Penayangan bulan lalu

Rabu, 15 Maret 2017

YASPIDA MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN


             
salah satu asrama pondok Yaspida yang asri, bersih dan nyaman



Mendengar kata Pesantren, orang biasanya membayangkan sebuah lembaga pendidikan yang super ketat aturan,  tempat  membentuk seseorang berkarakter  islami yang  berakhlakul karimah serta  pemahaman agama yang lebih dalam. Keberadaan pesantren sudah tak diragukan lagi sebagai bagian dari elemen pembentuk masyarakat agar terhindar dari hal negatif  yang akan merusak tatanan kehidupan.


Dalam zaman yang serba modern ini, segala hal bisa didapatkan dengan mudah. Orang sering bilang inilah yang disebut era digital, era globalisasi atau apapun namanya ternyata telah menyumbangkan efek positif dalam berbagai segi kehidupan. Namun dibalik semua itu ketahanan keluarga sangat dibutuhkan dan terus bahu membahu untuk membentengi anggota keluarganya dari efek negatif modernisasi.


Atas dasar itulah maka dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, mandiri, kreatif dan tangguh dalam mengisi kehidupan kedepannya. Dan peran pesantren sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan ini.


Kenapa Pesantren?
Karena disana tempatnya orang menimba ilmu bukan hanya sein atau  iptek saja tapi wawasan keagamaan yang merupakan tonggak utama dalam kehidupan diajarkan. Sehingga ada keseimbangan yang cantik dalam mewujudkan seseorang menjadi pribadi unggul dan berakhlaqul karimah. Dan kwalitas diri seperti inilah yang diperlukan sebagai penerus tonggak sejarah dan menjaga harga diri bangsa di mata dunia.


Itulah sebabnya, maka di medio Januari 2017 saya mendaftarkan  Azkiya yang usianya belum genap 13 tahun ini untuk dimasukkan ke pesantren Yaspida Sukabumi. Tadinya sempat tak percaya diri karena khawatir Azkiya tak dapat mengikuti pelajaran di pondok karena masuk tidak dari awal tahun pelajaran. Dan tawar menawar pun sempat muncul antara anak dan orangtua. Maklum saja karena dengan hidup di pondok pesantren sudah barang tentu dia akan kehilangan haknya yang biasa didapatkan di rumah. Beruntung saya yang pernah mondok di Pondok Pesantren Daarul Mutaallimin di bilangan Sukaraja Sukabumi, sehingga bisa menceritakan kalau pesantren bukanlah sesuatu yang menyeramkan. Bahkan banyak nilai plus yang didapat, diantaranya bisa berkenalan dengan lebih banyak orang dari seantero pelosok Nusantara. Dan alhamdulilah di era sosialita sekarang, saya masih bisa merasakan sensasi silaturrahim di group medsos bersama teman-teman nyantren di pondok dulu.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pesantren memiliki arti asrama atau tempat santri belajar mengaji atau menuntut ilmu agama islam. Ada juga yang mengartikan bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat "tradisional" untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian.
                                                                                                                                 
Pondok pesantren secara definitif tak dapat diberikan batasan yang tegas melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yg memberikan pengertian pondok pesantren secara komprehensif.
Bahkan dalam perjalanannya pondok pesantren yang pada awalnya dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, kini mulai berubah karena sentuhan kekinian ada didalamnya.

           Alhamdulillah pada awal maret tepatnya tanggal 4 Maret 2017, ada silaturahmi akbar antara orangtua santri dan pihak pondok pesantren. Antusiasme untuk mendatangi acara tersebut, sangat saya nantikan dengan harapan ada kontak timbal balik antara orangtua santri dan pesantren, disamping bisa memberikan motivasi langsung pada sang anak. Karena dengan kehadiran kita di tengah mereka, merupakan  Oase kebahagiaan yang ditunggu anak-anak kita. Sedih rasanya ketika melihat teman Azkiya yang orangtuanya tak dapat hadir di acara tersebut. Sejumput rona kecewa tergurat dari wajah mereka.


           Hilir mudik orangtua wali santri begitu bejibun di area registrasi depan gedung GOR Yaspida yang cukup luas dan hawa asri karena banyaknya pepohonan di sekitar pondokan. Dan setelah register saya yang saat itu membawa adiknya Azkiya yakni, Muhammad Hibatillah Ahsan, langsung menuju kursi paling depan. Sudah menjadi kebiasaan kalau masih ada tempat terdepan, kenapa harus memilih duduk di belakang? Sebuah Action pembelajaran dan memberi contoh sama anak agar harus mengisi shaf paling depan dulu. Sehingga setiap sesi bisa lebih akurat kalau duduk di depan. Dan lebih dekat mengenali para Asatidz dan Asatidzah yang berwajah teduh itu.

            
           Acara dimulai dengan rangkaian tilawah, marawis, mars Yaspida dan sambutan kepanitiaan. Pemutaran slide seputar Ponpes Daarusyifa Yaspida sempat pula dipertontonkan. Hal ini menambah wawasan hadirin terutama saya yang masih merasa baru dengan pondok ini. Dari rangkaian acara yang tersaji, tibalah saatnya tausiyah dari sesepuh  pondok pesantren  Drs. K.H. E. Supriatna Mubarok, M.Sc,MM . (oalaaah.. banyak bingit pak kiyayi gelarnya..... sudah pasti beliau adalah pembelajar sejati). Ada yang menggelitik sebetulnya, jujur saja saya sebenarnya akan mengajukan sebuah pertanyaan kalau ada sesi tanya jawab seputar permasalahan yang diterima orangtua wali santri. Tapi ternyata segala pertanyaan yang hadir sepertinya habis terjawab oleh sang kiayi dengan gaya familiar dan banyolan  khas Sundanya sehingga sampai akhirpun tak ada lagi yang perlu dipertanyakan. Sepertinya para asatidz sudah memahami akar permasalahan yang terjadi di pondok, maklum Yaspida sudah mengabdi di kancah pendidikan ini  hampir dua dekade. Sehingga sesepuh pondok sudah tahu seluk beluk yang terjadi pada ribuan santrinya.


             
          Ada 4 pilar kedisiplinan yang diterapkan di pondok pesantren Yaspida ini:
1. Disiplin Tampilan
2. Disiplin Pembelajaran
3.Disiplin Peribadahan
4. Disiplin Pergaulan

          Dengan empat pilar tersebut, maka Yaspida sejatinya telah mampu membuat anak berkarakter, disipilin, berprestasi, bertaqwa  dan ujungnya membuat anak taat pada Allah dan Rasulnya.
Apalagi Yaspida memiliki 6 pilar kecerdasan, : kecerdasan mental,  kecerdasan moral,  kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial

          
berphoto bareng dengan sesepuh pondok
(Drs.KH. E. Supriatna Mubarok, M.SC,MM.)
           Dengan pilar-pilar tersebut, maka pak kiyai sempat menceritakan bagaimana kehidupan para santri yang beliau beserta jajarannya membina mereka. Dari bangun hingga tidur dan sampai bangun lagi, beliau haturkan  ke hadapan para wali santri.  Bangun pagi menjelang shubuh santri diharuskan shalat tahajud, tilawah dan amalan sunnah lainnya. Ba’da shubuh mereka mengaji menjelang pagi hingga datang waktu sarapan yang dismbung persiapan untuk sekolah hingga siang hari. Begitulah aktivitas mereka setiap saat digembeleng dengan sarat kebaikan. Saya yang mendengarkan, sekelebat tergambar didepan mata bagaimana pengalaman saya waktu mondok dulu. Untaian cerita yang penuh makna serasa baru saja dialami, dan  tak terasa dari sudut mata ini menetes air mata yang penuh kenangan, kebahagiaan, perjuangan yang tak akan mudah dilupakan.

            Walau dengan gaya yang asyik dan mengundang tawa para wali santri yang hadir, tapi tetap saja ada sesi dimana sesepuh  membuat baper yang mendengar. Bagaimana tidak, dengan tulus beliau menceritakan harapan yang ada dalam benaknya, “piraku, perjuangan santri nu matak payah ti saprak hudang nepi ka hudang samodel kitu teu berhasil” (masa, perjuangan santri yang penuh lelah dari semenjak bangun hingga bangun lagi seperti itu tak akan berhasil). Suara parau yang berdesakan dengan suara haru kesedihan tak dapat disembunyikan, dan pak kiyaipun menangis. Sebuah tangisan penuh harap, penuh cita-cita dan gairah yang penuh Etos mendidik para santrinya.

             Menjelang dzuhur acarapun usai, beruntung karena duduk paling depan maka berkesempatan bersalaman dengan sesepuh pondok dan para asatidz. Usai acara, para orangtua santri tentunya mencari anaknya untuk sekedar melepas rindu. Tapi adajuga yang ngantri di kantor kobong (asrama) untuk meminta izin pulang buat anaknya. Wah...wah...wah.... padahal baru berlalu kalau sesepuh menganjurkan pada orangtua agar jangan sering membawa anak pulang. Karena dengan sering pulang si anak setidaknya dia bisa merekam, melihat, menikmati apa-apa yang selama ini tidak didapat di pesantren. Sehingga tak heran kalau ada santri yang akhirnya ga kerasan tinggal di pondok. Beruntung Azkiya dapat kubujuk, sehingga keinginan dia untuk ikut pulang bisa diatasi. (maafkan bapak ya nak.... kalau belum waktunya,buat apa harus pulang......)

          KHATIMAH


           Harapan penulis, semoga pesantren yang bertebaran di negeri ini, lebih diperhatikan oleh pemerintah. Karena pesantren merupakan tempat cikal bakal atau generasi penerus bangsa ini agar lebih bermartabat. SEE YOU.... YASPIDA.....