Penayangan bulan lalu

Senin, 21 Desember 2015

JADI SANTRI KOQ TAKUT......!



santri putera pp modern Albasyariyah cigondewah Bandung


            Kengerian para orangtua zaman sekarang karena melihat fakta yang ada tentang pergaulan anak-anaknya membuat mereka berpikir dan mencari solusi untuk dapat keluar dari permasalahan ini. Upaya para orangtua tua tersebut beragam pula, ada yang rajin ikut seminar parenting, ada yang membiasakan kajian keislaman tentang bagaimana mengurus anak. Ada juga yang mencari referensi lewat bacaan, kemudian ada yang sampai menggunakan jasa pembimbing agar bisa menjadikan anaknya lebih baik. Bahkan ada juga yang memproteksi anaknya dengan tidak bergaul dengan dunia luar.
            Semua yang dilakukan orangtua yang peduli terhadap anaknya tersebut, insyaallah akan membuat sebuah amalan ibadah yang berpahala di mata Allah. Orangtua semacam ini boleh jadi telah menyadari bahwa peran orangtua yang diembankan terhadap dirinya merupakan sebuah amanat yang harus ditunaikan atau tugas besar yang dimandatkan Allah  kepada dirinya. Mendidik dan mengajarkan suatu kebaikan terhadap anak adalah tugas mulia orangtua sepanjang hayat. Sebuah perjuangan tiada henti agar anaknya mengenal Allah dan Rasulnya sehingga tujuan akhirnya selamat di dunia dan akhirat.
            Sedari kecil yang dimulai ketika anak dalam kandungan, hingga lahir, masa kanak-kanak dan terus sampai besar,bahkan sampai anak menikahpun orangtua senantiasa memberikan perhatian penuh terhadap kita sebagai anak-anaknya. Hanya saja perhatian yang penuh cinta ini terkadang runtuh karena ada faktor-faktor lain yang membuat anak jauh dari harapan. Misalnya anak tidak mau sholat, menghardik orangtua, selalu memaksa kehendaknya sendiri atau tindakan negatif lainnya yang membuat orangtua menangis.
            Menyimpangnya anak yang keluar dari harapan orangtua, sebetulnya tidak juga kesalahan pendidikan di dalam rumah. Ada faktor pendukung dari luar yang membuat anak tidak sesuai dengan cita-cita orangtua. Apalagi zaman sekarang dengan kondisi yang serba mudah dengan era digital yang serba canggih, gadget yang dengan amat mudah anak bergumul dan mengakrabi barang tersebut yang tak pernah ditemui oleh orangtua waktu kecil di zamannya. Pengaruh luar inilah yang memiliki andil besar dalam membentuk karakter anak sehingga menyimpang dari skenario yang islami.
            Fenomena seperti inilah yang membuat para orangtua terpanggil untuk memasukkan anaknya ke basis pondok pesantren atau boarding school. Orangtua berkeyakinan bahwa dengan memasukkan anaknya ke pondok pesantren  maka ketakutan-ketakutan yang diutarakan diatas dapat dihindari. Karena di pondok, anak bisa belajar untuk lebih dalam tentang agama. Karena orangtua percaya bahwa pendidikan agama merupakan fondasi yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sehingga dapat membentuk manusia yang dapat melaksanakan tugasnya sebagai abdi Allah. Karena tugas manusia di dunia ini tak lain dan tak bukan adalah untuk beribadah kepada Allah.
            Tujuan orangtua tersebut sangatlah mulia, tapi akan lebih mulia lagi kalau semua kebutuhan akan ilmu agama ini datang dari orangtua sendiri. Akan tetapi pada kenyataannya justru anak tidak sepenuhnya mendapatkan yang paling berharga ini dari orangtuanya. Hanya sebagian kecil dari para orangtua muslim yang sungguh-sungguh  membina anaknya tanpa campur tangan orang lain. Dan kalaupun ada campur tangan orang lain,  porsinya yang dominan adalah di tangan orangtuanya. Biasanya anak-anak seperti ini yang lahir dan besar di lingkungan agama yang kuat seperti pesantren. Bisa juga orangtua yang betul-betul memegang prinsif dengan cara home schooling, sehingga orangtua  berperan sebagai  guru atau ustadz bagi anak-anaknya.
            Harapan orangtua tersebut tidak selamanya sejalan  dengan apa yang menjadi keinginan sang anak. Sehingga banyak orangtua yang akhirnya memaksa anak untuk mau mondok. Dan disinilah biasanya akan terjadi konflik antara kedua belah pihak. Dan konflik yang terjadi ini kalaulah dibiarkan maka akan menjadi boomerang buat anak. Terkadang ada  dalam pikiran orangtua, dengan memaksa anak ke pondok lama-lama juga anak akan merasa betah dan terbiasa dengan lingkungan pesantren. Untuk usia SMP hal memaksa anak ini bisa jadi berhasil karena untuk anak usia ini kematangan dalam emosi dan rasa takut sama orangtua cenderung masih ada. Akan tetapi bagi anak seusia anak SMA yang tentunya sudah mengalami masa pubertas hal ini tentu tidaklah gampang. Orangtua harus bekerja ekstra untuk dapat mengendalikan anaknya tersebut. Atau lebih tepatnya memberi arahan yang tepat agar anak benar-benar sejalan dengan keinginan orangtua.
            Sudah menjadi kelaziman di Indonesia bahwa masyarakat kita memasukkan anak ke pesantren pada usia masuk SMP atau SMA yakni di kisaran usia 12-15 tahun. Dan usia ini merupakan usia pubertas yang menurut Elizabeth B Hurlock dalam Developmental Psychology (1968) termasuk pada masa remaja awal. Menurut Hurlock masa remaja terbagi dari tiga fase, yaitu :
1.      Pada usia 12-15 tahun termasuk fase remaja awal
2.      Pada usia 15-18 tahun termasuk fase remaja pertengahan
3.      Pada usia 18-21 tahun termasuk fase remaja akhir
Masa pubertas ini juga merupakan awal perpindahan dari anak-anak menjadi dewasa. Dari segi fisik kita mengenal mereka sudah besar dan mereka umumnya tidak mau diperlakukan seperti anak kecil lagi. Sementara dari kematangan pemikiran ataupun emosional mereka belum seperti orang dewasa dengan tanggungjawabnya. Dan biasanya konflik antara anak dan orangtua sering muncul pada usia ini.
            Allah menciptakan segala di alam semesta ini selalu beragam, begitupun perkembangan tumbuh kembang anak tiadak selalu sama karena banyak faktor pendukung yang mempengaruhi pertumbuhannya. Dari fase anak ke remaja hal yang paling banyak mempengaruhi perkembangannya biasanya ada pengaruh faktor keturunan dan lingkungan. Faktor lingkungan ini biasanya meliputi, lingkungan keluarga, baik buruknya asupnya gizi, pengaruh teman sepermainan,informasi yang didapat melaui media, aktivitas keseharian, dan lain-lain. Sehingga patokan umur yang diklasifikasikan oleh hurlock tak selamanya sama untuk masa sekarang. Kita bisa perhatikan di era tahun 80’an anak perempuan mengalami haid pertama rata-rata pada usia 13 tahun lebih. Akan tetapi di era sekarang anak SD  kelas 5 saja bahkan ada yang masih kelas 4 yang usianya pada kisaran 9 atau 10 tahun akan tetapi mereka sudah mengalami haid  atau mensturasi.
            Untuk anak laki-lakipun sama, kalaulah di era 80’an masih mudah menemukan mereka di mushola untuk mengaji, bermain tradisionil dengan teman sebayanya walaupun usianya sudah masuk masa remaja awal. Tetapi untuk zaman sekarang terkadang membuat miris orangtua, karena yang mereka lakukan adalah kongkow di warnet, main game, nyanyi-nyanyi walaupun di waktu maghrib sekalipun. Bahkan tak jarang yang  sudah berani mengganggu lawan jenisnya. Pergeseran nilai seperti ini karena efek globalisasai dan informasi yang tidak terkontrol dan mau tidak mau akan menjadi PR bagi para orangtua.
            Di masa remaja seperti inilah maka biasanya sudah mulai banyak konflik yang terjadi antara anak dan orangtua. Namun sebetulnya konflik yang terjadi hanya merupakan kejadian-kejadian keseharian yang sebetulnya sangat sederhana. Diantaranya anak tidak suka merapikan tempat tidurnya, menyimpan kaos kaki sembarangan selepas sekolah, menonton televisi sampai lama, asyik main gagdet dengan melupakan Pekerjaan Rumah dan masih banyak hal pemicu konflik yang sungguh membuat dahi orangtua berkerut.
            Dan kalau hal ini dibiarkan terjadi setelah anak masuk pesantren maka bisa membuat problem bagi anak dan terlebih bagi lingkungan pondok. Oleh karena itu maka sejak dini orangtua harus menanamkam bagaimana membuat anak lebih terampil dan memposisikan diri sebagai pribadi mandiri setelah hidup berjauhan dengan orangtuanya. Bagi anak gadis yang sudah haid sebelum masuk pesantren mungkin tidak terlalu sulit untuk menerapkan tatacara   dalam menghadapi mensturasi ini karena sudah diajarkan langsung di rumah oleh ibunya. Tapi bagi anak gadis yang kemudian ternyata mengalami haidnya di pondok, hal ini akan jadi kebingungan bagi dirinya. Dengan demikian hal-hal mendasar seperti ini harus diwanti-wanti oleh orangtuanya terutama bagi ibunya.
            Keterbukaan antara anak dan orangtua sangatlah penting, sehingga komunikasi harus terus dijaga. Sampaikanlah kepada anak dengan perlahan-lahan soal alasannya sehingga berhasrat untuk memasukkan anaknya ke pesantren. Begitupun orangtua harus mau mendengarkan pendapat anaknya sehingga ada komunikasi yang seimbang dan pada gilirannya terjadi sebuah kesepakatan.
            Kalau dalam tulisan terdahulu saya menyampaikan faktor-faktor ketidaktarikan orangtua untuk memasukkan anaknya ke pesantren, kalau saat ini justru saya akan memaparkan hal apa saja yang membuat anak tidak tertarik untuk belajar di pondok pesantren. ketidaktertarikan anak ternyata lebih banyak daripada ketidaktarikan orangtua.

asrama puetri pp alaqsho Sumedang Jawabarat 

Berikut saya akan paparkan hal apa saja yang membuat anak enggan untuk tidak mau mondok :

1. Takut Tidak Menguasai Pelajaran Karena Banyaknya

Pelajaran di boarding school atau di pesantren sudah tentu akan berbeda denga pelajaran yang ada pada sekolah umum. Hal ini dikarenakan perpaduan antara pelajaran umum dan pelajaran agama atau kitab yang diajarkan pada setiap pondok pesantren. Walaupun secara kwantitas memang banyak yang diajarkan, akan tetapi sebenarnya ustadz disana juga tetap memahami keadaan santri sehingga bisa disesusaikan dengan kemampuan. Santri yang pertama datang tidak akan sama dalam porsinya dengan santri yang sudah masuk setahun lalu misalnya.

2. Malu Sama Teman

Biasanya ini terjadi kalau di diri anak sudah tertanam bahwa sekolah favorit adalah sekolah yang bagus. Sekolah negeri yang jadi idola telah mempengaruhi pikirannya. Hal ini dikarenakan pengaruh yang dia dapatkan di sekolah atau iklan di media.  Sehingga demi ingin masuk di sekolah pilihan sampai rela mengeluarkan uang lebih untuk les tambahan atau bimbel. Anak yang akan masuk pesantren kemudian nila ujiannya mumpuni untuk masuk di sekolah favorit, lalu orangtuanya memasukkan ke sekolah yang bukan pilihannya terkadang dia merasa malu sama temannya.
 Orang lain ada yang dengan susahnya ingin mendapatkan nilai yang bagus bahkan dengan rela menyogok agar mendapatkan nilai tinggi, sementara yang nilai tinggi harus masuk ke sekolah yang ada pesantrennya. Selain itu rasa malu juga bisa timbul karena menilai bangunan fisik sekolah di pesantren. Di zaman saya waktu mondok, bangunan sekolah memang tidak terlalu megah, bahkan untuk lantai atas saja terbuat dari kayu . Sehingga kalau ada yang berjalan terlalu kencang di lantai atas, penghuni kelas yang dibawah bisa mendengarnya. Dengan bangunan seperti itu banyak calon santri yang berpikir mengurungkan niatnya untuk mondok di situ.
Padahal setelah saya masuk kesana, kegiatan belajar mengajarnya sama saja dengan sekolah yang lain pada umumnya. Guru pengajarnyapun banyak yang mengajar juga di sekolah pavorit, Hanya bangunannya saja yang belum diperbaiki karena terbentur masalah biaya. Maklum pondok pesantren darul mutaallimin tempat saya mondok tersebut tidak mematok bayaran tinggi. Yang utama adalah transfer ilmu dari para asatidz yang sampai kepada para santri. Luarbiasa memang kalau dibandingkan dengan guru zaman sekarang yang mempunyai gaji tinggi.

3.  Banyak Aturan Sehingga Tidak Bebas

            Soal banyak aturan ? Itu wajar saja , di rumah saja ada aturannya. Di sekolah umum juga semua ada tata tertibnya, dan disemua keadaan apapun, kita tak terlepas dari yang namanya aturan atau norma-norma yang harus diterapakan. Dan yang namanya peraturan sifatnya sama yaitu mengikat dan biasanya berbanding lurus dengan sangsi atau hukuman.
Peraturan yang diterapkan di pesantren semata-mata karena untuk kemajuan para santri dan sebagai bukti bahwa para asatdzid/asatidzah  bertanggung jawab penuh atas mandat yang diberikan dari orangtua santri. Dan peraturan yang ada sekarang tidak begitu kaku seperti zaman saya dulu di pondok. Kalau dulu masih ada usatdz  yang terkesan angker bahkan tak segan-segan membawa alat pemukul semacam rotan. Kalau sekarang sepanjang saya survei ke pondok-pondok dalam rangka membuat ini tulisan, hal seperti itu sudah tidak ada lagi.
Saya sempat ngobrol juga dengan salah seorang santri pondok pesantren modern Albasyariyah cigondewah Bandung, pesantren ini merupakan cabang dari  Pesantren Gontor Jawa Timur yang sudah terkenal itu. Dikenal cabang Pesantren Gontor sebenarnya hanya karena pendiri dan pengelola merupakan alumni Gontor. Sehingga hal ikhwal tentang kepesantrenan, tata cara ataupun kurikulum mengadopsi ke pesantren tersebut. Santri ini saya tanya soal peraturan di pondok apakah terasa memberatkan atau bagaimana. Dan dia menjawab,”Justru dengan peraturan kami bisa lebih disiplin dan teratur, bahkan saya merasa menyia-nyiakan waktu kalau ingat sewaktu di rumah yang sepulang sekolah hanya menonton televisi saja. Tapi disini kami diatur dalam segala hal, sampai jadwal tidurpun diaturnya. Awalnya terasa mengekang tapi setelah seminggu terasa biasa dan senang saja kami menerimanya”.
            Maka dengan demikian sebetulnya pikiran takut dikekang itu hanya hembusan-hembusan yang didasari sifat manusia yang tak ingin diatur. Kalau dari dialog saya dengan santri albasyariah tersebut dia bilang,”kita harus membentengi diri dari pengaruh syaithan yang selalu ada di sekeliling kita” ujarnya. Wah..... mendengar ucapan santri ini saya betul-betul tercengang karena jawaban itu keluar dari santri yang baru  kelas 3 SMP. Pikiran saya membandingkan dengan diri sendiri karena saya masuk pesantren setelah lulus SMP dan sepertinya tak akan bisa mengeluarkan kalimat positif seperti itu. Maka ketakutan akan ketatnya peraturan buanglah jauh-jauh dari pikiran, karena peraturan dibuat semata-mata untuk supaya kita lebih baik dan berarti di depan masyarakat dan baik di hadapan Allah tentunya.
            Seorang santri tidak akan sesuka hatinya untuk bisa pulang dan pergi dari pondok. Tetapi beberapa prosedur harus dilaluinya. Hal ini membuktikan bahwa santri dituntut juga untuk menghargai waktu dan belajar bersabar. Sehingga pada gilirannya akan menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting jika telah terjun ke masyarakat.

contoh tata tertib di pp alaqsha Sumedang

4. Norak atau Kampungan

            Kata “norak” kalau dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua makna,
1. Merasa heran atau takjub melihat
2. Sangat berlebih-lebihan. kurang serasi (tentang dandanan dan sebagainya). Norak atau kampungan yang dimaksud disini karena anak-anak membandingkan dengan dunianya yang mereka alami sekarang ini. Zaman sekarang segala sesuatu harus sering update dari mulai  Gaya busana, gaya rambut, cara berbicara, bahasa gaul atau istilah baru yang digunakan secara kekinian semua harus tampil up to date. Bahkan yang paling mengerikan pacaranpun sudah dimasukkannya sebagai sesuatu yang harus ada di diri mereka.
Memang tidak dipungkiri kalau santri biasanya identik dengan sarung dan peci bagi laki-laki dan rok panjang serta jilbab yang terkesan monoton yang digunakan santri perempuan.  Bahkan untuk urusan matching atau tidaknya santri tak begitu mempedulikannya, karena tujuan berbusana adalah melaksanakan kethaatan sebagai muslim dan muslimah yang  harus menutup aurat.
Begitupun dalam hal bahasa yang sepertinya kurang gaul untuk ukuran kekinian. Padahal coba kita lihat  di pondok seperti assalam Sukabumi, alittihad cianjur dan pondok pesantren lainnya yang menerapkan bahasa pergaulannya sehari-harinya adakah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Pokoknya bisa bikin minder deh kalau kita mendengar mereka langsung bercakap-cakap. Apakah hal ini norak?
 Begitu juga dalam hal busana, kalau dulu barangkali peci dan sarung sudah identik dengan status santri, tapi untuk ukuran sekarang bila kita  jalan-jalan ke pesantren nurulfikri Madani Lembang disana menggunakan sarung sudah tidak menjadi keharusan. Tapi coba perhatikan, dengan berpakaian seperti umumnya pelajar tapi mereka tak lepas interaksi dengan Alquran bahkan sudah banyak yang menjadi hafidz dan hafizah. Apakah ini kampungan ?
Pesantren zaman sekarang malah sudah pandai melihat kekinian yang terjadi, kalaulah dulu paling santri diarahkan hanya untuk bercocok tanam dalam hal extra kurikulernya, kalau sekarang malah banyak santri puteri yang diajarkan pula dalam hal menjahit dan fashion. Sehingga diharapkan setelah mereka keluar dari pondok bisa lebih mandiri dari hal financial. Dan tentunya hal ini bisa membuat penampilan orang tidak norak lagi.

5. Kekhawatiran Karena  Jauh Dari Orangtua

Seperti halnya dalam tulisan terdahulu tentang kekhawatiran orangtua yang tak mau berjauhan dengan anaknya, maka ternyata kekhawatiran ini pula timbul di diri anak. Hal ini bukanlah suatu kesalahan karena sejatinya ini merupakan sebuah fitrah manusia apalagi didalamnya ada ikatan kekeluargaan. Seorang anak yang terbiasa mendapatkan rasa aman dalam suasana rumah, maka akan merasa tak nyaman kalau berjauhan dengan orangtuanya. Padahal sebuah perjalanan hidup yang penuh dengan dinamika ini semuanya harus dilewati. Termasuk disaat berkeluarga nanti maka seorang anak harus siap untuk berpisah dengan orangtua. Dan berpisah jauh dari orangtua karena tinggal di pesantren sifatnya Cuma sementara. Karena orangtua bisa menjenguk tiap bulan misalnya, atau dari setahun biasanya ada waktu libur yang sama dengan libur sekolah lain yaitu setahun dua kali. Dan ini kesempatan santri untuk bisa melepas rindu dengan keluarga.
Selain kekhawatiran jauhnya dengan orangtua karena rasa nyaman, terkadang anak juga suka merasa kebingungan kalau harus mengatur uangnya sendiri. Karena mungkin yang dilakukan di rumah, biasanya anak mendapat jatah uang saku hanya cukup harian atau sesuai dengan kebutuhan. Sementara kalau tinggal di pondok santri dituntut untuk pandai memanage keuangan sendiri. Dan kalau kebablasan atau boros dalam hal belanja maka anak khawatir tidak bisa mencukupi sampai mendapatkan kiriman uang selanjutnya. Dengan pola seperti ini sebetulnya ini sebuah nilai plus yang diajarkan kepada santri agar betul-betul mengelola keauangan pribadinya. Dan ajaran untuk menahan diri dari sifat boros dan  membiasakan diri untuk selalu qonaah
Untuk mengantisipasi ketakutan seperti ini, sebaiknya anak dibiasakan sedini mungkin untuk membiasakan mandiri dari rumah. Walaupun di pondok nanti anak akan hidup lebih mandiri, tetapi tatanan kemandirian harus segera diajarkan dari rumah juga. Berikan pengetahuan pada anak mungkin bisa menceritakan kisah orang-orang sukses yang merupakan lulusan dari pesantren. Atau bisa pula dengan contoh survive kecil-kecilan di rumah. Biasakan untuk merapikan tempat tidur sendiri ataupun mengerjakan keperluan pribadinya sendiri, mencuci baju sendiri contohnya. Sehingga dengan latiha-latihan seperti ini calon santri tidak merasa shok dengan perubahan yang dilalui di dalam pondok.

6. Khawatir Dengan Teman Yang Tidak Baik

            Dalam kehidupan sosial sudah tentu kita sangat membutuhkan orang lain. Karena sebagai mahluk yang pada dasarnya lemah dan tentunya sangat memerlukan pertemanan. Tidak ada orang di dunia ini yang hidup dalam hari-harinya hanya sendirian, pastinya membutuhkan seorang teman atau sahabat. Karena lewat teman inilah sesungguhnya kita dapat membentuk karakter dan mengembangkan diri ke arah yang lebih positif.
            Akan tetapi selain membawa pengaruh yang positif, teman juga membawa seseorang ke arah sebaliknya kalau teman tersebut adalah orang yang tidak baik dalam ukuran masyarakat apalagi tidak baik di mata Allah. Makanya jauh-jauh hari Rasullulah telah berpesan untuk berhati-hati dalam memilih teman, karena sejatinya teman adalah cerminan diri kita sendiri. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Abu khurairoh bahwasanya Rasululloh saw bersabda, "seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaklah kalian memeperhatikan siapakah teman dekatnya."

          Seorang calon santri yang akan memasuki dunia barunya di pondok pesantren, tentunya akan membayangkan bagaimana kehidupannya nanti di pondok. Adakalanya mereka khawatir bila nanti mendapatkan teman yang tidak senyaman sekaranng ini. Mereka juga khawatir dengan sistem perpeloncoan yang dimainkan senioritas. Padahal sesungguhnya pondok bukanlah organisasi premanisme, dan pengalaman saya waktu pondok tidak ada yang namanya gagah-gagahan yang dilakukan kakak kelas. Yang ada malah sebaliknya, mereka kakak kelas selalu mengarahkan kita untuk mengenal peraturan yang ada. Sehingga pada gilirannya mereka sesungguhnya adalah sahabat pertama kita di pondok.
            Ketakutan mendapatkan teman yang kurang baik sebetulnya ini langkah awal untuk mewujudkan perintah rasulullah yang ada dalam hadist diatas agar kita senantiasa hati-hati dalam memilih teman. Carilah teman yang akan membantu kita lebih baik, carilah teman di pondok itu yang bisa membantu murojaah hafalan atau yang selalau mengingatkan dalam hal kebaikan sehingga membawa kita memiliki karekater yang sesuai aturan isalm.

7. Takut Tidak Terbiayai

            Masa masuk pesantren akan berbeda dengan masa kanak-kanak, kalau di usia ini biasanya anak tidak faham apakah orangtuanya memeiliki banyak uang atau tidak. Makanya ketika dia menginginkan jajan atau menginginkan sesuatu anak akan merengek bahkan memaksa orangtuanya untuk memenuhi hasyrat yang ada dalam dirinya. Sedangkan untuk ukuran usia masuk pesantren, biasanya mereka mulai menilai dan menyadari hal ikhwal yang terjadi pada orangtua dan keluarganya. Makanya wajar bila soal keuanganpun, mereka sudah memiliki ukuran tentang kapasitas orangtuanya dalam hal membiayai di pondok kelak.
            Keadaan seperti inilah, terkadang mendorong anak merasakan ketakutan kalau orangtuanya tidak sanggup membiayai yang pada gilirannya putus di tengah jalan. Sebenarnya tidak semua urusan orangtua dapat diketahui anak-anaknya, termasuk urusan biaya pendidikan. Niat mulia orangtua untuk memasukkan anaknya ke pondok pesantrenpun, tentunya sudah menjadi pertimbangan orangtua. Apalagi pemahamannya terhadap agama yang sudah lebih faham dibanding anak misalnya orangtua sangat percaya bahwa dengan mendedikasikan diri untuk pendidikan anak maka yang namanya biaya pasti Allah akan mencukupinya. Sehingga tak sedikitpun rasa khawatir dalam dirinya selama Allah memberi umur dan mau berusaha tentunya Allah akan memudahkan langkah-langkahnya.     Banyak orangtua zaman sekarang yang sudah mempersiapkan keuangannya terhadapa anak tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Ada yang dengan cara investasi atau dengan cara menabung demi suksesnya pendidikan anak-anaknya. Bahkan di beberapa anak ternyata ada juga anak sendiri yang mempersiapkan keuangan untuk masa depannya dengan cara menabungkan uang saku yang diberikan orangtuanya. Pokoknya ingatlah sebuah petuah yang sangat familiar yaitu “dimana ada kemauan, disitulah ada jalan”

8. Pelajaran Agama Itu Sulit (padahal sebenarnya mudah)

            Sangat dimaklumi sebenarnya dengan alasan seperti ini, karena perjalanan islam sehingga sampai ke kitapun sebenarnya penuh liku dan perjuangan. Apalagi untuk mencari kebenaran yang kita pelajari sehingga diperlukan pembelajaran yang sungguh-sungguh agar terhindar dari kesalahan maksud ataupun makna. Kalau di zaman Rasul, sahabat dengan mudahnya bertanya tentang permasalahan yang ditemui sehingga dapat bertanya langsung ke beliau. Sedangkan pada generasi selanjutnya, kita bisa belajar dari apa yang Rasul tinggalkan yaitu Alquran dan Alhadits.
            Kesulitan lain dalam mempelajari ilmu keislaman ini bisa juga karena dalam bayangan anak terbayang kitab-kitab berbahasa Arab sehingga dalam benaknya yang terbayang adalah kesulitan dalam mempelajari bahasa dan tulisan dalam bahasa Arab. Atau bisa juga merasa terbebani dengan hapalan-hapalan yang harus dikuasainya. Dan berbagai alasan yang mencengkrami pikiran anak.
            Sebenarnya ketakutan itu tidak perlu ada, karena belajar ilmu agama sama halnya dengan belajar imu yang lainnya yaitu dibutuhkan keuletan dan kesungguhan. Dan semua asal dijalani dengan tahapan yang benar maka semuanya terasa mudah. Para ustadz atau ustadzah sudah merancang sedemikian rupa dalam penyampaian keilmuan agama terhadap santri-santrinya. Semua ada tahapan dan jenjang yang harus dilewati oleh setiap santri. Yang jelas materi buat santri yang sudah lama mukim tak bakalan diberikan terhadap santri yang baru datang. Ingat pepatah Arab, “man jadda wajada” barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.

9. Pesantren Itu Tidak Sehat Dan Kotor

            Ironis memang pesantren yang mengajarkan ilmu agama tapi pada kenyataannya lingkungan di sekitar pondok kotor sehingga identik dengan santri kudisan. Padahal sudah jelas bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman. Sbenarnya yang salah bukan pesaantrennya, tapi biasanya karena kelalaian santri itu sendiri, terutama dalam hal merawat diri dan lingkungan. Oleh karena di atas sempat disinggung bahwa sebelum anak dimasukkan ke pesantren, pendidikan kemandirian sebetulnya harus dimulai justru disaat masih berada di rumah. Penekanan merawat diri dari hal-hal kecil harus sedari dini diperkenalkan. Misalnya jangan membiasakan menumpuk pakaian yang harus dicuci, mandi teratur setiap hari, tidak saling meminjamkan barang pribadi dengan teman seperti sabun mandi atau pakaian sekalipun. Dan masih banyak lagi yang pada intinya harus membisakan diri dalam hal merawat kesehatan pribadi dan lingkungan.
            Alhamdulillah untuk sekarang ini kesadaran seperti ini sudah banyak kita temui dibanding pondok pesantren pada era 90’an kesana. Kesan kudisan waktu itu banyak ditemukan, bahkan ada imej  yang berkembang di masyarakat bahwa kudisan merupakan syarat untuk tercapainya llmu agama.  Tentunya alasan ini tidak beralasan, dan bisa jadi ini merupakan pembelaan dari santri yang mengalami hal ini.
            Saat ini kita banyak menemui pondok pesantren yang dilengkapi dengan petugas kebersihan sehingga setidaknya para santri terbantu dalam merawat kebersihan lingkungannya. Yang pada gilirannya santri bisa lebih fokus dan terarah dalam hal menggali ilmu agama. Selain itu banyak pondok pesantren yang intensif mengingatkan para santri untuk lebih menjaga diri terhadap kesehatannya, dan dibuatlah jadwal berkala dalam hal bersih-bersih sehingga pondok pesantren lebih bersih, asri dan nyaman sehingga tidak tampak kesan pondok pesantren yang kotor atau jorok yang ada adalah pesantren yang nyaman, asri dan betah.

10. Pesantren Itu Tempat Penderitaan

            Sungguh aneh sebenarnya kalau calon santri merasa enggan untuk masuk pondok Cuma gara-gara takut kalau kehidupan di pesantren adalah tempatnya sebuah penderitan. Tentunya alasan ini sangat berkaitan dengan alasan lain yang diulas diatas. Berjauhan dengan orangtua yang membuat dirinya merasa kehilangan perhatian, atau merasa dirinya dibuang begitu saja oleh orangtuanya, atau bisa jadi karena merasa terbebani dengan peraturan yang ditetapkan pondok. Sehingga dalam diri santri terpatri sebuah rasa kekhawatiran akan sebuah penderitaan. Padahal jusrtu sebaliknya karena Allah akan memberikan kebahagiaan bagi orang yang mau menuntut ilmu Agama, karena dia akan selamat di dunia dan akhirat. Perhatikanlah cuplikan hadist berikut ini :

مَْن سَلَكَ طَرِْيقًا َيلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا ِ   
 إلىَ اْلجَنَّةِ (رواه مسلم

"barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu,Alloh akan memudahkan baginya jalan ke surga"(HR.Muslim)

Kalaupun ada anggapan bahwa pesantren tempatnya penderitaan, sikapilah dengan wajar. Toh hasil dari perjuangan dan bersusah payah di pesantren maka hasil yang didapatkan sangat luar biasa. Ingatlah pantun nasihat yang sangat familiar di negeri ini, “bersakit-sakit dahulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”

11. Pesantren Adalah Sarang Teroris

            Kengganan seperti ini sebenarnya sudah dibahas pada bab terdahulu pada bahasan alasan orangtua tidak mau memasukkan anaknya ke pesantren. Dan isu terorisme ini merupakan bagian dari kekhawatiran  para orangtua. Sehingga membuat Dinas Kementrian Agama terjun meneliti langsung untuk mengkaji ulang beberapa pesantren dalam rangka pembuktian keterlibatan pesantren baik dari kurikulum ataupun uju materi lainnya , yang ternyata tidak ditemukan adanya faham yang mengarah pada tindakan terorisme. Kalaupun itu ada ternyata bukan pengaruh pendidikan di pesantrennya tetapi lebih kepada pengaruh dari luar pesantren. Terlebih terkadang peran media yang tidak adil dalam sebuah pemberitaan sehingga membuat pihak pesantren yang bersih dari radikalisme  kena imbasnya.
            Akan tetapi untuk menjaga-jaga akan isu terorisme ini, survei orangtua sebelum memasukkan anaknya ke pesantren sangat dibutuhkan. Sehingga orangtua dan santri mendapat informasi yang betul-betul valid.

12. Guru Di Pesantren itu Pada Galak

            Galak atau tidaknya seorang guru sebenarnya relatif, galak menurut santri yang satu tak selamanya dikatakan galak oleh santri yang lainnya. Dan pengertian galak itu sendiri bisa bermacam-macam dalam definisinya. Tapi pada umumnya santri yang menilai gurunya galak biasanya dari penampilan dan seringnya ustadz memberi hukuman pada santri bila santri bersalah atau kelambanan santri dalam menerima pelajaran.
            Namun tak perlulah hal ini jadi kendala, buatlah hal ini sebagai sesuatu yang menyenangkan. Biasakanlah menilai sesuatu dari kaca mata yang membuat enjoy. Ingatlah  semua yang ada di pondok pesantren akan menjadi sesuatu yang indah bila dikenang dan akan membuahkan karakter yang kuat dalam melaksanakan tugas sebagai hamba Allah dengan menerapkan ajaran islam yang indah.
            Sangat sering kita mendengar bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi semua muslim tanpa kecuali. Hukum wajib disini berlaku untuk ilmu agama dengan berbagai cabang ilmunya. Dari mulai fiqih ibadah ataupun fiqih muamalah, ilmu aqidah dan ketauhidan serta disiplin ilmu agama islam lainnya yang kesemuanya itu merupakan kesempurnaan sebagai seorang muslim. Tanpa ilmu agama dikhawatirkan seorang muslim melakukan kesalahan dalam ibadahnya sehingga amal ibadah jadi tertolak. Ilmu agama tentu  sangat bermanfaat dalam menimbang segala sesuatu sehingga hidupnya akan berkah dan senantiasa mendapat limpahan rahmat dari Allah azza wajalla.

Dengan ilmu agama kita bisa mengetahui mana yang halal dan mana yang haram. Dengan bimbingan ilmu agama santri akan menjadi anak yang berbakti terhadap orangtua, dan dengan ilmu agama seseorang bisa memutuskan sesuatu permasalahan berdasarkan ilmu bukan berdasarkan hawa nafsu.
Pentingnya belajar dan menuntut ilmu sangat jelas diterangkan dalam firman Allah SWT dalam QS Al-Mujadalah


يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan prang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (qs. almujadalah:11)"



                                       Bandung, 21 desember 2015
                                                                                                           

                                                                                                                                                                                                                                                           www.ernawatililys.com

2 komentar:

  1. Luar biasa kang, sangat mencerahkan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih surya kalau memang mencerahkan, tapi masih kalah pede sama kamu yang sudah mulai nerbitin buku

      Hapus