Sayap Agustus mulai mengepakkan
sensualnya ke seluruh Negeri. Pertanda akan dimulainya sebuah hajat besar yang
dipenuhi serumpun suka cita. Bagaikan idul fitri bagi seorang muslim, bulan
Agustus selalu disambut spesial oleh bangsa ini. Mengapa demikian ? karena di
bulan inilah, tercatat dengan tinta emas bahwa
bumi pertiwi telah merdeka. “tujuh belas agustus
tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita......” sepotong lirik sarat
heroik, sangat familiar dari anak SD hingga orangtua
.
.
Sebuah
kenangan manis yang mengusik diri, masih tergambar dalam memori. Bapak dengan semangat membawaku ke alun-alun kota,
kadang saya mengekor sambil berlenggang jalan, namun terkadang digendongnya karena
harus mengejar Jampana yang dipenuhi hiasan serba lucu. “Nak, jalannya harus
cepet-cepet atuh. Biar ga ketinggalan arak-arakan”. Saya hanya bisa mengaduh,
karena merasa sudah cepat juga dalam berjalan, mengikuti rombongan orang
dewasa. Maklum tubuh ini masih mungil dan belum kuat untuk menyamakan diri
dengan para orang tua. Dan biasanya Bapak sudah paham, serta merta beliau
jongkok dan memberi kode agar saya naik ke punggungnya.
Jampana yang
dimaksud adalah sebuah miniatur bangunan, bisa berupa rumah, masjid atau
bangunan unik lainnya. Ke empat ujungnya ditandu menggunakan kayu. Setiap
sisinya dihiasi warna dominan merah dan putih yang merupakan bendera Indonesia.
Hiasan begitu semarak dan mencolok. Ada yang menggunakan sayur mayur,
buah-buahan ataupun penganan khas kampung, Pokoknya dibikin unik dan lucu abis.
Sementara bagian dalamnya, beberapa makanan berat dan biasanya akan disantap
bareng setelah acara usai. Tak jarang jampana-jampana ini dijadikan bahan
kompetisi oleh pihak kecamatan, sehingga nanti terpilih sebagai jampana terunik atau terbaik.
Selepas
acara yang terkonsentrasi di alun-alun kecamatan, momen kirab ke jalanan begitu
meriah. Hal yang menjadi perhatian saya kala itu adalah, iring-iringan marching
band dengan seragamnya yang khas. Kepiawaian yang disuguhkan peserta, sempat
membuat hati ini bergumam, “kalau sudah besar, saya harus bisa seperti itu”.
Biasanya rombongan marching band menempati urutan terdepan dalam kirab.
Mengekor di belakangnya, anak-anak berbusana daerah dari seluruh Indonesia.
Hadir juga sepasang tua renta lengkap dengan kebiasaan nenek dan kakek. Nenek
menggendong bawaan dengan selendang kainnya, sementara kakek dengan pakaian
serba hitam, memegang cerutu dan tongkat. Padahal sebenarnya sepasang renta ini
adalah, dua pria muda yang dihias seperti itu sekedar ikut memeriahkan.
Rombongan jampana yang dihias dan berjejer selama upacara pun, tak lupa
mengiringi rombongan tersebut.
Banyak
kenangan indah yang mengisi kisi-kisi hati ini dalam memaknai hari kemerdekaan.
Semua berisi sebuah kegembiraan, luapan suka cita dan bermakna hiburan. Dan
semua cerita itu, sepertinya sudah ditelan zaman. Kini tak ada lagi arak-arakan
mengiring jampana. Tak terlihat lagi hiasan
pete atau jengkol yang menghiasi bangunan miniatur itu. Tak dijumpai lagi,
orang berebut makanan seusai menunggu upacara dibawah teriknya matahari. Kali
ini, masyarakat sudah tak mau lagi ikut berpanas-panasan hanya melihat upacara
bendera. Hiburan rakyatpun berubah, tergantikan dengan musik kekinian dengan
mengundang biduan dangdut atau pesanan warganya. Walaupun tak dipungkiri masih
ada juga yang sengaja mengundang ustadz terbaik. Dan pas acara jamaahnya hanyalah kaum tua dan
panitia. Kalaupun mau banyak yang hadir, maka panitia harus berani mengundang
ustadz tenar bak selebritis, syukur-syukur sering nongol di layar kaca.
Hal lain yang terlupakan adalah, pemasangan
bendera merah putih. Semasa belia yang saya lihat, semua rumah sejak masuk
tanggal satu saja, sudah ramai memasang bendera. Aparat desa cukup memberi
komando, maka warga dengan senang hati memasang bendera dibarengi
sentuhan-sentuhan lain agar bendera terasa unik dan menarik. Memang tidak
dipungkiri, sekarang juga masih ada masyarakat yang melakukan hal yang serupa.
Hanya saja saya merasa kesakralan yang terungkap rada beda. Entah karena orang
tua dulu ada yang ngalamin merebutkan kemerdekaan atau ada alasan lain. Yang
jelas, terbersit dalam ingatan kalau bapak seperti menghormati benar ketika
memasang bendera ini. Aura sakralnya terasa, sorotan matanya membangkitkan hubbul wathon yang dalam. Sambi melakukan aktifitas ini,
bapak menceritakan arti dari warna bendera, sejarah bendera dan cerita masa
kecil ketika awal-awal meraih kemerdekaan.
Kemeriahan
tujuh belasan yang masih ada dari dulu sampai sekarang, adalah perlombaannya.
Panjat pinang sudah tentu ada tiap RT atau RW, walaupun saat ini bukan dari
pohon pinang medianya. Tapi telah diganti dengn bambu sehubungan langkanya
pohon pinang, apalagi di daerah perkotaan. Ada juga balap makan kerupuk,
masukkin benang, membawa kelereng di sendok, balap karung, mengambil koin
dengan mulut yang diselipin pada buah jeruk bali dengan tangan peserta diikat
ke belakang, dan masih masih banyak game
yang sangat jadi kenangan. Hari ini, aneka lomba itu masih bertahan, dengan
alasan kesenangan demi memeperingati hari kemerdekaan.
Kerlap-kerlip
lampu plip-plop di sepanjang jalan, begitu marak kita jumpai saat ini. Demi
merayakan pesta tahunan ini, masyarakat rela menambah aliran listriknya. Seolah
melupakan kalau biaya PLN saat ini terasa mencekik karena TDL yang terus
merangkak naik. Mau meramu jalanan dengan lamu obor seperti dulupun, sangat
tidak memungkinkan, karena minyak tanah yang sudah dicabut subsidinya itu,
menjadi barang mahal saat ini. Apalagi pas malam 17 atau 18 agustus,
pemandangan di langit dipenuhi pesta kembang api di setiap sudut kota. Peringatan
seperti ini, apakah termasuk refleksi kemerdekaan yang sesungguhnya? Jelas bahwa semua ini hanya kesenangan
semata. Euforia di tengah peringatan kemerdekaan telah mengaburkan makna
kemerdekaan itu sendiri.
Kalau kita
tarik mundur ke belakang, di era 80’an atau 90’an, karena kalau di era sebelum itu penulis
belum ada. Hanya sudah tentu dapat disimpulkan bahwa syahdunya HUT RI masih
kental terasa. Di malam 17-an, masih gampang ditemui jamaah masjid berkumpul
untuk berdoa yang dibarengi rasa syukur atas nikmat kebebasan ini. Sehingga tak
jarang banyak jamaah yang menitikkan air mata, kala diceritakan bagaimana
perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan ini. Banyak cerita orang tua
dulu, bagaimana heroiknya mereka ikut bergabung dengan pejuang dalam menumpas
penjajahan. Dan uniknya, karena bangsa ini mayoritas muslim kala itu. Maka gema
takbir “ALLAHU AKBAR” selalu hadir menyelingi kata “MERDEKA”. Sudah bukan
rahasia lagi, dalam setiap literatur, kalau perjuangan dahulu sangat berisi ruh
keislaman. Sehingga tak heran gelora juang yang mereka taruhkan berupa nyawa
dan harta, tapi dalam pembukaan Undang-undang 1945 terukir cantik tulisan “Berkat
Rahmat Allah.......”. ini sepenggal kalimat penuh makna syukur, sarat akan rasa
ikhlas dari para pahlawan.
Di usia 71
tahun merdeka, bangsa ini malah disibukkan dengan isu-isu yang menelisik ruh kemerdekaan yakni terbebas dari campur
tangan negara lain. Hari ini, kita didera isu dengan adanya pejabat menteri
yang memiliki dwi kewarga negaraan. Sangat disayangkan kalau isu ini benar
adanya. Sehingga jiwa kecintaan terhadap negara masih bisa diragukan. Belum
lagi isu berbondong-bondongnya warga Tiongkok yang mulai merambah lapangan
kerja. Ironi dan menyakitkan, tatkala banyak pengangguran di negeri ini, tapi
harus didatangkan orang luar untuk menempati lapangan usaha ini.
Tak ada kata
yang indah dari dulu, kini dan masa datang, yakni MERDEKA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar