan yang paranoid terhadap islam mereka mencap sama bahwa islam adalah teroris. Hal ini pula yang membuat seorang pemuda muslim Paris berusaha mengajak warga untuk tidak berburu-buru membenci komunitas muslim. Pemuda itu berdiri di kawasan Taman Place de la Rpublique, mengikat matanya, sambil membawa papan bertuliskan,”saya seorang muslim, saya disebut teroris. Saya percaya anda, apakah anda percaya saya? Jika percaya, silahkan peluk saya.”
            The sun melaporkan, Rabu(18/11/2015), ratusan orang mendekat pemuda itu lalu memeluknya. Ada yang menyemangatinya, ada juga pengunjung taman tersebut menangis di pelukan pemuda itu. Pemuda yang tak disebut namanya itu berdiri dari pagi hingga petang.
            Tindakan pemuda tersebut sebetulnya sebuah ungkapan bahwa sebenarnya muslim sejati tidak akan melakukan kebrutalan semacam itu. Karena pembunuhan terlarang dalam Islam.


Ratusan pengunjung memeluk sang pemuda muslim di Taman Place Paris Perancis

5. Tak Mau Berjauhan Dengan Si Buah Hati
            Alasan seperti ini banyak saya temui di masyarakat. “mau sih mau, masukkin anak ke pesantren, tapi kasihan nanti dia gimana dong, apa-apa harus sendiri dong....”, ada juga yang bilang,”jangankan 3 atau 6 tahun jauh dari anak barang seminggu saja saya tak kuasa”. Kalimat lainnya yang bernada sama, yaitu enggannya orangtua berpisah lama-lama dengan sang anak memang beragam.
            Alasan orangtua seperti ini setidaknya pernah terjadi pada oragtua saya. Makanya saya masuk pesantren, setelah berumur 15 tahun selepas SMP. Pada awalnya selepas SD orangtua sempat mau memasukkan saya untuk belajar di pondok pesantren. Tapi karena perasaan tak tega atau berjauhan dengan anak akhirnya baru terlaksana ketika mau masuk SMA. Lagi pula dari segi kemandirian, terkadang anak lelaki  agak telat dibanding anak perempuan. Mungkin itu juga yang menjadi alasan lain sehingga saya telat masuk pondok.
            Sebenarnya perasaan tak mau berjauhan dengan anak, sangat wajar terjadi pada setiap orangtua. Maklum saja kebersamaan yang tercipta selama ini pastinya telah melahirkan kedekatan tiada tara antara orangtua dan anak. Akan tetapi jangan terlalu berlebihan dalam mensikapinya. Toh, si anak juga di pondok Cuma beberapa tahun. Lagipula  saat liburan semesteran, biasanya santri diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Barterkan antara waktu berpisah dengan anak ini dengan keberhasilan si anak di masa yang akan datang.
            Boarding school atau pondok pesantren tentunya berbeda dengan sekolah umum kebanyakan. Dari segi kebiasaan dan aturan tentunya berbeda dengan di rumah orangtua. Contoh kecil saja, pulang sekolah si anak bisa bermain dulu sama temannya dan sedatangnya di rumah anak akan bebas mengambil makanan di meja makan.  Begitu juga urusan mandi dan kebutuhan toileting lainnya. Kalau di rumah anak akan bebas masuk kamar mandi, sementara di pondok anak harus rela mengantri dengan temannya yang lain. Dan masih banyak lagi yang semuanya bisa membuat anak mengalami “culture shok”. Oleh karenanya orangtua yang terlalu care terhadap anak akan merasa ketakutan bila si anak harus masuk pesantren.
            Untuk mengantisipasi tentunya jauh-jauh hari anak harus dibiasakan atau sengaja diberi pengertian tentang apa dan bagaimana hidup di pesantren. Mengajak anak survey ke pesantren-pesantren bisa juga sebagai sarana memperkenalkan anak  tentang kebiasaan yang akan terjadi di pesantren. dengan cara demikian setidaknya ada gambaran bagi anak tentang pondok pesantren itu seperti apa.
            Intinya buat para orangtua, tak perlu khawatir yang teramat sangat jika harus berpisah. Karena di pondok juga mereka ada yang membimbing. Dan tiap kamar ada juga ketua kamarnya. Biarlah mereka bergaul dan menyesuaikan dengan keadaan yang akan membuat anak lebih mandiri dibanding kalau tinggal di rumah.
            Disaat ada orangtua yang tak mau berjauhan sama anak, ternyata ada juga kebalikannya. Justru saya sempat menemukan beberapa orang yang justru mereka berani melepaskan anaknya pada usia SD bahkan usia Paud. Tujuannya tentu baik karena ingin memiliki anak yang mumpuni di  bidang keilmuan. Tapi untuk masalah ini saya tidak setuju, karena anak juga mempunyai hak yang harus dia dapatkan. Anak membutuhkan belaian atau sentuhan kasih sayang dari orangtuanya. Belaian hangat yang menemani hari-hari indah pada anak justru akan menjadi kenangan terindah bagi anak. Begitupun sebaliknya orangtua juga akan memiliki kenangan bersama anaknya yang masih kecil. Perjalanan hidup seseorang itu sangat cepat perputarannya. Barangkali kita sering mendengar,” perasaan baru kemarin anak ini ditimang-timang, koq sekarang sudah gadis lagi” atau “masih ingat loh ketika kamu menggunakan seragam putih abu-abu,  sekarang koq sudah nimang anak” dan masih banyak lagi ungkapan yang membuktikan bahwa hidup di dunia ini terasa begitu cepat. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi orangtua benar-benar mencurahkan kasih sayang ketika dia belia. Berikan pengetahuan mendasar kepada anak agar tidak kaget ketika didapatinya level kehidupan berikutnya.
            Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan penempaan terhadap santri agar menjadi manusia berkarakter. Akan tetapi sebenarnya orangtualah yang akan diminta pertanggungan jawab di yaumul hisab. Jangan serta merta karena kita beralasan sibuk, atau karena kita tak mau anak terkontaminasi dengan pergaulan salah yang ada di lingkungan kita, akhirnya dengan teganya “buang anak” ke pesantren padahal masih usia lucu-lucunya. Mohon maaf kalau saya memberi istilah buang anak. Karena saya yakin, seorang anak membutuhkan sambutan hangat dan kematangan emosi melalui orangtuanya. Bukan dia dapatkan dari ustadz atau ustadzahnya. Barangkali para asatidz bisa memberikan kecupan anak sama santrinya yang masih kecil-kecil itu. Tapi apakah setiap hari mendapatkan perlakuan seperti itu. Berbeda dengan orangtua sendiri yang dapat memberi penghargaan-penghargaan kecil kepada diri anak kapan saja dan dimana saja. Walaupun penghargaan tersebut hanya berupa senyuman dan ciuman.
            Jadi usia yang pas menurut saya ketika masuk pesantren adalah ketika anak sudah berada pada tahap sempurnanya kematangan emosi anak. Yang dimaksud kematangan emosi disini adalah dimana kondisi seseorang mencapai tingkat kedewasaan dan mulai dapat mengontrol emosinya. Dan biasanya keadaan seperti ini dapat ditemui pada anak yang sudah lulus Sekolah Dasar. Terutama pada anak perempuan, sementara anak lelaki biasanya setelah mengalami akil baligh. Dan balighnya anak laki-laki biasanya di usia kelas 8 atau 9 SMP. Tapi tak mungkin kan kalau masuk pesantren ditengah-tengah tahun pelajaran.
6. Takut Tidak Betah
            Sering kejadian sudah cape-cape masuk pesantren eee..... ternyata beberapa hari saja si anak sudah nongol lagi di rumah. Bahkan ada yang sampai bela-belain jalan kaki segala. Ada juga yang cuma gara-gara sakit kepala, karena tak berani berbicara sama pembimbing akhirnya kabur. Dan masih banyak lagi cerita-cerita santri yang tidak merasa betah di pondok pesantren.
            Hal ini tentunya menjadi permasalahan baru di rumah. Bisa jadi karena pada awalnya anak merasa dipaksa supaya masuk pesantren atau bisa jadi pula karena aturan yang mengikat di pesantren sehingga anak tak merasa nyaman. Atau bisa jadi pula karena ada masalah baru yang dialami santri di asrama. Karena para santri biasanya datang dari berbagai daerah dengan latar belakang dan budaya yang beraneka ragam. Sehingga di awal-awal terjadi gesekan-gesekan.
            Sebagai orang yang pernah hidup di pondok pesantren, tentunya saya mengalami faktor ketidakbetahan ini. Biasanya berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan kecil dari rumah. Apalagi bagi anak yang dimanja oleh orangtuanya di rumah, sehingga tingkat kemandiriannya sangat rendah.  Belum lagi kalau di asrama banyak tulisan-tulisan dari kakak angkatan yang menempel di dinding-dinding dengan nada pencurahan hati yang bermakna tidak betah. Tulisan tersebut biasanya lahir dari hati yang jujur sebagai ungkapan rasa bosan atau tidak betah. Hal ini juga menjadi pemicu santri baru sehingga tidak kerasan tinggal di pondok pesantren.
            Untuk mengantisipasi ketidakbetahan ini, sebelumnya harus sudah dipikirkan jauh-jauh hari oleh orangtua yang akan memasukkan anaknya ke pondok pesantren. memaksa anak juga bukan sebuah solusi kalau malah akan menjadi bumerang di kemudian hari bagi anak maupun bagi orangtua itu sendiri. Berbicara dari hati ke hati sangat dibutuhkan sebagai langkah antisipasi. Memperkenalkan aturan yang ada dan interview langsung ke santri yang sudah ada duluan bisa juga dilakukan, tetapi dengan santri yang betah tentunya.  Bagi orangtua yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren tentunya hal ini sangat mudah dilakukan. Tinggal di sesuaikan saja dengan keadaan sekarang.
            Kalau dibandingkan dengan keadaan dulu sangat berbeda dengan pondok pesantren zaman sekarang. Waktu saya dulu, pesantrennya cukup murah dan sesuai dengan fasilitas yang ada. Sebelum berangkat sekolah jangan harap ada bibi loundry yang siap mencucikan pakaian kita. Bahkan untuk makanpun kita harus memasak sendiri dengan bahan bakar kayu seadanya. Warung nasi di sekitar pondok juga ada, tapi mama kiyayi yang merupakan orang sentral di pondok selalu berpesan,”biar lebih berkah dalam menuntut ilmu, ada baiknya masak sendiri jangan dibiasakan membeli di warung”. Terlepas dari ucapan beliau saya memaknai karena di pondok temapatnya qonaah, tempatnya menempa diri agar hidup dalam kesederhanaan.
            Lain dulu lain juga sekarang, pondok pesantren sekarang banyak yang difasilitasi dengan kantin dan tukang cuci sendiri. Sehingga kesempatan belajar lebih banyak dan lebih fokus dalam melaksanakan tugas sebagai santri. Tidak terinterupsi oleh hal-hal pribadi seperti memasak atau mencuci baju. Tetapi dengan keadaan yang cukup nyaman seperti itu tetap saja ada santri yang merasa tidak betah. Ini dikarenakan banyak faktor yang sangat kompleks yang mendorong santri sehingga memutuskan untuk pulang ke rumah.
            Selain komunikasi kepada santri di jauh-jauh hari sebelum masuk pesantren, bisa juga santri yang sudah terlanjur masuk bisa diarahkan dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Di sela-sela belajar antara pesantren dengan sekolah santri bisa dilibatkan dengan kegiatan yang bisa mengurangi kejenuhan. Diantaranya untuk santri ikhwan disediakan sarana olahraga seperti putsal, dan untuk yang akhwat bisa disesuaikan dengan minat keakhwatan. Atau bisa juga dengan memperbanyak tilawah, dengan tilawah biasanya akan terpancar rasa tenang, rileks, dan mengisi waktu juga. Dan yang terpenting rajin-rajinlah para orangtua dan santri memohon kepada Allah agar diberikan rasa betah dan semangat mencari ilmu di pondok pesantren.
            Kalau pengalaman saya dulu, karena tinggal di pondok pesantren yang berada di daerah yang masih asri kala itu, dalam mengisi waktu agar tak jenuh suka melakukan rekreasi kecil bersama teman walaupun Cuma berjalan kaki di pematang sawah atau mandi di sungai yang tak jauh dari lingkungan pondok. Terkadang pula kalau pas hari minggu ada salah seorang asatidz yang mengizinkan menonton televisi di rumahnya. Pokoknya semua dibikin happy deh agar tidak ingat dengan kata tidak betah.
            Semua tergantung kepada orangtuanya, kalau memang anak tidak betah dan sudah berbagai cara tidak bisa meluluhkan hati si anak, sebagai orangtua kita tak perlu memaksa terhadap anak. Kalaupun dipaksa, maka anak nantinya merasa terbebani sehingga alih-alih ingin anak berakhlak mulia malah bisa jadi sebaliknya dan anak jadi pembangkang. Mintalah selalu sama Allah agar anak diberikan kemudahan dalam hal mencari ilmu demi bekal hidup di dunia dan akhirat.
            Mencerna perasaan anak adalah tugas orangtua secara bijak, selami perasaan anak dan apa maunya anak. Jangan merasa malu pada oranglain ketika anak harus berhenti di tengah jalan. Jangan merasa khawatir atau jengkel karena telah membuang waktu dan biaya tapi ternyata anak tidak merasa kerasan tinggal di pondok. Karena ketika kita mengeluarkan biaya tersebet sebenarnya telah Allah catat sebagai satu kebaikan. Dan yang namanya kebaikan pastinya Allah akan menggantinya. Tapi tidak serta merta menerima alasan yang dilontarkan oleh anak, makanya menyelami perasaan anak itu yang sangat prioritas.
            Oia, ada satu pengalaman kecil ketika saya pernah merasakan tidak betah di pondok. Waktu awal-awal masuk suasana asing dan ketidaknyamanan menerpa dan saya bikin perjanjian ke orangtua, agar seminggu sekali menjenguk ke pondok. Perjanjian itu saya langgar sendiri, bukan orangtua yang menjenguk tapi malah saya yang pulang ke rumah seminggu sekali. Sudah barang tentu kalau di rumah semua serba enak, tidak terikat dengan aturan yang selama ini di terapkan. Ternyata dengan sering pulang seperti ini bukannya menjadi betah, malah membuat tidak betah. Namun alhamdulillah hal ini tak berlangsung lama, dan sepertinya orangtua saya pintar dan bisa menyelami perasaaan saya. Sehingga akhirnya merasa enjoy lagi di pondok. Itulah sebabnya mengerti perasaan anak sangat penting dan menjadi prioritas dalam keberlangsungan pendidikan anak.
            Sebelum saya akhiri artikel ini yang insyaallah masih berlanjut, saya akan menyampaikan pesan KH Hasan Abdullah Sahal  pimpinan pondok moderen Gontor untuk orangtua santri ;
            “Kalau mau mempunyai anak yang bermental kuat, orangtuanya harus lebih kuat, mempunyai anak itu jangan hanya sekedar sholeh tapi bermanfaat juga buat umat, orangtua harus berjuang lebih.... ikhlas....iklhlas...ikhlas.
            Anak-anakmu di pondok pesantren tidak akan mati karena kelaparan, tidak akan bodoh karena tidak ikut les ini dan itu. Tidak akan terbelakang karena tidak memegang gadget.
            Insyaallah anakmu akan dijaga langsung oleh Allah karena sesuai janji Allah yang akan menjaga Alquran.... yakin....yakin... dan harus yakin.
            Lebih baik kamu menangis karena berpisah sementara dengan anakmu, karena menuntut ilmu agama daripada kamu nanti “yen wes tuwo nangis karena anak-anakmu lalai urusan akhirat. Kakean mikir ndunyo, rebutan bondo,pamer rupo, lali surgo.”

Wallohu alam bishowab, insyaallah  artikel ini masih berlangsung.