Penayangan bulan lalu

Senin, 07 Desember 2015

APA BENAR PESANTREN ADALAH PENJARA SUCI ?


Sebagai kepala rumah tangga saya selalu terngiang-ngiang dengan Firman Allah dari Qs attahrim :
            “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (at-Tahrim;66)
            Sungguh pesan Allah ini sangat indah, betapa Dia sayang kepada umatnya sehingga mewanti-wanti agar kita berhati-hati dan menjaga diri dan keluarga dari dahsyatnya api neraka. PerintahNya bukan hanya untuk diri sendiri tetapi menyangkut kepada seluruh anggota keluarga.
            Sebagai orangtua tentu hal ini akan mendorong untuk lebih waspada menjaga anggota keluarga dari perbuatan maksiat dan hal-hal yang menyimpang dari aturan yang Allah tetapkan. Dan caranya adalah dengan memberikan ilmu yang memadai kepada anak-anak. Sedari kecil orangtua mempersiapkan anak dengan mengenalkan hal-hal sederhana yang berkaitan dengan keagamaan. Dari memperkenalkan huruf hijaiyyah, doa-doa pendek dan praktek ibadah. Akan tetapi setelah si anak tumbuh besar mereka membutuhkan pendidikan dari luar. Dan kapasitas orangtua pula yang memang tidak semua orangtua menguasai semua ilmu untuk anak-anaknya. Dari sinialah pesantren lahir menjadi solusi agar kebutuhan anak terpenuhi.
            Sebuah kekhawatiran para orangtua saat ini adalah melihat keadaan zaman sekarang yang sejaatinya membuat miris dan merinding melihat pergaulan anak-anak. Hampir tiap hari ketika kita melihat chanel televisi, banyak remaja yang terjerumus kepada kubangan narkoba. Begitupun dari lingkungan kita terutama di daerah perkotaan kengerian orangtua makin menjadi-jadi tatkala pergaulan bebas yang mengarah pada free sex. Remaja putri yang berusia smp dengan bangganya menjadi cabe-cabean dan juga tawuran yang sepertinya telah menjadi kebiasaan. Maka sangat wajarlah para orangtua yang care terhadap anak-anaknya berkeinginan lebih untuk memproteksi dan mensterilisasi putera-puterinya dari pengaruh negatif tersebut.
Belajar dan tinggal di pondok pesantren memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Minimal memerlukan waktu tiga tahun untuk jenjang SMP dan tiga tahun untuk jenjang SMA.  Maka kalau orangtua full memasukkan anaknya ke pondok pesantren maka dibutuhkan waktu enam tahun.Bahkan saya sempat menemui juga ada orangtua yang memasukkan anaknya sejak usia Sekolah Dasar. Karena alasan masa belajar inilah menjadi pertimbangan para orangtua dan calon santri itu sebdiri.
            Berikut saya mencoba mengemukakan alasan orangtua sehingga tidak memasukkan anaknya ke pesantren :

1. Faktor Biaya
            Alasan pertama ini merupakan  yang sering saya jumpai ketika berbicara dengan para orangtua. “Bukannya enggak mau saya masukkin anak ke pesantren tapi biayanya mahal banget, apalagi pas masuk pertama, ampun dah”. Demikian kalimat yang terlontar dari salah seorang tetangga, yang sempat saya anjurkan untuk  memasukkan anaknya ke pesantren.
            Karena alasan biaya ini juga timbul argumen bahwa sekolah terpadu dengan pesantren adalah khusus buat orang berduit. Apalagi pondok pesantren yang sudah menyematkan namanya dengan istilah boarding school. Keluarga pra sejahtera hanya menjadi penonton dan mengelus dada karena merasa mahalnya biaya pendidikan.
            Biaya masuk di salah satu pondok pesantren modern yang pernah saya survei rata-rata di angka Rp. 15.000.000 untuk biaya awal.  Sementara untuk biaya bulanannya berada di kisaran satu jutaan lebih. Itu untuk biaya pendidikan, belum kebutuhan si santri itu sendiri seperti uang saku atau kebutuhan pribadi lainnya.
            Tapi sebenarnya masih banyak yang biayanya dibawah sepuluh juta atau bahkan dibawah lima juta. Tinggal kita pandai memilih-milih dan rajin survei membuat study banding dalam hal biaya. Apalagi saat ini lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren sudah transfaran dan memiliki website. Tinggal kita klik di internet semua bisa kelihatan dari segi biaya, photo bangunan pondok bahkan visi misinya bisa kita lihat dengan gampangnya.
            Kata mahal sebetulnya relatif, terkadang orang yang berkecukupanpun masih banyak yang enggan memasukkan ke pondok pesantren dengan alasan biaya mahal. Tapi sebaliknya banyak juga yang kita jumpai bahwa ada orangtua juga yang sangat care sehingga berani untuk memasukkan anaknya ke pondok pesantren padahal dari segi finansial jauh dari kecukupan.
            Apakah benar biaya pesantren  mahal ?
            Pertanyaan itu terlintas di pikiran saya dan cenderung untuk mencari tahu jawabanya. Dan ternyata mahal itu tergantung bagaimana kita memandangnya. Karena setelah dirinci pos-pos jalur keuangannya, ternyata uang tersebut ya buat biaya santri itu sendiri. Ibarat kita pindah rumah sudah barang tentu kita membutuhkan perabotan dan perlengkapan pribadi. Dan yang namanya mondok bukan sekedar mampir sebentar langsung pulang, tapi berlangsung minimal tiga tahun.
               Yang terasa membuat mahal itu karena dibayarnya di muka. Untuk mensiasatinya kita harus benar-benar membuat perencanaan keuangan jauh-jauh hari. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya pendidikan di Indonesia relatif kena inflasi di kisaran 15% sampai 25% per tahunnya. Jangankan untuk biaya sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, untuk biaya pendidikan tingkat TK saja kalau kita tidak pandai membuat perencanaan maka kita bisa kelabakan.
            Makanya jauh-jauh hari setahun atau bahkan lima tahun sebelumnya, kita harus sudah memulai menetapkan goal keuangan untuk pendidikan. Setelah menetapkan goal atau tujuan keuangan tersebut barulah kita mapping anggaran agar memudahkan untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu budgeting. Buatlah mapping sampai sedetil mungkin, makanya ketika ada niat untuk memasukkan anak ke pondok pesantren informasi sangat diperlukan. Termasuk tentang biaya pendidikannya.
            Akan tetapi terkadang kita tidak sempat meluangkan waktu untuk membuat financial plan  seperti yang dibicarakan diatas. Kalau kejadiannya seperti itu tinggal tambahin keyakinan saja, karena membiayai anak dalam hal pendidikan terlebih ilmu agama maka sudah termasuk fii sabilillah maka insyaallah semua akan menuai pahala. Bahkan banyak cerita dari orangtua yang memiliki anaknya menuntut ilmu di pesantren, mereka menemukan kemudahan-kemudahan dalam bab rizqinya.
            Teruslah pupuk diri ini dengan nasihat-nasihat positif dan motivasi diri setiap saat. Bahwa segala sesuatu asal mau minta ke Yang Maha memiliki insyaallah Allah akan membantu. Belum ada cerita orangtua yang jatuh miskin karena anaknya masuk pesantren. Yang ada malah sebaliknya usaha orangtuanya tambah barokah.

2. Masa Depan Suram
            Selain faktor biaya ada juga ketakutan orangtua yang bila memasukkan anaknya ke pondok pesantren, maka masa depan sang anak suram. Atau ada juga yang menganggap sang anak ketinggalan zaman yang bisanya Cuma agama saja dan kalah bersaing dengan sekolah umum lainnya.
            Sedih juga sih sebenarnya kalau mendapati orangtua yang mempunyai anggapan demikian. Padahal kalau dibandingkan dengan sekolah umum, dalam hal pelajaran sama saja. Karena lembaga pendidikan pesantren ini selalu mengguanakan kurikulum diknas yang notabene sama dengan sekolah umum lainnya. Hanya saja kurikulum keagamaannya ditambah dengan kajian khusus khas pesantren. Bahkan karena diasramakan inilah santri jadi bebas berkreasi dan tidak membuang waktu karena dipantau terus oleh pengurus pondok.
            Jadi yang membuat suram dan tidaknya masa depan seseorang atau anggapan kalah bersaing, bukan karena pesantrennya. Tapi  kembali ke santri dan kemauan keras untuk mengubah keadaan. Saya kasih contoh, keponakan saya yang Alhamdulillah saat ini sudah masuk di Perguruan Tinggi Negeri waktu di pesantrennya bahkan menjadi utusan kota Kuningan untuk mengikuti ajang olimpiade Biologi tingkat propinsi Jawa barat. Dan untuk menjadi utusan dari daerah itu tidaklah gampang, karena harus bersaing dengan SMA umum di Kuningan dan akhirnya bisa mendapat nilai tinggi dan layak mengikuti ajang bergengsi itu. Hal ini membuktikan bahwa anggapan miring, bahwa anak pesantren kalah bersaing, itu hanya isapan jempol semata. Insyaallah ke depannya dibahas juga tentang orang-orang sukses yang merupakan alumni dari pondok pesantren.
            Dalam surat Ar’d ayat 11, Allah menegaskan “Seseungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka” 

3. Faktor Gengsi
            Faktor ini terkadang hadir kepada orangtua. Entah darimana asalnya, entah dari obrolan bersama saat arisan, entah karena hasil tontonan di televisi. Yang jelas ada orangtua yang menilai bahwa menyekolahkan anaknya ke pesantren tak memiliki gengsi. Bisanya Cuma minta sumbangan, gaya hidupnya yang ketinggalan zaman bahkan ada yang bilang kalau pesantren khusus buat anak yang memiliki Nilai Ujian Nasional (NUN) yang rendah. Jadi malu dong memiliki anak dengan NUN tinggi tapi harus masuk pesantren.
            Fenomena ini tentunya dampak dari gaya hidup yang menyilaukan mata sehingga salah menilai terhadap pendidikan sejenis pesantren. Orangtua sejenis ini pula, dia akan merasa bangga kalau anaknya tampil seronok dan menghibur di acara musik. Dan penampilan seperti ini tak mungkin didapat di dunia pesantren. Bahkan demi gaya hidup ini pulalah, mereka rela mengeluarkan uang banyak dan menjejali si anak dengan berbagai macam les demi melampiaskan obsesi dirinya. Tak jarang anak sebenarnya tidak membutuhkannya dan bahkan merasa kelelahan dengan aktivitas diluar kemampuannya.

4. Ketakutan Akan Isu Terorisme
            Dalam satu dekade terakhir, muslim di Indonesia bahkan dunia tengah diuji karena berbagai kejadian radikal yang kemudian disematkan kepada pelaku tersebut sebagai teroris. Dan diantara mereka ada yang merupakan lulusan pesantren. walaupun hanya satu atau dua orang yang berbuat terorisme, akan tetapi hal ini telah menjadi pencorengan atas nama baik pondok pesantren yang pada ujungnya ada beberapa orangtua yang merasa takut kalau memasukkan anaknya ke pondok pesantren.
            Fenomena ini akhirnya membuat Kementrian Agama menguji ulang akan kurikulum yang diterapkan di pondok pesantren. Dan setelah melakukan riset ke pesantren-pesantren ternyata pihak kementrian agama tidak sedikitpun menemukan kurikulum yang berhunbungan dengan terorisme dan radikalisme. Kalaupun ada orang yang melakukan tindakan radikal tersebut, ternyata itu karena pengaruh luar yang tidak ada hubungannya dengan pondok pesantren.
            Dengan demikian tidaklah benar kalau pondok pesantren merupakan tempat penyemaian teroris yang bermuara pada kekerasan. Dan ini kaitannya dengan media pemberitaan yang begitu dahsyat, sehingga nampaknya sangat menakutkan kaum orangtua sehungga tidak memasukkan putera-puterinya belajar di pondok pesantren.
            Baru-baru ini dunia dikejutakan dengan aksi teror bom di kota Paris ibukota Prancis yang berdasarkan laporan mencapai 129 orang korban meninggal dunia dari aksi teror tersebut. Lagi-lagi kalangan yang paranoid terhadap islam mereka mencap sama bahwa islam adalah teroris. Hal ini pula yang membuat seorang pemuda muslim Paris berusaha mengajak warga untuk tidak berburu-buru membenci komunitas muslim. Pemuda itu berdiri di kawasan Taman Place de la Rpublique, mengikat matanya, sambil membawa papan bertuliskan,”saya seorang muslim, saya disebut teroris. Saya percaya anda, apakah anda percaya saya? Jika percaya, silahkan peluk saya.”
            The sun melaporkan, Rabu(18/11/2015), ratusan orang mendekat pemuda itu lalu memeluknya. Ada yang menyemangatinya, ada juga pengunjung taman tersebut menangis di pelukan pemuda itu. Pemuda yang tak disebut namanya itu berdiri dari pagi hingga petang.
            Tindakan pemuda tersebut sebetulnya sebuah ungkapan bahwa sebenarnya muslim sejati tidak akan melakukan kebrutalan semacam itu. Karena pembunuhan terlarang dalam Islam.


Ratusan pengunjung memeluk sang pemuda muslim di Taman Place Paris Perancis

5. Tak Mau Berjauhan Dengan Si Buah Hati
            Alasan seperti ini banyak saya temui di masyarakat. “mau sih mau, masukkin anak ke pesantren, tapi kasihan nanti dia gimana dong, apa-apa harus sendiri dong....”, ada juga yang bilang,”jangankan 3 atau 6 tahun jauh dari anak barang seminggu saja saya tak kuasa”. Kalimat lainnya yang bernada sama, yaitu enggannya orangtua berpisah lama-lama dengan sang anak memang beragam.
            Alasan orangtua seperti ini setidaknya pernah terjadi pada oragtua saya. Makanya saya masuk pesantren, setelah berumur 15 tahun selepas SMP. Pada awalnya selepas SD orangtua sempat mau memasukkan saya untuk belajar di pondok pesantren. Tapi karena perasaan tak tega atau berjauhan dengan anak akhirnya baru terlaksana ketika mau masuk SMA. Lagi pula dari segi kemandirian, terkadang anak lelaki  agak telat dibanding anak perempuan. Mungkin itu juga yang menjadi alasan lain sehingga saya telat masuk pondok.
            Sebenarnya perasaan tak mau berjauhan dengan anak, sangat wajar terjadi pada setiap orangtua. Maklum saja kebersamaan yang tercipta selama ini pastinya telah melahirkan kedekatan tiada tara antara orangtua dan anak. Akan tetapi jangan terlalu berlebihan dalam mensikapinya. Toh, si anak juga di pondok Cuma beberapa tahun. Lagipula  saat liburan semesteran, biasanya santri diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Barterkan antara waktu berpisah dengan anak ini dengan keberhasilan si anak di masa yang akan datang.
            Boarding school atau pondok pesantren tentunya berbeda dengan sekolah umum kebanyakan. Dari segi kebiasaan dan aturan tentunya berbeda dengan di rumah orangtua. Contoh kecil saja, pulang sekolah si anak bisa bermain dulu sama temannya dan sedatangnya di rumah anak akan bebas mengambil makanan di meja makan.  Begitu juga urusan mandi dan kebutuhan toileting lainnya. Kalau di rumah anak akan bebas masuk kamar mandi, sementara di pondok anak harus rela mengantri dengan temannya yang lain. Dan masih banyak lagi yang semuanya bisa membuat anak mengalami “culture shok”. Oleh karenanya orangtua yang terlalu care terhadap anak akan merasa ketakutan bila si anak harus masuk pesantren.
            Untuk mengantisipasi tentunya jauh-jauh hari anak harus dibiasakan atau sengaja diberi pengertian tentang apa dan bagaimana hidup di pesantren. Mengajak anak survey ke pesantren-pesantren bisa juga sebagai sarana memperkenalkan anak  tentang kebiasaan yang akan terjadi di pesantren. dengan cara demikian setidaknya ada gambaran bagi anak tentang pondok pesantren itu seperti apa.
            Intinya buat para orangtua, tak perlu khawatir yang teramat sangat jika harus berpisah. Karena di pondok juga mereka ada yang membimbing. Dan tiap kamar ada juga ketua kamarnya. Biarlah mereka bergaul dan menyesuaikan dengan keadaan yang akan membuat anak lebih mandiri dibanding kalau tinggal di rumah.
            Disaat ada orangtua yang tak mau berjauhan sama anak, ternyata ada juga kebalikannya. Justru saya sempat menemukan beberapa orang yang justru mereka berani melepaskan anaknya pada usia SD bahkan usia Paud. Tujuannya tentu baik karena ingin memiliki anak yang mumpuni di  bidang keilmuan. Tapi untuk masalah ini saya tidak setuju, karena anak juga mempunyai hak yang harus dia dapatkan. Anak membutuhkan belaian atau sentuhan kasih sayang dari orangtuanya. Belaian hangat yang menemani hari-hari indah pada anak justru akan menjadi kenangan terindah bagi anak. Begitupun sebaliknya orangtua juga akan memiliki kenangan bersama anaknya yang masih kecil. Perjalanan hidup seseorang itu sangat cepat perputarannya. Barangkali kita sering mendengar,” perasaan baru kemarin anak ini ditimang-timang, koq sekarang sudah gadis lagi” atau “masih ingat loh ketika kamu menggunakan seragam putih abu-abu,  sekarang koq sudah nimang anak” dan masih banyak lagi ungkapan yang membuktikan bahwa hidup di dunia ini terasa begitu cepat. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi orangtua benar-benar mencurahkan kasih sayang ketika dia belia. Berikan pengetahuan mendasar kepada anak agar tidak kaget ketika didapatinya level kehidupan berikutnya.
            Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan penempaan terhadap santri agar menjadi manusia berkarakter. Akan tetapi sebenarnya orangtualah yang akan diminta pertanggungan jawab di yaumul hisab. Jangan serta merta karena kita beralasan sibuk, atau karena kita tak mau anak terkontaminasi dengan pergaulan salah yang ada di lingkungan kita, akhirnya dengan teganya “buang anak” ke pesantren padahal masih usia lucu-lucunya. Mohon maaf kalau saya memberi istilah buang anak. Karena saya yakin, seorang anak membutuhkan sambutan hangat dan kematangan emosi melalui orangtuanya. Bukan dia dapatkan dari ustadz atau ustadzahnya. Barangkali para asatidz bisa memberikan kecupan anak sama santrinya yang masih kecil-kecil itu. Tapi apakah setiap hari mendapatkan perlakuan seperti itu. Berbeda dengan orangtua sendiri yang dapat memberi penghargaan-penghargaan kecil kepada diri anak kapan saja dan dimana saja. Walaupun penghargaan tersebut hanya berupa senyuman dan ciuman.
            Jadi usia yang pas menurut saya ketika masuk pesantren adalah ketika anak sudah berada pada tahap sempurnanya kematangan emosi anak. Yang dimaksud kematangan emosi disini adalah dimana kondisi seseorang mencapai tingkat kedewasaan dan mulai dapat mengontrol emosinya. Dan biasanya keadaan seperti ini dapat ditemui pada anak yang sudah lulus Sekolah Dasar. Terutama pada anak perempuan, sementara anak lelaki biasanya setelah mengalami akil baligh. Dan balighnya anak laki-laki biasanya di usia kelas 8 atau 9 SMP. Tapi tak mungkin kan kalau masuk pesantren ditengah-tengah tahun pelajaran.
6. Takut Tidak Betah
            Sering kejadian sudah cape-cape masuk pesantren eee..... ternyata beberapa hari saja si anak sudah nongol lagi di rumah. Bahkan ada yang sampai bela-belain jalan kaki segala. Ada juga yang cuma gara-gara sakit kepala, karena tak berani berbicara sama pembimbing akhirnya kabur. Dan masih banyak lagi cerita-cerita santri yang tidak merasa betah di pondok pesantren.
            Hal ini tentunya menjadi permasalahan baru di rumah. Bisa jadi karena pada awalnya anak merasa dipaksa supaya masuk pesantren atau bisa jadi pula karena aturan yang mengikat di pesantren sehingga anak tak merasa nyaman. Atau bisa jadi pula karena ada masalah baru yang dialami santri di asrama. Karena para santri biasanya datang dari berbagai daerah dengan latar belakang dan budaya yang beraneka ragam. Sehingga di awal-awal terjadi gesekan-gesekan.
            Sebagai orang yang pernah hidup di pondok pesantren, tentunya saya mengalami faktor ketidakbetahan ini. Biasanya berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan kecil dari rumah. Apalagi bagi anak yang dimanja oleh orangtuanya di rumah, sehingga tingkat kemandiriannya sangat rendah.  Belum lagi kalau di asrama banyak tulisan-tulisan dari kakak angkatan yang menempel di dinding-dinding dengan nada pencurahan hati yang bermakna tidak betah. Tulisan tersebut biasanya lahir dari hati yang jujur sebagai ungkapan rasa bosan atau tidak betah. Hal ini juga menjadi pemicu santri baru sehingga tidak kerasan tinggal di pondok pesantren.
            Untuk mengantisipasi ketidakbetahan ini, sebelumnya harus sudah dipikirkan jauh-jauh hari oleh orangtua yang akan memasukkan anaknya ke pondok pesantren. memaksa anak juga bukan sebuah solusi kalau malah akan menjadi bumerang di kemudian hari bagi anak maupun bagi orangtua itu sendiri. Berbicara dari hati ke hati sangat dibutuhkan sebagai langkah antisipasi. Memperkenalkan aturan yang ada dan interview langsung ke santri yang sudah ada duluan bisa juga dilakukan, tetapi dengan santri yang betah tentunya.  Bagi orangtua yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren tentunya hal ini sangat mudah dilakukan. Tinggal di sesuaikan saja dengan keadaan sekarang.
            Kalau dibandingkan dengan keadaan dulu sangat berbeda dengan pondok pesantren zaman sekarang. Waktu saya dulu, pesantrennya cukup murah dan sesuai dengan fasilitas yang ada. Sebelum berangkat sekolah jangan harap ada bibi loundry yang siap mencucikan pakaian kita. Bahkan untuk makanpun kita harus memasak sendiri dengan bahan bakar kayu seadanya. Warung nasi di sekitar pondok juga ada, tapi mama kiyayi yang merupakan orang sentral di pondok selalu berpesan,”biar lebih berkah dalam menuntut ilmu, ada baiknya masak sendiri jangan dibiasakan membeli di warung”. Terlepas dari ucapan beliau saya memaknai karena di pondok temapatnya qonaah, tempatnya menempa diri agar hidup dalam kesederhanaan.
            Lain dulu lain juga sekarang, pondok pesantren sekarang banyak yang difasilitasi dengan kantin dan tukang cuci sendiri. Sehingga kesempatan belajar lebih banyak dan lebih fokus dalam melaksanakan tugas sebagai santri. Tidak terinterupsi oleh hal-hal pribadi seperti memasak atau mencuci baju. Tetapi dengan keadaan yang cukup nyaman seperti itu tetap saja ada santri yang merasa tidak betah. Ini dikarenakan banyak faktor yang sangat kompleks yang mendorong santri sehingga memutuskan untuk pulang ke rumah.
            Selain komunikasi kepada santri di jauh-jauh hari sebelum masuk pesantren, bisa juga santri yang sudah terlanjur masuk bisa diarahkan dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Di sela-sela belajar antara pesantren dengan sekolah santri bisa dilibatkan dengan kegiatan yang bisa mengurangi kejenuhan. Diantaranya untuk santri ikhwan disediakan sarana olahraga seperti putsal, dan untuk yang akhwat bisa disesuaikan dengan minat keakhwatan. Atau bisa juga dengan memperbanyak tilawah, dengan tilawah biasanya akan terpancar rasa tenang, rileks, dan mengisi waktu juga. Dan yang terpenting rajin-rajinlah para orangtua dan santri memohon kepada Allah agar diberikan rasa betah dan semangat mencari ilmu di pondok pesantren.
            Kalau pengalaman saya dulu, karena tinggal di pondok pesantren yang berada di daerah yang masih asri kala itu, dalam mengisi waktu agar tak jenuh suka melakukan rekreasi kecil bersama teman walaupun Cuma berjalan kaki di pematang sawah atau mandi di sungai yang tak jauh dari lingkungan pondok. Terkadang pula kalau pas hari minggu ada salah seorang asatidz yang mengizinkan menonton televisi di rumahnya. Pokoknya semua dibikin happy deh agar tidak ingat dengan kata tidak betah.
            Semua tergantung kepada orangtuanya, kalau memang anak tidak betah dan sudah berbagai cara tidak bisa meluluhkan hati si anak, sebagai orangtua kita tak perlu memaksa terhadap anak. Kalaupun dipaksa, maka anak nantinya merasa terbebani sehingga alih-alih ingin anak berakhlak mulia malah bisa jadi sebaliknya dan anak jadi pembangkang. Mintalah selalu sama Allah agar anak diberikan kemudahan dalam hal mencari ilmu demi bekal hidup di dunia dan akhirat.
            Mencerna perasaan anak adalah tugas orangtua secara bijak, selami perasaan anak dan apa maunya anak. Jangan merasa malu pada oranglain ketika anak harus berhenti di tengah jalan. Jangan merasa khawatir atau jengkel karena telah membuang waktu dan biaya tapi ternyata anak tidak merasa kerasan tinggal di pondok. Karena ketika kita mengeluarkan biaya tersebet sebenarnya telah Allah catat sebagai satu kebaikan. Dan yang namanya kebaikan pastinya Allah akan menggantinya. Tapi tidak serta merta menerima alasan yang dilontarkan oleh anak, makanya menyelami perasaan anak itu yang sangat prioritas.
            Oia, ada satu pengalaman kecil ketika saya pernah merasakan tidak betah di pondok. Waktu awal-awal masuk suasana asing dan ketidaknyamanan menerpa dan saya bikin perjanjian ke orangtua, agar seminggu sekali menjenguk ke pondok. Perjanjian itu saya langgar sendiri, bukan orangtua yang menjenguk tapi malah saya yang pulang ke rumah seminggu sekali. Sudah barang tentu kalau di rumah semua serba enak, tidak terikat dengan aturan yang selama ini di terapkan. Ternyata dengan sering pulang seperti ini bukannya menjadi betah, malah membuat tidak betah. Namun alhamdulillah hal ini tak berlangsung lama, dan sepertinya orangtua saya pintar dan bisa menyelami perasaaan saya. Sehingga akhirnya merasa enjoy lagi di pondok. Itulah sebabnya mengerti perasaan anak sangat penting dan menjadi prioritas dalam keberlangsungan pendidikan anak.
            Sebelum saya akhiri artikel ini yang insyaallah masih berlanjut, saya akan menyampaikan pesan KH Hasan Abdullah Sahal  pimpinan pondok moderen Gontor untuk orangtua santri ;
            “Kalau mau mempunyai anak yang bermental kuat, orangtuanya harus lebih kuat, mempunyai anak itu jangan hanya sekedar sholeh tapi bermanfaat juga buat umat, orangtua harus berjuang lebih.... ikhlas....iklhlas...ikhlas.
            Anak-anakmu di pondok pesantren tidak akan mati karena kelaparan, tidak akan bodoh karena tidak ikut les ini dan itu. Tidak akan terbelakang karena tidak memegang gadget.
            Insyaallah anakmu akan dijaga langsung oleh Allah karena sesuai janji Allah yang akan menjaga Alquran.... yakin....yakin... dan harus yakin.
            Lebih baik kamu menangis karena berpisah sementara dengan anakmu, karena menuntut ilmu agama daripada kamu nanti “yen wes tuwo nangis karena anak-anakmu lalai urusan akhirat. Kakean mikir ndunyo, rebutan bondo,pamer rupo, lali surgo.”

Wallohu alam bishowab, insyaallah  artikel ini masih berlangsung.             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar