Penayangan bulan lalu

Kamis, 29 Juni 2017

Nelangsa Memandang Kota Tercinta

Photo koleksi kang Rangga
APA KABAR  SUKABUMI ?
.
Kota cantik nan mungil yang berada dibawah kaki gunung Gede ini, tak mungkin bisa kulupakan begitu saja. Sebagian besar usia, dihabiskan di kota ini. Disini saya lahir dan dibesarkan, hanya  setelah menikahlah akhirnya saya meninggalkan kota tercinta ini. Tapi walaupun kemana pergi, Sukabumi akan tetap dirindukan dan tetap menjadi pilihan, apalagi di masa-masa mudik seperti ini. Barangkali bagaikan sebuah pribahasa, “Setinggi-tinggi burung bangau terbang, maka akan pulang ke kubangan juga”.  Sejauh saya merantau, toh Sukabumi akan menjadi tempat mudik utama.

.
Di kota yang penuh kenangan ini, masih banyak anggota keluarga disini. Terutama umi dan bapak yang masih ada,  walaupun usianya sudah terbilang senja. Apalagi bapak yang lahir ketika zaman “GELEDUG JEPANG” yang dia sendiri tak tahu dengan tanggal dan bulan kelahirannya. Saya sendiri tahu dari almarhum emak (sebutan kami pada nenek), kata emak,  bapak lahir di kampung Mangkalaya kecamatan Cisaat pada saat geledug  Jepang. Oh berarti tahun 1942, itu saya tebak saja setelah dicocokkan dengan pelajaran sejarah, Yang berarti sekitar 75 tahun di tahun ini usia bapak.

.
  Selain masih banyak anggota keluarga disini, puteri saya yang sulungpun menimba ilmu di pondok pesantren Yaspida Islamic Boarding School Sukabumi. Hal inilah yang membuat saya menjadi  sering bolak-balik Bandung-Sukabumi.

.
 Pada tanggal 22 Juni 2017, saya menjemput Azkiya dari pondokan, karena tanggal tersebut merupakan hari pembagian raport, dan penjemputan menjelang  libur  lebaran yang sekaligus, libur akhir tahun ajaran.
.
 Sebelum pulang inilah saya sempet chating di group wa Alumni sekolah, perihal hasrat saya untuk membelikan kerudung buat si sulung ini. Kalau bajunya sudah dibelikan ibunya beberapa hari lalu, tinggal kerudungnya yang belum sempat dibelikan. Hehehe
.
“man-teman, adakah di group ini yang jualan kerudung?” Saya mengawali pembicaraan di group itu. Sejenak ga ada yang respon, terus saya melanjutkan lagi, “saya mau beli kerudung buat puteri saya, kalau keliling di Sukabumi, jadi males lihat kota Sukabumi yang ACAKADUT”.
.

Sontak salah seorang teman alumni yang perempuan angkat bicara,”loh... koq mengecam kota sendiri? Jangan mentang-mentang sudah ga di Sukabumi main cap aja Sukabumi Acakadut”. Sayapun bergeming, sesaat ada perasaan bersalah ketika mengucapkan istilah yang disematkan untuk kota tercinta ini. Belum lagi saya memberikan pembelaan, salah seorang teman laki-laki menimpali, “Ah Tis,kau ini gimana sih? Apakah Bandung serapih Sukabumi, belum tentu kan?” gubrak.... sayapun merasa bertambah salah saja dengan ungkapan yang terlanjur itu.
.
“Oke, begini teman-teman, saya sebenarnya tak ada niat mengecam kota yang saya banggakan selama ini. Justru, hal ini saya ungkapkan karna rasa sayang  kepada kota ini. Dulu sewaktu zaman sekolah, Sukabumi tuh asri, betah dan ngangenin. Pasar Pelita yang merupakan pusat belanja tempo dulu, kini telah lenyap. Pedagang kaki lima yang membuat semrawut dan membuat mata sangat “SAREUKSEUK” tidak ada lagi kenyamanan”
.
Saya tak mengerti perhatian pemkot setempat seperti apa. Walaupun saya bukan pemilih, tapi sewaktu pilkada tempo hari, saya merasa bersyukur karena sang jagoan  dapat memenangkan kontestasi ini. Bahkan ikut mempengaruhi anggota keluarga untuk noblos pasangan yang sekarang menjadi F1 dan F2. Besar harapan agar Sukabumi lebih maju dalam segala hal, bukan kesemrawutan yang didambakan. Walaupun saya merasa yakin, kalau para inohong dan para dewan yang terhormat, pastinya lebih paham akan akar permasalahannya. Cuma izinkan saya menuangkan apa yang saya lihat,bukan apa yang sedang Anda kerjakan. Semenjak turun di terminal, saya merasa bingung harus naik angkot apa untuk menuju rumah orangtua di bilangan kampung Cigadog kelurahan Dayeuhluhur kecamatan Warudoyong. Padahal jarak terminal ke rumah ortu sangatlah dekat, Tapi akses ke tempat itu, harus dua kali naik angkot. Naik Balandongan Kota lalu nyambung kota – Koleberes. Memang ada ojek online,  tapi keamanan driver  merasa terancam katanya. Karena keberadaannya ternyata terhalang oleh keberadaan ojek pangkalan, yang merasa direbut rezekinya. Begitu yang saya rekam dari obrolan dengan  beberapa driver ojek online.
.
Sore itu, kamis 22 Juni 2017. Karena saya sudah berjanji untuk membelikan jilbab buat puteri saya, akhirnya kamipun melakukan pencarian dimulai dari arah utara tepatnya Yogya departemen store, ke arah menuju pulang ke jalan pelabuhan dua. Agenda  seperti ini harusnya menyenangkan, karena namanya juga belanja pastinya senang dong terutama bagi puteri saya. Namun Allah berkehendak lain, hujan mengguyur kota ini, sehingga gerak langkah kami tersendat karena hujan. Bingung cari tempat aman untuk menelusuri deretan toko sepanjang jalan Zaenal Jakse , karena tak ada tempat untuk berjalan. Semua sudah dirampas oleh pedagang kaki lima. Untuk berteduh sejenak saja ternyata takada tempat. Apalagi nuansa munggahan yang membuat suasana kota tambah penuh dengan orang-orang yang mau berbelanja. Alhamdulillah, akhirnya tak jauh dari bekas Matahari mall saya menemukan toko yang ramai dan agak nyaman kalau hanya sebentar saja untuk berteduh menunggu hujan reda. Tidak berniat belanja di toko ini, karena setelah saya bertanya tak menyediakan jilbab. Cuma sedikit ada rasa sakit hati, karena para pelayannya sudah menghalanginya dengan beberapa boneka peraga, sebagai pertanda kalau tokonya tak rela kalau hanya digunakan untuk berteduh saja. Insyaallah saya harus memahaminya, hanya kalau ditelisik lebih dalam, tak pernah saya temukan di masa lalu. (lagi-lagi saya membandingkan dengan masa lalu jadul amat kau Tiesna). Habis, masa lalu yang dimaksud belum lama juga loh, setidaknya 10 atau 15 tahun lalu lah, ketika dijalan mayawati masih ada telephone umum koin untuk request lagu kesukaan ke radio NBS FM hihihi....
.
Masih seputar jalan ini, tak peduli dengan berdesakkan orang-orang yang  berjibun, yang jelas kaki ini harus tetap melangkah, karena barang yang ditemukan belum didapat dan jarak ke waktu berbuka juga semakin dekat. Tapi lagi-lagi kita harus pandai melangkah, karena drainase yang tak tertata apik, atau karena ulah orang-orang yang tak bertanggung jawab sehingga membuat mampet saluran got di sepanjang jalan ini. Sehingga pejalan kaki harus ikhlas menginjakkan kakinya bercampur dengan cilencang. Jiji..... itu PASTI.
.
Selepas jalan ini,menuju jalan pelabuahn dua. Masih adakah jalan Stasiun ?  Tidak ada brader. Semua telah berubah menjadi los-los kecil para pedagang. Lagi-lagi memori berlari ke masa lalu. Angkot 08 Cisaatan masih bisa lewat kesini, macet memang iya, tapi masih standar dan tak ada jalan yang sewaktu-waktu  bisa berubah bak “SUSUKAN SAAT”. Wah luar biasa keadaan Sukabumi ini. Saya hanya berharap,  agar kota tercinta ini selalu tambah ngangenin. Magnetnya yang  dahsyat, akan selalu terpatri di hati.
.
Terimaksih buat  kang Rangga Suria Danu Ningrat yang sudah mengizinkan photo ini untuk dimuat di status saya.

#CintaKotaSukabumi
#SukabumiYangSelaluDiHati
#SukabumiKotaTercinta
#SukabumiKotaIndah