Penayangan bulan lalu

Senin, 06 Agustus 2018

Jadikan Membaca Sesuatu Yang Mengasyikkan

Dimanapun berada luangkan waktu sejenak
untuk membaca.Membaca apa saja yang ada di dekatmu. Membiasakan membawa buku kapan dan dimana pun, tak akan menjadi beban. Malahan dari aktivitas ini beribu manfaat dapat kita raih.Ketika nunggu jadwal kereta berangkat, menunggu teman datang kala janjian, maka aktivitas membaca ini bias mengobati rasa jenuh dalam penantian.



Bagi yang sudah dawam membaca Alquran, alangkah baiknya dilanjutkan dengan terjemahannya. Ada FEEL yang lain, ketika rangkaian ayat-ayat cinta sang Khaliq dicerna melalui tafsirnya. Membaca al-quran merupakan ibadah, huruf demi huruf akan diganjar Allah dengan pahala yang berlimpah. Tak terbayang kalau dilanjutkan dengan memahami isi kandungannya, tentu ganjaran yang didapat lebih berlimpah.Tak jarang para penulis mendapatkan ide segar setelah membaca kalimat demi kalimat dari terjemahan kitab suci ini.





Yang belum terbiasa, bisa jadi kegiatan membaca merupakan sesuatu yang membosankan. Tentu berbeda, kala berselancar di dunia medsos yang padahal cukup membuat kehilangan waktu. Tipuan jejaring sosial begitu menggoda, alih-alih hanya googling untuk mencari refernsi, akhirnya sedikit terbujuk rayu oleh sosialita. Scrolling sana-sini, coment yang ga jelas, sehingga waktu yang harus dimanfaatkan terbuang percuma.





Membaca bila dilakukan kontinyu, maka akan terasa mengasyikkan. Tipe orang dalam melakukan kegiatan ini sungguh berbeda-beda. Ada yang langsung mencari bab yang lebih menarik bagi dirinya, ada juga yang runut tiap bab harus dibaca.Saya termasuk orang kalau membaca tuh, harus full satu buku. Termasuk kata pengantar, apresiasi para tokoh, sekapur sirih dari penulis, prolog berikut epilognya. Pokoknya semua harus terbaca. Ga puas aja sih, ibarat main puzel terasa ga lengkap kalau dilewat begitu saja.







Kaya hari libur kemarin yang cukup panjang karena jum’at tanggal merah,maka cukup senggang waktu untuk berlibur menjadi tiga hari. Enaknya sih jalan-jalan bareng keluarga, namun kondisi yang mendukung karena tanggal tua jadi ngabisin waktu liburnya di rumah aja hehhe. Nah, karena banyak waktu ini, saya pilah buku yang belum usai dibaca. Pilihanpun jatuh ke buku best seller yang ditulis Oki Setiana Dewi "Sebentang Kearifan Dari Barat".

Luar biasa, begitu masuk halaman apresiasi banyak banget yang ngasih testimoni. 15 orang besar di negeri ini terpampang di buku tersebut. Sejenak otak berceloteh kalau buku saya harus lebih dari ini. Aamiin







Dalam buku SKDB ini, ada testimoni Prof Din Syamsudin, Asma Nadia, Dewi Sandra, Yusuf Mansyur, Anies Baswedan, Ustadz Abdul Somad, Felix Siauw, Bakat Setiaji Odoj dan masih banyak lagi. Mereka memberi kesaksian kalau buku tersebut recomended. Pasti bikin penasaran kan, kalau baca buku kaya gini.



Alhamdulillah target membaca buku setebal 272 halaman ini, bias selesai juga. Cukup lama sih buku setebal itu harus selesai dalam jangka waktu tiga hari. Maklum dah, membacanaya sampil ditemani kurcaci-kurcaci rumah yang bikin heboh. Bapaknya baca tengkurap, mereka sudah main kuda-kudaan di atas punggung. Ganti posisi lonjoran, paha dan perut jadi sasaran tinju-tinjuan. Maklum kalau hari biasa, sangat sedikit waktu bareng sama mereka.



Membaca agar cepat kelar itu, sebenarnya mudah loh asal tahu triknya. Jujur saja sampai hari ini saya penasaran banget soal teknik baca cepat. Iklan di FB yang wara-wiri tentang membaca cepat ini, sangat berharap diadakan di kota tempat tinggal saya yakni Cirebon. Mudah-mudahan mas Agus Setiawan pakar membaca cepat ini dapat membaca tulisan saya ini.





Untuk saat ini, saya mau berbagi Tips bagaimana agar membaca buku cepat kelar.

Pertama sekali camkan dalam hati, bahwa kita akan membaca hingga tuntas.

Membaca itu sesuatu Yang Mengasyikkan

Bikin target aja tergantung kemampuan. Apakah mau sehari, seminggu atau sebulan jika memang bukunya tebal kaya "Sirah Nabawi". Begitu pegang buku, totalitas aja bahwa kita lagi baca buku. Totalitas yang dimaksud, maksudnya mata, hati, perasaan, suasana, tangan dan segenap indra benar-benar mau baca.

Walaupun cuma 10 atau 15 menit, ketika nunggu abang Grab Food misalnya, kalau kita total niat baca bisa tuntas loh satu bab.

Untuk tips lainnya, nanti deh saya bikin tulisan khusus. Soal kegemaran membaca, saya teringat pengusaha asal Bandung Abu Syauqi. Beliau setiap harinya sengaja menyengajakan diri khusus membaca buku. Jadwalnya dari jam 5 sampai jam 6 pagi. Buku apa aja beliau baca, sehingga menjadi rutinitas. Begitupun Dewa Eka Prayoga, beberapa hari lalu di status fb-nya sampai menghabiskan dua buah buku dalam perjalanan kereta Bandung - Cirebon.





Rata-rata orang Indonesia indeks gemar baca bukunya masih terendah di banding Negara Asean lainnya. Tingkat Literasi masyarakat kita, menurut Study Central Connecticut State University yang berbasis di Amerika Serikat, kesukaan baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara (www.thejakartapost.com 26 Agustus 2016).







Agar generasi penerus kita gemar membaca, langkah pertama yang kita ambil adalah kita dulu sebagai orang tua membiasakan diri membaca. Agar nambah wawasan, nambah pengetahuan dan menjadi orang tua yang pinter, jadi ga bingung bila anak bertanya. Membaca juga bisa mengubah masa depan dan menambah kecerdasan akal pikiran.



#IndonesiaMenulis



Minggu, 13 Mei 2018

AYAH ZAMAN NOW HARUS PENGERTIAN



Seorang gadis kecil sambil mengguling-gulingkan tubuhnya di lantai, meraung-raung ingin dibelikan mainan yang disukainya. Lalu karena iba, maka ibunya menuruti keinginan si buah hati. Ada juga seorang  ABG yang merengek mau dibelikan smartphone tercanggih, lalu sang ayah ngebela-belain membelikan gadget idamannya tersebut. Apakah itu yang dinamakan "pengertian"?

Semua orang akan berbeda pandangan dalam mengartikan kata “pengertian” ini. Tentu latar belakang, pendidikan, lingkungan atau gaya hidup yang dianut selama ini ikut andil mempengaruhi pola pikir seorang ayah. Itulah diawal tulisan ini beberapa pekan lalu, saya menekankan kalau ayah tak boleh berhenti upgrade kapasitas pengetahuan dengan terus menuntut ilmu.

Para Ayah sedang berkumpul dalam rangka Upgrade keilmuan

Kita pernah menjadi anak-anak, lalu remaja dan kemudian menikah. Semua membutuhkan proses, dan sepanjang rentang waktu yang cukup panjang itu lah, pastinya banyak kisah dan liku-liku kehidupan. Berbekal pengalaman tersebut, setidaknya kita dapat merasakan akan apa yang menjadi perasaan, keinginan, harapan, cita-cita, dan kebutuhan anak-anak. Mereka butuh dimengerti, bukan untuk diacuhkan sekemauannya.

Sewaktu muda, apakah semua keinginan yang kita utarakan ke ayah bunda harus dituruti? Bolehlah kalau zaman sudah berubah, sehingga banyak yang kita terima dari orang tua lalu diestapetkan ke putera-puteri kita pada ujungnya tak mau terima. Akan tetapi nilai-nilai luhur yang diajarkan orang tua dulu tentang kesederhanaan, perjuangan, pengorbanan, kesabaran dan seterusnya, harus kita tanamkan kembali ke buah hati kita. Mungkin caranya yang harus diubah menyesuaikan dengan kekinian.

Ketika di hadapan kita melihat sang anak melakukan kesalahan, tak perlu langsung menghardik untuk menghukuminya.  Tak serta merta ayah menginterogasi bagai polisi penyidik ke seorang tersangka. Belajarlah mengkralifikasi atau tabayyun akan sebuah kesalahan yang terjadi tersebut. Ingatlah mereka juga manusia yang tak luput dari sebuah kesalahan. Bisa jadi kesalahan yang dilakukan adalah akibat dari kesalahan kita sewaktu muda, atau justru kita yang salah mendidik mereka. Seseorang tak langsung menjadi ayah, tapi banyak proses yang dilalui yang salah satunya bahwa kita pernah muda. 
  
Ø  Ayah Pernah Mengalami Masa Muda

“Masa muda adalah masa yang paling indah”, demikian ungkapan yang sering kita dengar. Ada kesan dari pribahasa itu, bahwa waktu muda adalah saatnya mereguk kesenangan, kebebasan, dan serba enak lainnya. Fakta seperti ini tak dapat dipungkiri, karena masa lalu yang kemudian dikenang pastinya akan hadir menjelma menjadi sesuatu yang sangat indah. Saya merasakan sendiri, ketika hadir di acara reuni ke-30 tahun SMP. Seolah kembali ke masa-masa bercelana biru dongker, pertemuan hari itu dipenuhi tawa dan gembira. Padahal betulkah demikian? Apakah kala kami sewaktu belia itu tak memiliki rasa sedih, membutuhkan sesuatu yang tak kesampaian atau konflik dengan teman-teman? Pada kenyataannya suka dan duka, tangis dan bahagia, untung dan rugi selalu hadir sebanding dengan perjalanan waktu.

Orang tua yang pada prosesnya pernah mengalami muda, tentunya akan paham akan keadaan yang dibutuhkan anaknya. Bukan kebutuhan dalam materi belaka, tapi mereka juga butuh banyak pengetahuan, kasih sayang yang tulus, perlakuan sebagai orang dewasa, eksistensi dalam keluarga, spiritualitas beragama dan masih banyak hal yang membuat ayah harus pengertian. Seorang ayah yang baik,dia akan flash back ke belakang kalau masa lalunya sebagai bahan renungan untuk menjadikan anak-anaknya lebih baik dari dirinya.

Di kala masih kuat, tenaga dan pikiran, mungkin ayah banyak berleha-leha dalam menghadapinya, sehingga yang terjadi hari ini merasa menyesal.
 “Coba kalau dulu saya rajin latihan menghapal alquran,mungkin hari ini isi alquran sudah di luar kepala”.
“Nyesel saya kenapa dahulu tak mengikuti orang tua untuk masuk ke sekolah ini”.
“Seandainya dari dulu saya rajin menulis, pasti hari ini tinggal menikmati royalti dari hasil tulisan tersebut”.
 Itulah contoh penyesalan yang banyak kita temui di sekitar kita, atau mungkin anda sendiri yang mengalaminya. Dari pengalaman seperti itu, tentu ayah tak mau hal tersebut berulang ke ananda tercinta. Maka disinilah ayah tampil menjadi pembimbing atau penuntun jalan bagi anak agar tak mengalami yang dilewatinya. Jadikanlah masa muda menjadi pelajaran berharga agar anak-anak lebih berkwalitas.

Dari banyak kisah teladan para pemuda yang telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah,  cerita Muhammad Al-fatih yang membuat saya terkagum-kagum. Bagaimana tidak, seorang belia yang baru menginjak umur 21 tahun menjadi panglima perang dan menaklukkan kota Konstantinopel. Apakah ini sebuah kebetulan? TIDAK. Dibalik semua ini ada sosok yang menjadi teladan, guru, pembimbing, pembentuk karakter sehingga Muhammad Al-Fatih menjadi pribadi tangguh pemberani. Dialah Sultan Murad ayahnya sendiri.

Sultan Murad memiliki impian sejak mudanya agar bisa menaklukkan kota Konstantinopel pusat kekufuran kala itu. Sultan Murad sangat yakin dengan apa yang disampaikan Rasulullah Muhammad saw  800 tahun sebelumnya, kalau ibu kota Romawi Timur itu akan jatuh ke tangan orang islam. Maka beliau betul-betul mempersiapkan puteranya dengan sebaik-baik gemblengan. Sedari kecil beliau selalu membawa anaknya ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Selepas shalat sambil menikmati udara pagi, Mehmed (Muhammad Al-Fatih) kecil diajaknya mengitari kampung, bercengkrama sambil menyampaikan keilmuan. Tangannya selalu erat memegang jemari mungil sang anak. Bukan bermaksud memanjakan, namun Sultan ingin menyatakan pada anaknya bahwa ayah selalu ada didekatnya. Ayah yang akan selalu menjaga, dan ayahlah tempat menyampaikan curahan hati anak-anaknya.

Harapan Sultan Murad muda yang belum kesampaian menjadi penakluk Kota Konstantinopel ,akhirnya ditularkan kepada puteranya melalui motivasi positif yang disampaikannya berulang kali. Diajaklah Mehmed ke menara tertinggi, lalu tangannya menunjuk langit yang dibawahnya ibu kota Romawi timur itu. “Nak, pandanglah ke arah sana. Di situ berdiri sebuah kota yang menjadi pusat kemungkaran. Janji baginda Nabi, kota itu akan jatuh ke tangan kaum muslimin. Si penakluk kota tersebut adalah seorang shaleh dan pemberani. Ayah berharap engkaulah yang dijanjikan dalam sabda Nabi yang agung itu”. Kalimat tersebut selalu diucapkan Sultan sehingga tertanam dalam diri Muhammad Al-Fatih, pribadi yang sholeh, percaya diri, selalu haus ilmu pengetahuan untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Ya, kalimat positif yang bermuatan penggugah ini lah yang dibutuhkan anak-anak kita. Bukan kalimat cacian ketika anak melakukan kesalahan, yang justru membuat anak merasa tak bisa, takut salah dan minder.

Masa muda adalah masa produktif, energik, kekuatan phisik yang prima dan semangat yang selalu menyala. Ibarat bunga mereka sedang mekar-mekarnya, sehingga akan membuat kupu-kupu untuk menghinggapi. Paras yang rupawan yang hanya dimiliki kaum muda, hanya sekali saja karena setelah itu mereka akan tua. Godaanpun lumayan banyaknya, bahkan syaithan sangat menyenangi untuk meniupkan angin maksiat kepada mereka. Hanya kekuatan iman yang kuat, mereka bisa melewati  semua godaan yang mampir ke dirinya. Iman yang kuat itu bagaikan pondasi yang harus dimiliki semua orang, agar derajat taqwa yang diharapkan Robb-Nya tergapai hingga berkumpul dengan saudara-saudara seiman di Jannah-Nya kelak. Semua itu tergantung siapa yang mendidiknya, dalam hal ini orang tuanya. Seperti yang dilansir di bagian awal tulisan ini bahwa manusia terlahir dalam keadaan fitrah, orang tuanyalah yang membuat dia Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Godaan yang didapatkan seorang ayah sewaktu muda, bisa menjadi tolok ukur dalam menggembleng anak-anak selaku kaderisasi sebuah keluarga, bangsa yang terhormat dan umat mulia dan pemimpin di masa depan. Apa yang dialami sewaktu muda ayah tularkan tentu setelah dimodifikasi dengan keadaan kekinian. Segala yang menjadi cita-cita sewaktu muda dan belum terlaksana, bisa disalurkan ke anak-anaknya. Bantu mereka mengenal dirinya sendiri, siapa dia, apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Sehingga mengetahui tujuan hidupnya. Ingat ! Hanya membatu bukan mebdikte harus begini dan begitu.

Ø  Tidak Otoriter

“Anak gadis itu mengeja hurup demi hurup hijaiyah, dibarengi jantung yang berdebar dan hati yang penuh rasa risau. Sekali-kali matanya melirik ke sebuah pisau belati yang menyelip di ikat pinggang sang guru ngajinya yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Tak jarang raga mungilnya dipenuhi keringat dingin, tatkala bentakkan yang keluar di mulut lelaki di depannya bila si gadis melakukan kesalahan”.  Itulah sekelumit kisah yan dialami Irsyad Mandji  seorang jurnalis Kanada, seorang Islam liberal, pendukung LGBT dan memilih menikah dengan sejenis. Masa kecil yang dialami begitu tragis, hidup dalam nuansa yang kurang bagus karena kebengisan seorang ayah. Dia lahir di Uganda yang kemudian pindah ke Kanada karena peraturan Presiden Uganda Idi Amien kala itu yang melarang non kulit hitam tinggal di negaranya. Irsyad Mandji dan keluarganya yang merupakan keturunan India dan Mesir akhirnya memilih menetap di Kanada, Amerika Serikat. Di tempat barunya yang notabene sekolah sekuler, dan latar belakang keluarga yang tak nyaman membuat dirinya menjadi yang kita kenal sekarang ini.  Tulisannya sangat membahayakan karena paham kebebasan yang melekat di dalam dirinya.

Dari cerita di atas, saya tak menyoalkan pemikiran yang Irsyad Mandji miliki. Tapi tengoklah sikap ayah terhadap dirinya. Sikap otoriter, garang, tak bersahabat seorang ayah ternyata membuat anak mencari kebebasan yang selama ini mengungkung dirinya. Ayah yang menjadi sosok lelaki pertama yang dia kenal dalam hidupnya, ternyata tak mampu membuat nyaman dalam kehidupannya. Dia mencari kebebasan dan menganggap sosok lelaki tak akan memberi rasa sayang sehingga akhirnya memilih hidup sebagai lesbian. Audzubillahi min dzalik

Ø  Menjadi Pendengar Yang Baik

Banyak kejadian kalau anak-anak lebih memilih mengeluarkan curahan hatinya ke orang yang bukan orang tuanya. Mereka lebih nyaman kalau curhat ke gurunya, teman bermainnya, rekan kerjanya atau siapa saja yang dirasa nyaman untuk mengeluarkan segala problematika yang dialaminya. Ayah baginya bagai sesosok asing, atau orang yang angker untuk dijauhi. Kejadian seperti ini merupakan sebuah malapetaka bagi kehidupannya di masa mendatang. Beruntung kalau mereka mau berbagi rasa walaupun bukan ke orang tuanya. Faktanya banyak pula anak-anak tak mampu mengekspresikan kepada siapapun tentang keluhan yang sedang dihadapinya.

Saya teringat seorang teman SMA. Ibunya seorangPNS (guru SD) sedangkan bapaknya seorang pengusaha ikan air tawar dan memiliki kemampuan mendesain rumah. Kalau dilihat dari perekonomian lumayan berkecukupan untuk ukuran di kampung tahun 90-an. Apa lagi ditunjang dengan ibunya seorang pendidik, sehingga dipastikan teman ini mempunyai kultur yang baik di rumahnya. Namun kenyataannya ketika menginjak naik kelas tiga, dia sudah jarang masuk sekolah, dan akhirnya keluar. Saya bertanya permasalahan apa yang terjadi sehingga putus sekolah. Apakah karena lingkungan sekolah yang tak enak, ada guru yang tak disenangi atau ada konflik dengan teman. Diapun bertutur, "Saya paham sekolah itu penting dan dibutuhkan bagi setiap orang. Tapi apalah artinya kalau saya sendiri tak melihat ayah merasa bangga terhadap anaknya. Wajah perang ayah yang selalu tergambar dalam hari-harinya. Tak pernah menanyakan prestasi sekolah atau mau mendengarkan keluhan anak”.

Rasa dendam terhadap ayahnya sampai memuncak hingga berencana ingin meracuninya. Tentu hal ini membuat saya kaget tak kepalang. Sebagai teman tentu tak mau hal ini terjadi, saya yang waktu itu masih umur belasan terus mengingatkan bahwa semua itu tak boleh dilakukan. Alhamdulillah kejadian horor ini tak terlaksana, bahkan ketika saya berkunjung ke rumahnya dua tahun yang lalu, dia nampaknya  begitu care terhadap putera-puterinya. Mungkin masa kelam yang dialaminya, dijadikannya pelajaran bagaimana harusnya bersikap menjadi ayah. Perlakuan yang diterimanya tak boleh terjadi untuk kehidupan anak-anaknya.

Menjadi pendengar yang baik, mendengarkan kemauan dan keluh kesah anak harus ayah lakukan bagi setiap jenjang ananda. Ayah jangan segan menina bobokan anak ketika bayi, atau menangkap tangisan yang selalu terjadi ketika masih belia. Menyambut anak dengan senyum sumringah ketika dia pulang sekolah, menanyakan aktivitas yang dilakukan di sekolahnya. Begitupun ketika dia remaja, ayah tampil bak sahabat yang selalu siap menampung segala curahan hatinya. Jangan menjadi ayah yang sok sibuk, sehingga tak banyak waktu demi buah hatinya. Pekerjaan yang selalu menyita waktu, gadget yang seakan menjadi teman setia setiap geraknya, sementara anak yang membutuhkan perhatian terlupakan.


               Dalam sebuah kajian halaqoh pekanan yang saya ikuti, pernah suatu ketika kala ustadz kami menyampaikan materi, tiba-tiba anak bungsunya menghampiri dan menunjukkan selembar kertas yang isinya sebuah gambar yang dibuatnya. Ustadz langsung berhenti menyampaikan kajiannya padahal kami sedang serius karena beliau sedang mengisahkan Sirroh Nabawiyah dan didalamnya sedang menceritakan kisah seorang sahabat nabi. Apa yang dilakukan ustadz? Dia spontan memasang wajah penuh kekaguman. “wah... wah...wah... luar biasa gambarnya, abi senang Khalid bisa gambar sebagus ini. Dibolak-baliknya gambar itu seraya senyuman hangat tiada henti. Bukan sampai disitu saja, diapun menunjukkan ke kami seolah sedang membangun kepercayaan diri seorang anak. “Nih Om... gambar Khalid bagus kan?”  Kejadian seperti ini mungkin hanya beberapa saat, dan tak akan merebut waktu para ayah. Tapi bagi mereka hal ini begitu berharga. Keberadaannya merasa  dispesialkan, sehingga tumbuh benih percaya diri yang baik.

Minggu, 04 Februari 2018

PAHALA TAK BERUJUNG

Memetik hasil tanaman, padahal tak sempat menanamnya.


Pohon rambutan ini baru musim sekarang berbuah. Sementara penanam yakni bapak mertua tak sempat mencicipi, karena tahun lalu telah meninggalkan kami selama-lamanya. Hal ini menjadikan kami anak-anaknya, dimulai saat memetik dari pohon, mengupas dan memakannya, selalu teringat akan kebaikan bapak.
.
Ternyata hobi menanamnya ini sangat sering dilakukan. Selain pohon rambutan yang baru perdana panen, masih banyak pepohonan di sekitar rumah dan ladang hasil tangan dinginnya. Beberapa bulan  lalu ketika musim mangga, kamipun mencicipi manisnya buah mangga Dermayu hasil yang ditanam bapak. Luar biasa memang, kakek dari 7 cucu ini sepertinya mengamalkan titah Nabi dalam haditsnya,


مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلَّا كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلَا يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ


“Tak satupun seorang muslim yang menanam pohon, kecuali sesuatu yang dimakan dari tanaman itu akan menjadi pahala sedekah baginya, dan yang dicuri orang lain akan bernilai sedekah. Apa saja yang dimakan oleh binatang buas darinya, maka sesuatu (yang dimakan) itu akan menjadi sedekah baginya. Apapun yang dimakan oleh burung darinya, maka hal itu akan menjadi sedekah baginya. Tak ada seorangpun yang menguranginya, kecuali itu akan menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim)


Atas dasar kejadian inipun, akhirnya terbersit dalam hati saya untuk berbagi info  seputar menanam. Aktivitas menanam yang dicanangkan pemerintah beberapa tahun terakhir ini, ternyata telah digalakan Rasul dengan banyak hadist seputar menanam ini. Bahkan di hadist lain dikatakan, walaupun besok akan kiamat dan di tangan seseorang ada biji kurma, maka tanamlah biji kurma itu.


            Subhanallah andaikan seluruh manusia mengamalkan apa  yang diserukan Nabi, sudah pasti akan terjadi keseimbangan di maya pada ini. Musibah banjir tentunya tak akan jadi musiman di kota-kota besar, karena tanahnya akan berbagi dengan akar tanaman yang menyerap debit air hujan. Belum lagi udara yang sejuk sehingga terhindar dari polusi. Saya saat ini tinggal di Jalan Cipedes, bilangan Sukajadi kota Bandung. Seperti pemukiman penduduk di kota besar lainnya, sangat susah untuk mendapatkan udara segar. Padahal ibu kota priangan ini dulu dikenal kota kembang nan sejuk. Sebuah barang langka untuk menemukan rumah dengan pekarangan yang rimbun dengan pepohononan.

               Namun ada seorang tetangga yang sampai saat ini masih memiliki ruang terbuka dengan beberapa pohon besar. Tanahnya di pinggir jalan, yang pastinya memiliki daya jual lumayan tinggi, berada di kisaran 15 hingga 25 juta per meternya. Kalau dibikin kos-kosan pastinya akan menghasilkan pundi-pundi jutaan tiap bulannya. Dan konon banyak para investor yang mendatangi untuk membeli tanah tersebut. Tapi bu hajjah si empunya tak mau menjualnya. Alasannya karena menyukai suasana seperti ini, dan bisa merasakan sensasi panen ketika tanamannya berbuah. Belum lagi warung hidup dengan aneka tanaman bumbu dapur seperti cabai, bawang, tomat, seledri dan lainnya bisa langsung dipetik mana kala dibutuhkan.


            Bagi bu hajjah Dian mungkin hal ini, serasa menyenangkan dirinya. Padahal secara tidak disadari, dia telah menyumbang kesejukkan ke sekitar rumahnya. Kalau  lobang Bio pori yang digencarkan walikota saat ini, untuk pencegahan bencana banjir, ternyata ibu yang satu ini telah menyumbangkan banyak bio pori buat warga. Air hujan dari genting rumahnya tak serta merta terbuang begitu saja. Tapi  akan mengalir ke pepohonan sekitar rumahnya. Sehingga di kala musim kemarau, persediaan air yang ada, tentunya cukup menolong untuk beberapa bulan selanjutnya. Belum lagi fungsi tanaman yang ada, akan menyerap karbon dioksida yang ada di sekitarnya. Apa lagi kalau kita pandai berestetika, pepohonan yang ditanam kita suguhkan dengan tatanan  yang lebih cantik sehingga  membuat orang nikmat melihatnya. Sungguh ini pahala tak berujung, sepanjang ini menyimpan manfaat.



                  Dalam hadits lain yang sangat familiar  kita  dengar, tersirat bahwa ada tiga amalan yang terus mengalir walaupun orangnya telah tiada. Yakni ilmu yang bermanfaat, doa anak shaleh dan amal jariah. Diatas telah kita baca, bahwa menanam pohon itu ternyata memiliki pahala amal jariah. Oleh karena itu,maka  menanam pohon termasuk sebuah amalan yang pahalanya terus menerus walaupun sang penanam telah meninggal dunia. Seperti dari awal saya ceritakan, walaupun bapak mertua yang menanam rambutan telah tiada, ternyata hasilnya yang kami makan menjadi pahala baginya. Bahkan kalau buah rambutan itu dimakan binatang atau dicuri, ternyata pahalanya tak berubah alias amal jariahnya terus akan datang.



              Berikut ini saya sampaikan manfaat menanam yang dapat kita rasakan:
  • Mengurangi Pencemaran dan Pemanasan Global
Pencemaran yang terjadi sekarang ini, sebenarnya itu akibat yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia. Suburnya menghilangkan tanah menjadi lahan pemukiman, tapi tak disertai dengan kesadaran lingkungan merupakan cikal bakal pencemaran. Karbon dioksida yang hanya bisa diserap oleh tanaman, akhirnya mencemari manusia dan lingkungan akibat berkurangnya pepohonan. Karena sejatinya, pohon-pohon itu akan menghasilkan oksigen alamiah yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Konon kalau sebuah pohon itu bisa menghasilkan oksigen 1,2kg/hari, sedangkan manusia bisa menghabiskan oksigen 0,5kg.hari. Dan pohon pula yang bisa menyerap karbon dioksida dan menurunkan suhu panas.


  • Pencegah Banjir
Titik-titik air yang turun dari langit adalah anugerah yang Allah berikan kepada manusia khususnya, dan seantero penghuni bumi pada umumnya. Akan tetapi  hujan yang turun dari langit ini, akan berubah menjadi bencana ketika air tersebut berlebihan, karena tanah yang kita pijak tak mampu untuk menampungnya. Nah, kehadiran pepohonanlah dimana akarnya yang berfungsi menjadi tandon air hujan. Sehingga mampu mengatasi banjir yang menjadi momok terutama di kota besar.

  • Meningkatkan Indeks Kebahagiaan
Efek yang terpantul dari hijau dedaunan, akan menimbulkan sebuah ketenangan. Maka tak heran kalau kehadiran taman-taman kota, selalu menghadirkan aneka tanaman. Dengan hadirnya ketenangan ini, maka sejenak dapat menghilangkan stress atau kesedihan. Itulah sebabnya kalau menanam dapat meningkatkan indeks kebahagiaan. Bahkan aktivitas menanampun bagi saya merupakan sesuatu banget untuk menghilangkan kepenatan. Walaupun area untuk media tanam sangat minim, tapi kegiatan ini sangat menyenangkan. Sehingga bisa diarahkan ke anak-anak sebagai alat edukasi akan pentingnya menanam.

  • Mengurangi Beban PLN
Barangkali  manfaat ini sepertinya tak disadari. Padahal kerasa banget, kalau akibat dari kegiatan ini bisa menurunkan budgeting belanja keluarga. Prakteknya begini, akibat suhu panas biasanya orang akan memasang AC pendingin atau kipas angin karena kegerahan. Akan tetapi dengan suasana rindang, angin sepoy-sepoy yang menyentuh dedaunan maka akan melahirkan suasana yang mengasyikkan tak kepanasan. Makanya orang yang bergelut di bisnis property, dia akan menaikkan harga sebuah rumah jika di halamannya ada pepohonan.

  • Ladang Pahala Yang Tak Bertepi
Seperti telah diulas diatas, bahwa amal jariah merupakan sebuah amalan yang pahalanya terus mengalir walaupun kita telah tiada. Dan alim ulama menyebutkan kalau amal jariah itu banyak cabangnya. Bisa membuatkan jamban umum, membuat jalan, membangun sarana ibadah dan salah satunya adalah menanam pohon.

             Bagi sahabat pembaca, sampai kapan kita menunda-nunda untuk tidak menanam. Mungkin halaman kita kecil, bolehlah kita akali dengan cara hydroponik, menanam di dalam pot atau memanfaatkan latar atas rumah. Bagi yang punya rezeki berlebih, kita dapat membeli tanah yang di pelosok tentu dengan harga tak semahal di kota besar. Menanamlah pohon apa saja, yang jelas memiliki manfaat yang tiada tara. Tak apa kalau kita tak sampai memanennya, tapi anak cucu kita akan terus mendapatkan hasilnya. Mereka yang akan memakan apa yang kita makan, tapi pahala amal jariah tetap kita dapatkan.






Minggu, 28 Januari 2018

Ceria Pagi Bersama Anak

Belajar Kompetisi Dalam Sebuah Permainan


               Permainan kids zaman Now, cenderung menghasilkan sebuah kepribadian yang  tak peka terhadap sesama. Setuju atau tidak, yang jelas ini bukan sedang melakukan voting. Hanya berdasarkan pengamatan, saya merasakan sendiri ketika membandingkan perangkat permainan anak-anak kekinian, dengan era 80-an kesana.  Anak-anak masa kini yang identik dengan serba digital, kalau orang tuanya tak membimbing dengan baik, maka khawatir mereka akan tumbuh menjadi seorang manusia yang tak lagi peduli ke sesama. Keasyikan bermain game yang tak membutuhkan  banyak kawan, hanya akan membuat mereka jauh dengan sekitar. Jika hal ini dibiarkan, maka bisa jadi sifat “Gotong Royong” yang menjadi ciri bangsa ini lambat laun akan sirna.





                Beberapa hari lalu saya bincang-bincang dengan seorang rekan kerja. Sudah menjadi kebiasaan ketika ada waktu senggang, kami berdiskusi dengan suasana bincang santai. Apapun bisa kami bahas, sampai hal politikpun tak lekang kami mengupasnya. Sebatas hal tersebut menarik dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Hingga pada ujung pekan lalu diskusi tentang pendidikan anak-anak.

                “Kira-kira apa yang dilakukan kang Ade dulu sewaktua  anak-anak?” Tanyaku  ke seorang teman tersebut, yang bernama Ade Kurniawan yang usianya 11 tahun dibawah saya.
kenapa  nanya demikian?” Timpalnya malah balik nanya, seperti meminta kejelasan akan maksud pertanyaanku. Sayapun bercerita, tentang kebiasaan Ahsan puteraku  sepulang shalat shubuh. Selepas shalat berjamaah, hanya 15 menit dia mengulang pelajaran ngajinya. Tak jarang sisa ngantuk masih tergambar  di wajah si anak ini,  yang dua bulan lagi menginjak usia 7 tahun. Apa yang dilakukannya selanjutnya? Aktivitas yang membuat dia senang  adalah asyik di depan Televisi . Pelbagai film kartun ditontonnya. Dan kabar dari beberapa teman, aktivitas menonton yang dilakukan anak-anaknya tak jauh beda yakni menonton.

                Setelah mendengar cerita tersebut, Ade yang saya ajak diskusipun mulai menceritakan bagaimana kebiasaannya dulu yang ternyata tak jauh berbeda dengan kisah masa kecilku. Hidup di kampung dengan nuansa agama yang masih kental, aktivitas di pagi hari kami mulai di rumah guru ngaji. Karena waktu itu anak-anak sebaya tidak tidur di rumah. Kira-kira 30 menit menjelang maghrib, orang tua kami menyuruh pulang untuk cepat-cepat berangkat ke mesjid terdekat untuk melakukan shalat berjamaah yang berlanjut dengan belajar Al-quran dan pelajaran agama yang masih tahapan dasar. Sampai selepas isya tak pulang ke rumah, dan kamipun tidur di rumah guru. Dan rumah sang kiyaipun akan riuh rendah sepanjang kami berada di sana. Maklum saja, bisa dibayangkan anak-anak seusia SD berkumpul pasti ramai dengan candaan atau permainan sebelum tidur. Tak pernah nonton TV, karena jam segitu acara TVRI tak menarik buat usia anak-anak. Hingga pagi sebelum pulang, anak-anak akan senang hati membantu pekerjaan di sekitar rumah guru. Yang perempuan ada yang membantu cuci piring, membantu ibu kiyai memasak, atau  menyapu halaman. Sementara  yang laki-laki ada yang nyiangi pekarangan, bantu menimba air dari sumur, karena waktu itu belum zamannya mesin penyedot air. Semua dilakukan dengan suka cita dan penuh kebersamaan. Dan hal ini ternyata menjadi sebuah pelajaran berharga, kalau sebenarnya kita sedang belajar bersosialisai. Dan kenangan seperti ini telah mampu melahirkan kenangan yang sulit dilupakan. Dan alhasil, sayapun masih mengingat nama teman-teman walaupun sudah puluhan silam.

                Permainan zaman Old lebih ke nuansa gotong royong, tengok saja Bebentengan. Maaf... untuk istilah dengan bahasa Indonesia,saya tak tahu istilah yang populer di kawasan Sukabumi ini. Cara bermainnya, ada dua kelompok berhadap-hadapan. Masing-masing kelompok akan berpijak pada sebuah batu sebagai tanda kalau benda tersebut sebagai benteng pertahanan. Mungkin inilah maksudnya kenapa namanya jadi Bebentengan. Siapa yang terlepas dari pijakan tersebut, maka pihak lawan bila menyentuh orang yang melepaskan diri tersebut, maka sudah dipastikan kelompok yang bisa menyentuh tersebut mendapatkan poin. Keseruan muncul,karena masing-masing pihak akan sengaja mendekati kubu lawan, dengan tujuan lawan akan mengejar dirinya  untuk bisa disentuhnya. Disinilah fungsinya kita harus pandai berlari, kekompakkan dalam sebuah team, belajar strategi dan trik menyerang dan bertahan. Luar biasa bukan? Pokoknya seru abis aneka permainan zaman  dulu  itu. Semua organ tubuh sepertinya ikut bermain. Bukan hanya otak berpikir, tapi berikut fisik juga  ikut andil bagian.
Mengamati Tongtolang (Buah Nangka Muda)

               
                Saya tak akan mengupas  lebih jauh tentang dampak menonton tv  atau berlama-lama nge-game yang dilakukan anak-anak. Banyak sudah artikel yang membahas tentang ini. Anda tinggal klik dan searching, pasti keluar  tuh info yang akan kita  minta. Dalam kesempatan ini, saya akan sharing bagaimana caranya mengendalikan anak-anak untuk urusan ini. Jujur saya akui, kalau sebenarnya waktu untuk bersama anak-anak tak begitu banyak.  Setiap pagi pukul 08.00 sampai pukul 16.00, adalah saat berjauhan dengan anak-anak. Beruntung jarak dari rumah ke tempat kerja, masih satu kompleks, sehingga jam istirahat bisa berguna untuk menemui mereka walau sekedar menyapa dan memangku si kecil Qoila. Pagi hari adalah saat tepat bagaimana saya bergumul dengan mereka. Interaksi lahir bathin saya curahkan. Keliling kampung sambil menghirup udara pagi, dan mengeksplor anak-anak akan sesuatu yang baru. Yang penting dapat  melupakan kesenangannya untuk berasyik ria di depan Televisi.

                Yang saya  lakukan  hanya   mengalihkan perhatian  saja,hal ini tentu tak bisa dilakukan sendirian. Maka  kerja sama  dengan  istri  atau   suami,  adalah  yang  harus  kita  jadikan  sebagai   sebuah prinsip. Kasihan sekali anak-anak  yang  begitu fresh di pagi hari, tapi memorinya harus dijejali dengan hal yang selebihnya tak begitu bermanfaat. Barangkali kita merasa enjoy,  karena dengan menonton TV, mereka tak mengganggu pekerjaan orangtuanya.  Yang biasanya nuansa pagi sangat sibuk dengan urusan di rumah. Apa lagi seorang ibu rumah tangga yang tak memiliki pembantu, biasanya akan super repot dengan aktivitas paginya. Maka dengan adanya hal yang menyenangkan si anak yakni nonton tv, orang tua pasti merasa leluasa mengerjakan pekerjaannya. Padahal  yang  dia tonton itu banyak, termasuk  iklan  yang  akan membawa dirinya konsumerisme. Belum lagi akibat lain yang  merupakan efek yang kurang bagus lainnya.
Memperkenalkan Berenang Kepada Anak

Melihat kenyataan demikian, sebagai orang tua yang care tentu tak mau kalau anaknya menjadi objek  digital. Oleh karenanya, saya menyengajakan diri  memberi waktu luang bersamanya. Lagian asyik banget loh komunikasi sama anak-anak, selalu ada celah yang membuat orang tua merenung  dan menambah ilmu ke-orang tuaan. Hehhe...  apa  ya bahasanya,koq ke-orang tuaan.  Pernah anak saya teriak kaget ketika keliling desa, menelusuri selokan yang kebetulan di musim hujan  seperti  sekarang, airnya masih menampakkan diri. Dia melihat seekor kepiting yang ternyata jalannya miring dengan kedua capit yang menganga  ke atas. Teriakkannya menyadarkan saya ternyata baru kali ini  dia tahu aslinya seekor kepiting. Selama ini baru tahu di TV saja. Dari  kejadian seperti ini sudah jelas akan terjadi komunikasi yang mengasyikkan, dan sarana transfer ilmu ke anak tentang apa  yang  dilihatnya. Dan siap-siap pula kita orang tua  dicecar dengan pertanyaan sang anak. Waktu itupun saya ditanya, kenapa kepiting jalannya ke samping, makanan dia apa, apa  bedanya kepiting laut dan kepiting air tawar, kalau dimakan boleh apa tidak?  Pokoknya jadi banyak bahasan. Disaat seperti inilah terjalin proses bonding atau kelekatan yang diperlukan antara  anak dan orang tua. Bonding inilah yang menjadi bagian dari sebuah struktur dalam tumbuh kembang anak. Karena yang dibutuhkan anak bukan saja gizi seimbang saja, tapi kelekatan ini pula akan berpengaruh besar dalam  perkembangan mental anak  ke depannya.

Pelukan Di Pagi Hari

Ada Transfer Chemistry Dalam Sebuah Pelukan

Ada proses saling transfer chemistry ketika kita berpelukan dengan buah hati. Saya sendiri baru membiasakan hal ini, ketika walikota Bandung Ridwan Kamil menceritakan pengalaman pribadinya di salah satu stasiun televisi. Pagi-pagi sebelum melakukan aktivitas, hal pertama yang dilakukannya adalah memeluk anak-anaknya sekitar 30 sampai 60 detik saja. Disaat berpelukan inilah, 30 detik pertama kita mentransfer chemistry pada anak, dan 30 detik terakhir anak yang akan mentransfer chemistry pada kita. Setelah hal ini dikakukan rutin, maka sudah tentu keterikatan bathin satu sama lain akan terbina. Rasa peka antara anak dan orang  tua akan terbangun.



Ingatlah kisah Fatimah binti Rasulillah, kasih sayang yang ditumpahkan ayahnya begitu membekas. Saya selalu membayangkan betapa besar karunia yang diberikan kepada ibunda Hasan dan Husein ini. Tiap saat bertemu ayahnya selalu diciumnya, dikecup keningnya, dicium tangannya  dan didekapnya. Perlakuan Rasulullah terhadap anak-anaknya tidak dilakukan di rumahnya saja, tapi juga sering dilakukan di depan para sahabatnya. Pantas saja kelak Fatimah dewasa menjadi pribadi percaya diri, bermental baja, penyabar dan berakhlaqul karimah lainnya.

Rasulullah selalu menebar keceriaan dan kebahagiaan di depan anak-anak. Sehingga sepulang dari mesjid, anak-anak sudah pada menunggu di luar. Beliau usap pipi dan kepalanya masing-masing.  Bahkan tak jarang beliau melakukan game dengan mereka. Dalam sebuah hadist disebutkan, “Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang dapat mengejar aku, dia akan mendapatkan ini dan itu, Lalu Abdullah berkata, lalu mereka mengengejar beliau, sehingga mereka dapat memegang punggung dan dada beliau, lalu mereka mencium dan menggandengnya” (HR. Ahmad).  Hal ini bisa kita praktekkan kepada anak-anak kita ataupun buat temannya anak-anak kita. Jangan ragu untuk selalu mau bermain bersamanya. Jadikan suasana rumah selalu diisi dengan hal yang menyenangkan, sehingga tak ketergantungan dengan hanya menonton televisi.

Anak-anak Butuh Teman
                Dua pekan lalu saya menyimak video live di Facebook, yang isinya tausiyah ust. Cahyadi Takariawan yang lebih familiar dengan panggilan pak Cah. Beliau menyarankan agar anak-anak harus dikenalkan dengan teman sebayanya. Hal ini penting dilakukan agar semua sejalan dan merupakan fitrah yang harus terjadi pada anak-anak. Sehingga perekembangan psikologi, sosialisasi, tenggang rasa akan muncul sejak dini. Karena pada dasaranya anak-anak itu butuh teman bermain. Mereka membutuhkan ajang kompetisi, sehingga bisa siap menghadapi persoalan hidup ketika dewasa kelak. Makanya dari awal tulisan ini, saya menilai kalau permainan di era digital ini tak sepenuhya memenuhi kebutuhan hak anak, bahwa sejatinya mereka membutuhkan teman.

               
                Di bagian akhir tulisan ini, saya mau menampilkan pesan Syaikh Dr. Ash-Shallabi.

5 Sentuhan Setiap Hari :


Belailah kepala bagian belakang anak, pertanda bentuk kasih sayang
 Letakkan tangan di kepala anak, pertanda bentuk kebanggaan
Letakkan tangan di atas kening anak agar dia merasa tenang.
Letakkan tangan di kedua pipi anak, sebagai bentuk kasih sayang.

•Genggam tangannya untuk menguatkan hubungan dan cinta anda kalau anaknya sedang marah, tepuklah dadanya secara lembut.


#AnakInvesasiDuniaAkhirat

Minggu, 21 Januari 2018

Bang-Bing-Bung (Melatih Anak Gemar Menabung)

Sebuah aktivitas kebaikan yang kita lakukan, mestinya ditularkan ke anak-anak. Termasuk dalam hal pengelolaan keuangan, seperti teknik belanja sesuai budget, berbagi terhadap sesama, dan menabung.



Mengapa menabung?
Karena menabung dapat membuat seseorang untuk memenuhi tujuan keuangannya. Dengan menabung anak akan tahu, kapan saatnya dapat membeli barang yang diidam-idamkan,  dan melatih anak lebih bijak dalam membelanjakan uangnya.

 Menularkan hasrat menabung pada anak tak semudah yang kita bayangkan. Membutuhkan perjuangan yang ulet agar anak mulai belajar menabung. Salah satu sebab diantaranya, karena mereka tak memiliki uang sisa untuk ditabungkan. Oleh karena itu, ada tips yang pernah saya gunakan dalam membangkitkan hasrat menabung.

1. Perkenalkan uang
Kenalkan uang terlebih dahulu apa itu uang. Dari nominal ataupun intristiknya. Mengajak anak berhitung uang, biasanya hal ini juga akan  membuat anak merasa senang. Disaat inilah kita akan menjelaskan apa itu uang.

2. Kasih Tahu Fungsi Uang
Jelaskan bahwa uang itu merupakan alat pembayaran yang digunakan di setiap negara. Dengan uang kita dapat memenuhi kebutuhan yang kita butuhkan. Jadikan dialog yang menyenangkan  ketika mengajak buah hati berbelanja bareng. Jangan sungkan untuk mengajak buah hati shopping.  Bukan konsumerismenya yang akan tertular kepada anak, tapi ada nilai positif juga yang kita latihkan pada diri anak. Saya juga sering melakukan budgeting waktu belanja, dan mencatatnya di secarik kertas. Kebetulan si anak yang masih duduk di taman kanak-kanak, sudah mulai bisa membaca. Sehingga kenapa tidak kalau dia sendiri yang membacakan barang yang akan dibeli.  Dengan cara ini, dia tahu bahwa tak semua yang ada di supermarket harus dibeli. Pokoknya selain aktivitas ini mengasyikkan bagi anak, ternyata banyak hal manfaat yang bisa kita serap ketika belanja bareng anak. Bahkan tak jarang saya  memperkenalkan nama buah-buahan yang ada di swalayan. Tujuannya cuma memperkenalkan saja, soal membeli tentu kembali pada budgeting yang telah dibuat.

3. Perkenalkan Juga Dengan ATM.
Saya pernah menangkap tentang isi pikiran anak tentang ATM, dia pikir enak sekali bapak, kalau tak punya uang tinggal masukkan kartu ke mesin ATM lalu keluarlah jumlah uang yang diharapkan. Akhirnya saya jelaskan, nak itu uang ga bakal keluar kalau tanpa bapak menabung dulu. Kalau kamu mau, menabung saja ya. Saat ini banyak Bank yang menyediakan tabungan khusus anak dan dapat kartu ATM pula. Lagi-lagi kegiatan ini juga  sangat menyenangkan buat anak - anak.  Saya selalu ajak anak untuk membuka sendiri rekening tabungannya.  Apalagi  Bank sekarang lebih kreatif, dengan menerbitkan ATM anak-anak dengan  karakter yang diambil dari tokoh kartun yang digemarinya.

4. Dengan Menabung setiap keinginan tentu dapat tercapai. Kebiasaan ini tentunya diharapkan melekat hingga dewasa. Sehingga terhindar dari  sifat boros yang tentunya sangat tak diinginkan dilihat dari segi agamapun.
Hal ini membuat anak terdorong untuk menabung, walaupun cuma 1000 sehari.

5. Beri reward
Kalau anak menginginkan sesuatu, tapi uangnya tak cukup, sekali-kali bolehlah dikasih tambahan dari kita.

Itulah beberapa tips sederhana yang mudah-mudahan bisa dipraktekkan buat mengajak anak menabung.