Penayangan bulan lalu

Kamis, 23 Juni 2016

KEBAHAGIAAN YANG TAK SESUNGGUHNYA

MENU BUKA PUASA

.
Awal ceritanya lahir dari sebuah komunitas bisnis, yang anggotanya beragam dari yang muslim dan non muslim. Sehingga yang dikedepankan adalah irisan kebersamaan, yang tentunya demi kepentingan bisnis itu sendiri. Sebagai peserta komunitas, mau tidak mau sayapun mengikuti aturan tersebut, dengan catatatan tidak melanggar akidah saya.
Karena sekarang lagi gandrungnya buka bersama, maka komunitas inipun melakukan buka bersama. Tanggal dan tempat disepakati, lengkap dengan aturan teknis dan kapan mulai harus datang ke tempat bukber. Panitia bukber, tentunya sudah standby dari asyar, nongkrongin meja karena khawatir ga kebagian tempat.
Sejam sebelum maghrib, pesertapun berdatangan. Tak banyak sih, Cuma ada 15 orang dari 20 member yang ada. Obrolan terus mengalir dari nanya kabar keseharian, sampai jurus-jurus jitu dalam berbisnis. Sekali-kali, peserta muslim menanyakan kabar tentang ibadah shaumnya dan tarawihnya bolong apa belum. Ngobrol persiapan mudik, dan kelengkapan pernak-pernik lebaran.
Tiba 15 menit menjelang maghrib, pelayan restopun menyiapkan pesanan kami. Tiga biji kurma dan satu mangkuk mini kolak disediakan sebagai pembuka tajil. Yang katanya 2 menu tersebut FREE alias tidak bayar. Sudah barang tentu, melihat menu seperti itu, setelah nyaris 13 jam menahan haus dan lapar, air liurpun naik turun. Hemmm......
Waktu yang ditunggupun telah tiba, adzan maghrib berkumandang menghiasi angkasa kota Bandung. Senyumpun tersungging manis, rona bahagia terpancarkan dari semua peserta. Ada yang menjadi ketertarikan saya saat itu, benarkah yang non muslim itu merasa bahagia seperti apa yang kami rasakan ? Gelak tawa yang membuncah, dan beberapa ledekan ringan yang mempererat kekakrabanpun menyertai acara buka bersama itu. Tapi tetap saja, pertanyaan itu saya rasakan bagai sebuah bahagia yang semu. Beratnya usaha kami dalam berpuasa, bukan hanya menahan haus dan lapar, tapi ada aktivitas lain yang harus dikerjakan. Yang semua itu tidak mereka rasakan.
Di tajil kata kemarin, saya menuis tentang dua kebahagiaan yang akan didapatkan oleh orang yang berpuasa. Yang pertama, bahagia ketika berbuka dan yang kedua bahagia ketika berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi yang non muslim, saya tak melihat dalam senyum dan tertawanya sebagai sebuah kebahagiaan. Semua terlihat semu dan kepura-puraan, karena mereka tak diberikan Allah kebahagiaan yang kami peroleh. Apalagi kalau berbicara tentang kebahagiaan pertemuan dengan wajah Allah yang nikmatnya tiada bandingan. JAUH dan SANGAT JAUH.
Selepas ta’jil berlangsung, kami yang muslim, pamit dahulu karena harus menjalankan shalat maghrib. Tidak ada niat balas dendam karena lapar, sehingga akan menghabiskan seketika itu juga. Beberapa teman ada juga yang mau melahap langsung semua makanan, tapi satu kode dariku yaitu mengangkat kedua tangan ibarat gerakan takbiratul ikhrom, mereka sepakat untuk meninggalkan tempat berbuka. Disini juga kami merasa diperhatikan Allah, merasakan bagaimana Arrahman Arrahiim menunjukkan kasih sauangnya terhadap kami. Kalau sekiranya Allah tak menjaga kami, barangkali kami harus ikut dalam kebiasaan mereka.

Ini adalah sebuah pergaulan hidup antar manusia, dan Rosulullahpun selalu berhubungan baik dengan yang namanya nasrani dan yahudi tapi dalam koridor muamalah saja. Sedangkan kalau yang namanya akidah, kita harus senantiasa menjaganya. Kalau hanya berbuka bersama, saya merasakan hanya sebuah pergaulan biasa saja. Akan tetapi, kalau hal ini harus ada tuntutan sebagai utang dan natal kami harus datang. Itu urusannya berbeda. Karena hal itu sudah masuk ke ranah akidah yang tentu harus kita selamatkan. Jangan karena alih-alih toleransi, keimanan tercoreng karena tak memiliki pengetahuan tentang hal ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar